Haram (Di) Halal

kambing covid

Panggang memanggang di waktu siang
semua orang menjadi temberang

Panggang memanggang di waktu senggang
membuat orang mabuk kepayang

Panggang memanggang salah menyebut
membuat orang menjadi kalang kabut

BUKAN dipanggang, memanggang, terpanggang atau pun pemanggangan. Apalagi ada klid-kilndan sesuai ungkapan klasik, “jauh panggang dari api“. Bukan pula terdapat hubungan dengan sebuah kisah, cerita, dodoi mendodoi dan lainnya. Apalagi hubungan dengan peristiwa sejarah penting keduniawian. Tidak ada. Benar-benar tidak ada.

Kalau pun ingin dikategori sebagai sebuah pemberitahuan umum? Sebuah khabar kepada umat manusia yang wajib disebarluaskan. Entah direspon atau diabaikan (dicuekin istilah kaum milenial), kesannya sangat tergantung khusus bagi yang merespon. Yang esensi pastilah khabar ini perlu disebarluaskan ke seluruh permukaan bumi sebagai bukti!? Mengapa sebagai bukti? Bukti bahwa khabar sudah disampaikan sebagai pertanda berlakunnya perinsip “rahmatan lil alamin”.

Jika akhirnya pun terkesan diakui karena ada hubungan sebab akibat (kausalitas, klid-klindan) peristiwa yang satu dengan yang lainnya berasal dari negeri ini atau negeri entah berantah. Boleh jadi ada. Boleh jadi juga tidak dapat dikatakan sebagai kebetulan. Apakah ada “hukum kebetulan?”

Yang dimaksud Jengah sekaligus Jenguk adalah pemberitahuan khabar tentang nama itu. Hubungan nama itu dengan sesuatu sesungguhnya adalah keniscayaan. Tidak ada di dunia ini yang tidak berhubungan jika ingin dihubung-hubungkan. Sangat tergantung subjek, objek, pradikat atau keterangan yang ingin dihubung-hubungkan.

Salah atau benar misalnya, sangat tergantung. Apalagi tentang kebenaran.

Pertanyaan yang wajib dijawab adalah: mengapa hewan itu tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi, tetapi dengan satu syarat pada konteks yang lain boleh. Tidak boleh dalam istilah haram, namun boleh, dalam pengertian halal. Esensi prasyarat dari tidak boleh (haram) menjadi boleh (halal) itulah khabar pemberitahuan terpenting yang esensi di Jengah juga di Jenguk.

Ada istilah darurat. Sebuah istilah penting menentukan. Istilah pada makhluk (hewan) itu. Yang haram menjadi halal begitu sebaliknya. Variabel ihwal yang berhubungan dengan berlebihan misalnya. Makan dan minum dihalalkan, karena berlebihan yang melalaikan menjadi haram. Makhluk itu haram, tetapi dalam kondisi tertentu (darurat) menjadi halal.

Landasan argumentasi akademis logis rasional dan non akdemis non logis supra rasional menjadi esensi untuk di Jengah juga di Jenguk. Kalau pada umumnya, tentu cara berpikir logis akademis yang selalu dikedepankan. Hari ini, logika non logis supra rasional menjadi yang diutamakan. Ini berkaitan dengan: mengapa makhluq itu menjadi tidak boleh (haram) dikonsumsi?

Pertama, pemberitahuan khabar tersebut berhubungan dengan ketaatan. Konsep atau kata taat yang umum dimengerti merupakan serapan dari bahasa Arab yang berarti ‘menemani’ atau ‘mengikuti.’ Dalam sudut pandang umumnya para ustadz (keagamaan) bahwa hakikat taat adalah sikap dan tindakan yang tulus untuk mematuhi perintah Allah swt dan Rasul-Nya. Seorang manusia yang beriman Muslim (beragama Islam), tanpa disertakan ketaatan niscaya kesia-siaan (menjadi manusia sia-sia). Ini penjelasan pemberitahuan ihwal taat.

Ungkapan, “tiada yang lebih penting berbanding takwa, ibadah, dan taat sebagai Muslim akan sia-sia”. Ungkapan ini memaknai sebuah ibarat dua sisi mata uang. Yang taat adalah kunci terlaksananya taqwa dan ibadah.

Kedua, kesamaan identitas (karakter khusus). Tidak hanya DNA yang hampir mirip, penelusuran jejak digital menuujukkan jika antara hewan (makhluk) itu, dan manusia mempunyai “kemirpian yang serupa”. Pada pilihan diksi yang bertidnak ihwal ketaqwaan itulah ungkapan penting berupa pribahasa baru dalam menjelaskannya, “melahapnya ibarat memakan sadaura sendiri”. Esensinya dengan ungkapan lain, “manusia melahap manusia”.

Ketiga, dari sisi kesehatan (kedokteran). Beberapa temuan penelitian mengindikasikan jika menkonsumsi makhuk tersebut beragam resiko kesehatan menunggu. Begitu pula dalam sudut pandang (perspektif) kesehatan psikologi (prilaku) yang tidak jauh berbeda. Prilaku makhuk ini yang tidak wajar misalnya, memakan kotorannya sendiri atau prilaku sensi lainnya yang menunjukan terdapat misteri peringatan penting hubungan prilaku konsumer dengan yang dikonsumsi. Begitu hubungan logika kesehatan psikologinya.

Keempat, justru pembolehan dari haram (tidak boleh) menjadi halal (dibolehkan) yang belum terungkap sekaligus sebagai sebuah misteri. Secara logika akademis, kesehatan (kedokteran) dan psikolgi kesehatan, mustahil akan melampaui logika supra rasional ketaatan (mereka manusia yang beriman).

Istilah Haram menjadi (Di) Halal sesungguhnya adalah sebuah misteri.  Mengapa? Karena belum ada manusia beriman Muslim yang akan memakannya. Baru salah, eh khilaf menyebutkannya sebagai “oleh-oleh mudik” sudah menjadi silang sengketa.

Bagaimana kalau melahap langsung menelannya?

Wallahualam. ***

Baca : Kaleidoskop Ramadhan

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *