Psiko-Neuro “Virus Serakah”

tanah

Kalau petruk menjadi semar
bagong berlagak seperti arjuna
tersebab darah sudah tercemar
apakah donor masih berguna

Kalaulah vaksin virus dilemahkan
seharusnya tubuh bertambah sehat
mohonlah adil membuat kebijakan
jangan bebani dengan sertifikat

Indah sungguh pohon keladi
akarnya gemuk badannya kurus
jadilah manusia beraqal budi
watak serakah sebenar virus

ADAGIUM yang menjadi kredo akademis, “semakin sulit dimengerti, maka sesuatu yang ditelaah semakin ilmiah” adalah hujah utamanya. Yang tak boleh terjadi tentu saja, manakala jastifikasi akademis dimanipulasi. Makhluk tak kasat mata adalah objeknya. Yang ujung-ujungnya pendukung “nombor one” bisnis global. Bisnis apa? Sila simak ulas-kritis Jengah Jenguk seterusnya.

Tampaknya begitulah ihwal sesuatu yang “tak kasat (tak kelihatan) mata telanjang” selalu menjadi perbincangan panas (bukan hangat lagi), dua tahunan belakangan ini berlangsung. Akademis, ilmiah dan sulit dimengerti itulah kata kuncinya. Jastifikasi akademis dipastikan oleh karena menggunakan sekaligus memanfaatkan lembaga perguruan tinggi (memanfaat-gunakan dimaksud di luar negeri, bukan di negeri ini). Tak lupa organisasi dunia relevan, asosiasi pengusaha dunia, dan “yayasan global kemanusiaan” berada di belakangnya.

Pilihan menggunakan metode (langkah, prosedur) sesuai kreteria akademis-ilmiah ditopang lobaratorium canggih nan mahal beserta perlengkapannya. Pokoknya labor canggih, universitas level dunia, dan ada lembaga pendonor yang siap sedia kapan saja membiayai riset-riset pada “sesuatu benda (makhluk entah mati, entah hidup) yang tak kasat mata”. Yang menarik tentu saja, ketiga istilah yang sudah tertintegrasi pada dua dalam satu (two-in-one) menjadi kredo akademis: “semakin ilmiah maka semakin sulit”. Semakin sulit di sini dapat dimaknai “seolah-olah kalangan tertentu saja yang mengetahui”. Meminjam istilah kaum milenial, “bukan bidangnya”.

Jengah Jenguk hari ini tidak seperti minggu kemarin. Kegiatan rutin diskusi minggu ini, tajuk kembali menjadi pilihan sebagai bagian dari diskusi. Ada dua pilihan. Pertama, Psiko-Neuro terlebih dahulu. Atau Psiko-Imuno. Keduanya adalah sama-sama pendekatan. Yang menjadi objek untuk didekat-kritisi adalah ihwal “Virus Serakah”. Dalam bahasa semiotiknya (simbol, ketandaan) menjadi “VR-2024-Sr”.

Bersagang pada beragam hujah sebelumanya, Jengah Jenguk berupaya mengulas-ringkas ihwal urgensi keberadaan “Virus Serakah” bersandar “Pendekatan Psiko-Neuro”. Pendekatan ini mendahului “Pendekatan Neuro-Imuno” sebagai upaya awal mendeteksi kehadiran “Virus Serakah”. Mingggu berikutnya, Insya Allah Jengah Jenguk mengulas-ringkas keberadaan “Virus Serakah” dalam perspektif “Pendekatan Neuro-Imuno”.

Menjadi catatan penting sebelumnya yang perlu dipahami. Sebagai sebuah esai dalam klasifikasi tulisan opini, tidak keliru Jengah Jenguk menggagas arti penting pendekatan Psiko-Neuro yang akan mengidentifikasi keberadaan “Virus Serakah”. Yang menjadi persoalan dalam dunia akademis, tentu saja terkait keberadaan virus yang bernama “serakah”. Dalam karya sastra (novel, cerbung, cerpen, dan lainnya), ihwal keberadaan virus serakah tidak ada persoalan. Kreasi seorang penulis yang bersumber imajenasi tentu saja dapat dimaklumi. Apalagi imajenasi dimaksud dielaborasi berbasis kisah nyata (true story) menjadi sah-sah saja. Kisah nyata, misalnya, pengalaman seseorang yang terpaksa melakukan sesuatu aktivitas, bukan karena kehendaknya, melainkan karena ada “regulasi yang mewajibkan” (kasarnya, memaksa secara halus berselindung disebalik persyaratan layanan).

Karya akademis berbeda dengan karya sastra. Karya akademis tentu saja wajib memenuhi prosedur akademis. Untuk sampai ke jenjang akademis, “Virus Serakah” sebagai sesuatu yang tak kasat mata memerlukan media pendetek-buktian. Sebagai analogi, jika saja C-19 bersarang pada seputar lingkup pernafasan, maka “VR-2024-Sr” (simbol atau tanda Virus Serakah) berada pada lingkup sel-sel saraf di seputaran otak. Menjadi penting jika saja WHO hasil deteksinya menemukan istilah C-19. Tidak berlebihan jika nantinya ditemukan “VR-2024-Sr”. Analogi inilah sebagai jastifikasi awal arti penting kehadiran pendekatan Psiko-Neuro.

Aktualitasnya tentu saja melalui prosedur akademis-ilmiah dengan pendekatan Psiko-Neuro. Pendekatan ini dimaknai sebuah studi psikologi sosial (karakter prilaku orang per orang atau sekelompok orang di masyarakat) berkolaborasi dengan studi neurologi (pengetahuan saraf, jaringan urat-sel yang terdapat dalam kepala seseorang). Hasil kolaborasi pada dua studi ini yang diharapkan dapat menjelaskan prilaku serakah: apakah terdapat hubungan terkait keberadaan sesuatu (makhluk tak kasat mata) di seputaran otak manusia. Sehingga mendorong, berkecenderungan atau mempengaruhi prilaku orang perorang (seseorang) atau pun kelompok orang untuk berbuat zalim kepada orang per orong atau kelompok lain.

Berpijak pada harapan tersebut, hemat Saya sangat bergantung cara pandangnya. Jika ilmuwan barat (ahli virus atau virulog barat) misalnya, dapat mengklasifikasi virus bersandar pada cara pandang rasional-sekuler yang berbasis paham materialistik (materialisme). Pada sisi lain, sangat bijak nan arif manakala melalui cara pandang supra-rasional berbasis transendental juga “ditemukan virus lain”. Covid-19 versi WHO bersama kolaboratornya tidak ditolak. Harapannya melalui pendekatan Psiko-Neuro apabila nanti ditemukan virus yang dinamai Serakah (“Virus Serakah/VR-2024-Sr”), mohon diperlakukan sama (jangan ditolak).
 
Sederhananya Psiko-Neuro adalah pendekatan harapan. Sebagai pendekatan alternatif untuk menelaah prilaku orang per orang atau kelompok yang membuat kebijakan (di manapun di alam dunia) bersifat mandatori memaksa. Misalnya saja, kebijakan yang memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu aktivitas. Orang tersebut terpaksa melakukan aktivitas tersebut, bukan karena kehendaknya. Melainkan karena ada “regulasi yang mewajibkan” sebagai prasyarat. 
Mengulas-akhir esai ini, seorang rekan diskusi bertanya, “Mengapa dinamakan virus serakah? Bagaimana cara membuktikannya?” Jujur saja, oleh karena “merupakan sesuatu yang tak kasat mata”, pertanyaannya belum dapat dijawab secara akademis. Perlu waktu. Mohon bersabar.

Sementara rekan lainnya menimpali lagi dengan pertanyaan, “Apa indikasinya?” Kalau yang ini sangat mudah. Jawabnya merujuk ungkapan klasik, “Gajah di pelupuk mata tidak tampak, kuman di seberang lautan tampak”.

“Siapa gajah dan virus, eh salah, kumannya?”

Wallahualam bissawab. ***

Baca : Asal Tanah Kembali Tanah

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *