Opini  

Mari Bercermin

Syaukani Al Karim

Oleh: Syaukani Al Karim

SAYA tentu saja tidak begitu terkejut, membaca pernyataan Tuan Syahril Abu Bakar tentang Gubernur Riau, maupun tentang LAMR, karena saya mafhum, bahwa ucapan seseorang tentu berbanding lurus dengan tingkat pemahamannya. Saya hanya kecewa, karena pandangan tersebut dimunculkan dengan mengatasnamakan dirinya sebagai ‘tokoh adat”. Setahu saya, yang dhaif ini, bukan begitu cara yang patut bagi seorang “tokoh adat” dalam melakukan komunikasi publik, apa lagi terkait dengan adab dalam menilai seorang pemimpin.

Seorang yang mengaku sebagai tokoh adat, semestinya faham dengan tatacara komunikasi yang penuh adab. Tahu waktunya menggunakan kata “mendaki”, bila pula menggunakan kata “mendatar”, kata “menurun”, dan kata “melereng”, dalam berucap atau membuat taklimat. Kalau hal yang sedemikian itu, tak diketahui, maka patut pula dipertanyakan kapasitasnya, sebagai orang yang secara jumawa, mengaku sebagai pimpinan lembaga adat.

Seorang tokoh adat, sejatinya juga paham, bahwa seorang pemimpin adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam konsep “tali berpilin tiga”, atau dalam konsep “tiga tungku sejerangan”, sehingga dengan pengetahuan itu, seorang tokoh adat dapat menempatkan dirinya secara tepat, layak, dan beradat. Tahu pula akan alur patut pergaulan antara mereka, antara yang satu dengan yang lain, tahu pantang larangnya, tahu sulur galur komunikasi, tahu duduk tegak posisi, sehingga dari sikap yang sedemikian itu, mereka menjadi pantas untuk diteladani.

Tapi sayang, setelah beberapa kali membaca, taklimat Tuan Syahril Abu Bakar, yang dipublikasi ke tengah masyarakat, justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Lisan dan ucapan yang dikeluarkan olehnya, tidak menampakkan bahwa itu datang dari alas adat dan adab. Andaipun, Tuan Syahril Abu Bakar itu orang yang teramat bersih dan mulia, tetaplah tak layak baginya untuk mengatakan hal yang kurang patut tentang seorang pemimpin di depan umum. Sebagai sosok yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum DPH LAMR, yang sepatutnya paham tentang nilai dan tatacara komunikasi bernilai adat dan adab, saya berpendapat, bahwa pola komunikasinya, masih teramat menyedihkan. Saya ingin bertanya, keteladanan apa yang hendak diwariskan kepada generasi muda, dengan adab yang ditunjukkan itu?

Konon lagi, kini beliau mengaku sebagai Dewan Pimpinan Agung Lembaga Adat yang bergelar Tan Sri, dan tentu, sepantasnya dari gelar yang sehebat itu, setiap kata yang keluar adalah intan, setiap kata-kata yang dikeluarkan wajarnya lebih berisi dan bernilai. Tapi begitulah, kadang-kadang, kita selalu memakai baju yang lebih besar dari tubuh, sehingga terlihat kurang sanggam.

Tuan Syahril Abu Bakar menuduh Datuk Seri Syamsuar, selaku gubernur, menodai “Mahkota Melayu”. Saya tidak tahu, apa yang dimaksud oleh Tuan Syahril Abu Bakar sebagai “Mahkota Melayu”? Apakah LAMR? Entahlah. Setahu saya, sesuatu yang “mahkota” bagi Melayu, adalah sesuatu yang berhubungan dengan nilai dan tindakan. Orang Melayu yang selalu berpegang kepada ketentuan adat yang bersendi syarak dan syarak yang bersendikan kitabullah, yang selalu menjaga ketakwaan, kejujuran, kedermawanan, keberanian, adab, kehormatan, kesantuan, kelembutan, keterbukaan, toleransi, serta menjaga marwah, maka itulah Melayu yang memiliki “Mahkota”, bukan sesuatu yang bersifat fisik.

Lebih jauh, Tuan Syahril Abu Bakar, mengatakan bahwa Syamsuar tidak bisa disebut berhasil, karena membuat masyarakat tercerai-berai, dan dengan demikian harus memberi kesempatan ke anak bangsa lain. Pernyataan semacam ini, tentu seharusnya tidak keluar dari lisan seseorang yang mengaku tokoh adat Melayu. Andai saja, Syamsuar, memang tidak sehebat yang diharapkan, maka biarlah proses demokrasi yang memutuskan, dan sebagai tokoh adat, posisi yang patut, adalah tetap menjadi sitawar sidingin dalam dinamika yang terjadi di masyarakat. Andai saya boleh bertanya: Jika Tuan Syahril Abu Bakar berpandangan bahwa Gubernur Syamsuar tidak layak untuk diteruskan, maka apakah Tuan merasa bahwa Tuan, dengan sikap yang sedemikian itu, merasa layak menjadi seorang Tokoh Adat?

Ah, pertanyaan itu mungkin tidak perlu dijawab, dan masyarakat Riau, juga tak perlu terlalu gusar atas pandangan tidak memiliki nilai, meski datang dari seseorang yang mengaku sebagai tokoh adat. Usah gusar, karena kita tidak mungkin menemukan faidah dari ucapan yang tiada memeliharakan lidah. Terhadap celaan yang dilakukan terhadap Gubernur Riau, saya juga tidak ingin mengulasnya terlalu Panjang, karena ungkapan Raja Ali Haji, terus menerus mengingatkan saya: bahwa apabila ada perilaku yang banyak mencela orang, maka itulah tanda dirinya kurang.

Mungkin, sudah waktunya, kita semua mencari sebuah cermin besar, untuk melihat diri sendiri, melihat aib dan malu, yang mungkin telah menyelubungi badan, melihat betapa besarnya gajah yang berada di pelupuk mata, yang selama ini tidak kita sadari, karena asyik melihat tungau di seberang lautan.. Tunjuk ajar Melayu selalu mengingatkan kita, untuk bercermin dan tahu diri, tahu hak dan kewajiban, tahu hutang serta beban, tahu adat jadi pegangan, tahu syarak jadi sandaran, tahu sunnah jadi pedoman, tahu pusaka jadi warisan, tahu adab dengan sopan, tahu di mana tempat berjalan, tahu hidup berkesudahan, dan tahu pula mati berkekalan.

Apa tanda orang beradat
Tahu hidup menjaga tabiat
Tahu bergaul menjaga sifat
Tahu melangkah tidak menyesat
Tahu berkata tidak mudarat
Tahu memakai bertempat-tempat

Sekali lagi, mari terus bercermin. Mari belajar untuk selalu mengenal dan tahu diri, seperti kata Raja Ali Haji: Barang Siapa mengenal diri, akan mengenal Tuhan yang Bahri. Ya, mari bercermin, bercermin, dan bercermin. ***

Pekanbaru, Februari 2023

*) Penulis, Seniman, Budayawan, dan Pengurus LAMR Provinsi Riau

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews