Taman Adat Berulam Jantung

kambing covid

Bernafaslah dengan niat baik
maka peradaban adalah milikmu

Kalaulah enggkau barjantung durjana
maka tinggalkan singgasana sarjana

Penyair, budayawan kawakan, dan sastrawan pesohor (tak usahlah sebut nama) mengajak berkunjung, silaturrahmi ke Lambaga Adat Melayu (LAM) Kota Pekanbaru minggu lalu. Jujur Saya terkejut dan ‘surprise’. “Ada ape gerangan? Apa pentingynya. Mengapa tiba-tiba,” tanya hati ini.

Bayangkan, sastrawan kawakan mengajak untuk berkunjung ke sebuah lembaga yang mengurusi adat. Sebenarnya bukan saja adat juga mengurusi budaya dan peradaban yang sudah dilembagakan (institusional).  Lembaga Adat Melayu Riau Pekanbaru.

Bagi saya istimewa menjelas-ulas sejenak hikmah apa yang diperoleh minimal secara pribadi akan silaturahmi itu. Maksudnya hikmah hasil. Hasilnya apa untuk Saya. Tentu saja amat sangat penting. Ihwal penting boleh dimaknai tidak mutlak. Penting bagi saya, dan sastrawan pesohor itu saja berbeda. Digaransi yang lain juga sama. Lain lubuk lain ikan, begitu  pepatah klasik mengistilahkan. Silakan. Tak masalah.

Bersempena helatan membaca puisi (sajak) secara Bersama-sama serentak, parade. Entah kenapa, Saya terlalu sering menyebutnya puisi, bukan sajak. Membaca sajak, bukan puisi. Boleh jadi bawah sadar Saya selalu terpengaruh becaan berbagai buku sastra klasik lawas. Sajak itu adalah secuil, bagian terkecil dari puisi. Buku itu jika diingat-ingat ada membagi puisi lama, baru bahkan modern.

Untuk konsisten dalam “kesalahan” sejujurnya, Saya tak sedap hati. Namun biarkan, Saya konsisten dalam kesalahan. Yang mustahak, bukan pada kesalahan, melainkan esensinya berkilndan dengan aktivitas berkebudayaan (kegiatan membaca puisi, eh sajak). Oleh karena berkebudayaan dinilai berhubungan dengan berkeadaban juga berkesenian.

Bagi kami (Saya dan sang pesohor), berkebudayaan (berkegiatan di bidang budaya) tak muluk-muluk. Ini hanya sebuah keinginan jika bukan sebagai cita-cita. Minimal idenya ingin menjadikan lembaga adat di kota madani sebagai sentra budaya. Jantungnya budaya dalam gemerlap kota metro bahkan megapolitan bertagline “smart city madani”.

Menyambut hari jadi Kota Pekanbaru ke-237 dengan tagline ‘smart city madani’ itu bermula idenya. Bila ingin ditilik-tilik sejenak, taglinenya  mengandung besarnya pengaruh barat melalui kata smart dan city. Kedua kata ini yang dimaknai secara leterlek sebagai “kota dan pintar” (kota pintar). Menyusul kata madani yang berarasl dari bahasa Arab. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), madani dimaknai yang berhubungan dengan (i) Hak-hak sipil, (ii) Perkotaan, dan (iii) Menjunjung tinggi nilai, norma, hukum yang ditopang oleh penguasaan iman, ilmu, dan teknologi yang berperadaban. Sederhananya mengacu KBBI peradaban selalu disamakan dengan madani.

Ihwal tafsir “semart city madani” boleh juga berbeda pendapat. Bagi saya, “smart city madani” (maaf, bukan bagi kami) adalah sebuah kota yang menghargai kecerdasan (lebih elok kata smart dielaborasi menjadi cerdas, bukan pintar. Khawatir menjadi “pintar-pintar”) yang berperadaban. Singkatnya sebuah kota yang dihuni oleh warga yang cerdas dan beradab.

Luar biasa. Negeri-ngeri sedap. Tarasa berdenyut-denyut jantung membincangkan ihwal lembaga adat.  Bukan apa-apa. Segan dan terlalu berat beban kami untuk menggapainya. Bagaimanapun sebagai warga yang “beradab” pun juga tidak cerdas-cerdas amat, ide “Taman Adat” tetap harus diperjuangkan.

Singkat cerita Saya dan pesohor sastra menyimpulkan tiga hal pnting. Pertama, madani itu dimaknai beradab. Kedua, semart adalah kecerdasan bersendikan syarak. Ketiga, city adalah sebuah wilayah yang dihuni kaum cendekia bersosok mulia.

Mengapa “Taman Adat”? Merujuk KBBI, konsep adat dimaknai (i) Sebagai aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala. (ii) Cara (kelakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan. (iii) Wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan yang lain berkaitan menjadi suatu sistem.

Bersagang pada pengertian ketiganya, kami sependapat (saya dan sang pesohor) bahwa lembaga adat adalah tempatnya orang-orang yang mempunyai keadaban. Tidak salah ada anggapan, “jika ingin menjadi warga dan tokoh yang beradat, maka beradablah”.

Beradablah di Taman Adat!?

Negeri umpama taman hati
pastilah makan tak berulam jantung

biarkanlah taman adat bersemi
ego khianat berdamai diri

Wallahu a’lam bish-shawab. ***

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *