Kata 3 Angka Tiga

kambing covid

Hai, senangnya dalam hati
kalau beristri dua
seperti dunia
ana yang punya

Kepada istri tua
kanda sayang padamu
kepada istri muda
I say, “I love you”

Istri tua merajuk
balik ke rumah istri muda
kalau dua-dua merajuk
ana kahwin tiga (…?)

PENGGALAN lirik lagu yang sohor didendangkan aktor lawas multi talenta negeri tetangga Malaysia, Tan Sri P. Ramlee itu boleh saja penyebab perbedaan pendapat.  Bersagang pada sudut cara pandang saja. Sudut sembilan puluh dan seratus delapan puluh, pastilah berbeda.

Apalagi jika dihubung-kaitkan dengan ihwal keseksian (sudut pandang seksi kekinian) tua muda. Sayangnya, logika awam selalu berpandangan yang muda lebih baik? Yang tua sebaliknya? Bukan. Sekali lagi bukan.

Bukan juga ihwal sayang atau benci. Sehingga seolah-olah mentaqdirkan pembelahan dua pihak: yang sayang dan yang benci. Ditambah kebencian melahirkan dua lagi istilah: cebong dan kampret. Istilah ini sungguh tak elok seharusnya disebut. Mengapa tidak gula dan semuat. Ada gula ada semut. Bukan. Maaf, sekali lagi bukan.

Lalu soal rajuk? Soal kahwin. Ampun. Beribu ribu ampun. Bukan. Tidak. Sekali kali tidak. Ihwal yang terakhir ini sangat bersifat personal-individual. Sangat tak elok dicampur-adukan. Apalagi berposisi mendukung. Beroposisi? Silakan. Regulasinya pun sudah jelas. Tahun 1970-an sudah heboh diperbincang-debatkan. Kata orang bijak plus para ustadz, “kalau tidak bisa berlaku adil, kenapa harus berbagi? Kecuali orang bijak atau ustadz sendiri. Maaf, hanya seloroh

I

Penggalan lirik sesunguhnya sangat ajaib. Entah kebetulan atau tidak sengaja, liriknya hanya mengihwalkan tiga. Bermula dari sini. Bukan kahwin tiganya, melainkan kata atau angka 3 (tiganya) perlu (di) Jengah untuk (di) Jenguk.

Belakangan ini heboh. Sangat mentakjub-herankan. Terkesan ingin dianggap sebagai mukzijat. Anggapan ini, tentu tidak mungkin. Isltilah mukjizat hanya ada pada zaman nabi dan rasul. Sekarang, akhir zaman mana mungkin. Yang ada karomah, barokah, laduni, irhaz  atau yang lain-lainnya.

Bayangkan setiap orang-orang (mereka) itu menyebut angka 3, tiba-tiba pingsan. Tanpa diketahui sebab musabab, mengatakan tiga, langsung pingsan. Diulang-ulang, tetap berlaku hal yang sama. Tak jauh berbeda jika tidak disebut, tentu belum pasti, tidak bersemayam (ada) dalam hati. Apalagi hendak didiskusikan. Dituliskan juga sama. Yang menulis langsung pingsan.

Semula mereka (orang-orang) itu menilai angka atau hurup tiga adalah benar-benar sakti. Kalaupun bukan karomah, boleh jadi sebuah wangsit. Bahkan ada dari mereka (orang-orang) itu meyakini ada peran serta Nyi Loro Segoro (yang terkenal, Nyi Loro Kidul). Boleh jadi dari sudut pandang yang berbeda posisi menjadi berubah, Nyi Loro Segoro. Atau Nyi Loro Wetan dan Kulon. Sayangnya di antara orang-orang (mereka) itu, tidak sekalipun menyebut Nyi Kulon Progo. Ada apa? 

II

Percaya atau tidak. Bin salabin. Abra cadabra. Angka, kata, tulisan, sebutan apapun yang berhubung-kait dengan tiga (3), tiba-tiba pasti sakti. Angka tiga, kata 3, tiga tiga (33) menjadi pandemi sakti. Mulanya mereka (orang-orang) itu tak percaya covid berubah menjadi tiga. Covid bermutasi dari tiga sebagai angka menjadi tiga sebagai hurup. Setelah berubah pun orang-orang (mereka) tetap berbeda pandangan. Mereka mempersoalkan antara angka tiga dengan hurup (3). Mereka bertanya: apa bedanya?

Di antara mereka (orang-orang) itu saling mengklaim. Ada yang mengatakan angka tiga dengan hurup tiga adalah sama dan sebangun. Yang lainnya beropini angka tiga dan hurup sangat tergantung dari kata berikutnya. Walaupun pendapat mereka hanya terbelah dua, tetapi bagi mereka (orang-orang) itu, perbedaan membawa dampak yang signifikan. Rupanya mereka lupa jika yang dipersengketa-bedakan sama-sama hurup atau angka tiga. Perbedaannya ibarat “Rambut sama hitam, uban sama putih, sidik jari tetap berbeda”.

Mesti pandai pembohong
mesti pandai temberang
tetapi jangan sampai
hai, pecah tembelang

III

Angka, hurup, tulisan, bacaan sebutan tiga yang sakti mandraguna penyebab mereka (orang-orang) itu pingsan, tak boleh didiamkan. Jangan apatis. Mereka (orang-orang) itu, walaupun bukan kami adalah juga bagian dari kita. Kalaupun kata atau hurup tiga menjadi sakti dan penyebab penyebutnya pingsan, harus dicarikan jalan ke dalamnya jika ada di luar. Sebaliknya dicari jalan ke luarnya jika ada di dalam.

Sambil men-Jengah dan men-Jenguk ihwal angka hurup tiga harus dihadapi melalui tiga pendekatan sebagai obatnya. [i] Pendekatan citra. [ii]. Pendekatan jujur. [iii]. Pendekatan boong.

[i]. Pendekatan citra merefleksikan hurup atau angka tiga tidak patut jika dibelakangnya diikuti kata lanjutkan, periode, ubah konstitusi dan lainnya. Kata dan lainnya menunjukkan dua hal saja. Pertama, susah untuk menyebutkan yang lain. Kedua, terlalu banyak untuk ditulis-sebutkan.

[ii]. Pendekatan jujur mengapresiasikan perasaan teristimewa bukan mereka (orang-orang) itu.  Bukan mereka di sini tentu saja merepsresentasikan ribuan, ratusan ribu atau bahkan puluh dan atau ratusan juta orang. Kata atau angka tiga dibelakangnya diikuti, kali, mustahil, inkonstitusional, dan lainnya.

[iii]. Pendekatan boong mengargumentasikan angka atau hurup tiga yang dibelakangnya diikuti kata, hasil survei, menghindari pembelahan, kondisi darurat covid, dan lainnya. Yang perlu digaristengahi bahwa pendekatan ini pasti bukan berasal dari orang-orang (mereka) itu. Yang bukan dari mereka (orang-orang) itu yang jumlahnya boleh jadi puluhan atau bahkan ratusan juta.   

Tepuk dada tanyalah paru
biarkan hati melepas haru

Selimut putih membalut badan
harga diri identitas pilihan

Wallahu a’lam bish-shawab. ***

Baca : Kambing Covid

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *