Cerpen Rudi Agus Hartanto: Menjelang Pertandingan Berakhir

Ilustrasi

SEGELAS kopi yang berada di ujung meja itu terhempas kemudian pecah karena tersenggol tangan Topan. Remukan kaca berserakan di lantai, tapi ia tak mempedulikannya. Ia harus pergi malam itu, sebab pertarungan dengan kumpulan orang-orang brengsek yang menyebabkan lengan Muno patah akan segera dimulai.

Ketika ibu menanyakan apa yang terjadi dari dalam kamar, Topan menjawab tidak terjadi apa-apa. Ia segera mengambil motor dua tak kebanggannya yang terparkir di teras rumah. Ia memanaskan mesin dengan menggeber gas beberapa kali. Warga yang baru pulang dari masjid seolah melihat atraksi pada saat Topan melepas kopling lalu ban depan terangkat setinggi lutut.

Sesuai dengan pesan kawannya, Topan menuju lapangan sepak bola tempat kejadian yang menimpa Muno. Itulah tempat di mana Muno berhasil mencetak gol kemenangan bagi desanya kala mengikuti sepak bola antar desa. Hal itu terjadi seminggu yang lalu. Namun selepas peluit panjang wasit terdengar, segerombolan orang datang dan mengeroyok Muno tepat di lingkaran kick-off. Topan yang pada saat itu berposisi sebagai kiper sama sekali tidak menembus rapatnya gerombolan pengeroyok Muno. Justru Topan malah menerima hantaman di dadanya yang membuatnya terkapar.

Sehari setelah pertandingan, Topan mendengar desas-desus bahwa orang-orang yang membuat onar ialah mereka yang kalah judi. Kala dadanya terasa sesak, tetangganya menjenguk dan membawa kabar jika Muno telah dibawa ke rumah sakit. Di tengah perbincangan anak-anak muda desa itu di ruang tamu, salah seorang yang datang terlambat membawa pesan yang mengejutkan seisi ruangan. Ada masalah yang lebih serius, orang-orang pelaku pengeroyokan Muno menantang mereka di lapangan yang sama.

Semakin dekat dengan lapangan, gas semakin sering digeber Topan. Asap pekat bau campuran oli dan bensin yang belum lama naik harganya, terlihat seperti buruh yang melakukan demo: rapat dan padat. Dari kejauhan Topan melihat anak-anak muda desanya telah berkumpul. Ia seperti mengendus beberapa parang terselip di balik baju mereka.

Selepas memarkirkan motornya, Topan segera menuju perkumpulan kawan-kawannya. Ia mendengar rencana apa yang harus dilakukan apabila gerombolan musuh sudah datang. Sementara itu, Topan mengusulkan rencana antisipasi jika polisi-polisi—yang tak bisa mengungkap siapa penyiksa Muno—datang. Mereka harus memindahkan motor ke satu tempat, sehingga ketika dihadang polisi mereka dapat segera melarikan diri.

Anak-anak muda itu mengikuti di belakang Topan, namun belum sampai bergerak semuanya gerombolan musuh sudah datang. Topan yang berada di barisan terdepan, meminta untuk berhenti dan membatalkan rencana memindahkan motor. Ia menjelaskan jika rencana penyelamatan harus dikembalikan ke masing-masing orang.

Topan mendekati dan mengatakan kepada gerombolan musuh apabila sudah siap, dan sebuah pertaruhan mereka buat. Siapa pun yang kalah tidak boleh melaporkan kepada polisi. Setelah itu, orang-orang berjibaku dengan senjata maupun tangan kosong. Sementara parang saling berayun mengarah kepada musuh, dari arah berlawanan justru onderdil motor terlihat lebih mengerikan. Sinar bulan membuat logam itu sesekali terlihat mengkilap.

Mereka yang takut dengan keberadan senjata-senjata itu, tunggang langgang berlari menjauhi lapangan. Tidak sedikit pula yang jatuh ke saluran resapan lapangan yang telah berubah menjadi selokan. Di medan pertempuran, wajah musuh menjadi sasaran empuk kepalan Topan. Tak berselang lama, ia tersungkur. Kakinya terkena gempuran onderdil motor yang mengayun, begitu pula lengannya terkena sayatan benda tajam.

Orang-orang terkapar di tengah lapangan dengan luka masing-masing. Ada yang dadanya lebam terkena benda tumpul, bahkan tidak sedikit pula yang terkena sayatan. Lengan Topan terus mengucurkan darah, kakinya patah, tidak bisa digunakan untuk melangkah. Malam itu tidak ada yang menyatakan siapa yang menang atau kalah. Bau amis terlanjur membuat mereka mengurusi diri masing-masing.

Sementara itu, mereka yang sebelumnya meninggalkan lapangan kembali mendekat. Mereka menolong sosok-sosok yang terkapar sesuai kelompoknya.

Pertarungan di lapangan tersebut tidak menghilangkan satu nyawa pun. Hanya ada tubuh yang tergeletak lemas, serta beberapa orang mengerang kesakitan. Topan menahan lengannya yang bercucuran darah. Sayatan itu kemudian ia balut dengan kaosnya. Perlahan-lahan sembari sesekali meringis menahan perih.

Malam itu berakhir tanpa pernyataan. Kedua belah pihak akhirnya saling mengangkat kawannya. Topan malam itu tidak dibawa pulang. Ia dibawa menuju bangsal rumah sakit, untuk dilakukan perawatan atas luka yang diterimanya.

Hampir dua minggu ia dirawat di rumah sakit, hingga akhirnya diperbolehkan pulang oleh dokter. Ia melangkah dengan terbata karena harus memakai kruk. Perban warna putih melingkari lengan dan kaki Topan. Sesampainya di rumah, tidak banyak aktivitas yang digelutinya. Ia hanya berpindah dari kamar ke ruang lain.

Hingga suatu kali ketika Topan sedang di ruang tamu, ibunya duduk di depannya. Pada saat itu, Topan terpikir pertanyaan ibunya perihal gelas pecah sebelum kekacauan di lapangan. Jawabannya di malam kejadian itu seperti kutukan, kebebasan tubuhnya seolah terenggut karena tangan dan kakinya dipastikan tidak sekuat sebelumnya.

Pekerjaan sebagai kiper kontrak antar desa mesti ia tinggalkan sejak kejadian itu. Tak ada lagi pemasukan yang dapat menopang hidupnya. Seolah mendengar suara hati Topan, wanita itu mengatakan sesuatu tentang bapaknya yang mati beberapa hari sebelum kelahirannya.

“Bapakmu, tidak bisa melihat kelahiranmu karena kelakuannya tak jauh berbeda denganmu,” ujar ibunya.

Mata perempuan itu terlihat mengarah tepat kepada Topan. Ia tidak bisa menjawab apa pun. Terlebih ia tahu sebab bapaknya mati saat itu karena membela kawannya yang memang disiksa oleh gerombolan bromocorah pasar. Meski tidak bisa menjawab, Topan tahu apa yang dilakukannya adalah kebenaran.

Sementara itu, gawai yang berada di sampingnya berdering. Ia mendapat kabar lanjutan mengenai pertikaian dengan gerombolan yang menyebabkannya mesti pincang. Kawannya yang saat itu berhasil selamat mengatakan jika akan ada pertarungan ulang untuk menemukan siapa pemenangnya.

Masih di waktu yang sama, Muno tiba-tiba datang dengan beberapa lebam yang belum benar-benar hilang. Topan yang melihat Muno, langsung meminta untuk segera masuk. Suara dengusan muncul dari ibunya, wanita itu lekas bergeser meninggalkan keduanya di ruang tamu.

Tak lama kemudian Muno meminta maaf atas semua yang terjadi, baik kepada Topan maupun kawan-kawannya. Khusus atas apa yang diterima Topan, Muno mengatakan akan membantu mencarikan pekerjaan.

Ibu Topan membawakan dua gelas kopi ke ruang tamu. Tanpa mengatakan apa pun, dengan tangannya wanita itu meminta kopi buatannya untuk segera dinikmati lalu pergi.

Obrolan anak muda itu pun berlanjut kala Topan bercerita tentang semasa masih anak-anak. Kala terjadi pertarungan, dendam hanya bersarang sampai bangun tidur. Selepasnya mereka akan bermain lagi, menjalani hari yang menyenangkan. Sedang pada saat umur semakin bertambah, diri semakin tidak dapat menerima keadaan.

“Kau harus hadir di pertarungan minggu depan,” sambung Topan.

Lebih lanjut, Topan menegaskan jika pertarungan mendatang adalah pertaruhan harga diri bagi desa. Terlebih bagaimana mungkin pertandingan yang diperjudikan orang lain itu malah melahirkan banyak korban. Sementara para pemain sama sekali tidak menahu persoalan yang terjadi di luar lapangan, kecuali desas-desus yang berkembang. Bahkan kabar semacam itu semua orang sudah tahu, dan mungkin itulah yang membuat ingar bingar terjadi di setiap pertandingan.

“Aku ke sini hanya ingin memberitahumu kebenaran,” potong Muno.

Topan terus nerocos, menghubungkan apa yang dipercayai orang-orang dengan klenik. Bahkan ia tak tanggung-tanggung menyebut nama lurah yang membiarkan perjudian masih terjadi di setiap pertandingan. Laga yang diharapkan dapat melahirkan putra daerah terbaik untuk bermain di klub profesional justru tercoreng.

“Dengarkan dulu,” potong Muno. Telunjuk lelaki itu mengarah kepada Topan.

Topan diam. Muno menceritakan secara singkat bahwa cerita yang baru saja dikatakan Topan, salah satu pelakunya merupakan dirinya. Pada laga itu, ia menerima tawaran dari lurah desa sebelah untuk mencetak satu gol menjelang pertandingan berakhir. Muno mengatakan bahwa ia menerima uang yang besar karena berhasil melesatkan gol.

Gawai yang berada di samping paha Topan bergetar tanda pesan masuk. Namun ia tidak membukanya, matanya menatap dalam Muno. “Kau bisa ikut?” Bunyi pesan di gawai itu.

Topan menggertakan giginya begitu keras. Ia memotong penjelasan Muno. Ia berdiri, bermaksud memberikan pelajaran kepada Muno. Tetapi belum sempat peristiwa itu terjadi, Topan justru terjatuh dan membuat kopi di meja tumpah. Kakinya belum siap berdiri tanpa menggunakan kruk. Ia harus kembali dirawat di rumah sakit. ***

————————–

Rudi Agus Hartanto, adalah putra daerah Mojogedang. Merupakan mahasiswa Program Magister Ilmu Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret. Bergiat di komunitas Kamar Kata Karanganyar dan Sanggar Bima Suci. Bermastautin di Dusun Klumpuk RT02/RW03, Desa/Kecamatan Mojogedang, Karanganyar, Jawa Tengah. Untuk berinteraksi dengan penulis melalui https://linktr.ee/udiex666, IG @rudiagushartanto/@udiex666, Twitter: @kayuhpergi, blog: sendiljepit.blogspot.com, email [email protected], saluran Podcast: Ngglituk Podcast. *

Baca: Cerpen Rusmin Sopian: Penjual Kesedihan

*** Laman Cerpen terbit setiap hari Minggu dan menghadirkan tulisan-tulisan menarik bersama penulis muda hingga profesional. Silakan mengirim cerpen pribadi, serta terjemahan dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected]. Semua karya yang dikirim merupakan tanggunjawab penuh penulis, bukan dari hasil plagiat,- [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews