LELAKI itu celingak-celinguk di bawah pohon duku di pekarangan belakang rumahnya. Ia seperti tengah mencari momentum yang pas; menunggu suasana lengang sambil memastikan bahwa tidak ada orang yang melihat aksinya. Setelah momentumnya dirasa telah pas, maka naiklah lelaki itu ke sebuah kursi kayu yang ia bawa dari rumah. Segeralah ia meraih tali yang telah melingkar membentuk simpul gantung. Ujung tali itu diikatkan ke salah satu cabang pohon.
Sebelum kepalanya ia masukan ke dalam lingkar tali, ia kembali celingak-celinguk sekali lagi seraya memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang melihat aksi bunuh dirinya. Setelah dirasa aman, maka tibalah saatnya.
Namun, belum sampai kepala peang itu masuk ke lingkar tali, seorang wanita dari arah belakang-tepatnya dari arah dapur rumahnya-berlari sambil berteriak, “Bajingan kamu ya, Kang! Berani-beraninya kamu coba bunuh diri lagi.”
Wanita itu berlari begitu cepat ke arah sang lelaki, lalu mendorongnya hingga terjatuh dari kursi. Dan aksi bunuh diri itu pun dapat digagalkan.
***
Tanwiryo diam saja ketika sang istri mengoceh panjang lebar dengan nada kesal, beberapa saat setelah aksi bunuh dirinya kembali digagalkan. Punggungnya tersandar pada tembok kamar dengan posisi lutut ditekuk dan menopang lengan. Raut wajahnya terlihat begitu murung, seperti ada masalah besar yang tiada mungkin lagi bisa ditanggungkan. Siapa pun yang melihat Tanwiryo malam itu, pasti langsung bisa menyimpulkan; bahwa ia tengah dilanda masalah yang begitu besar.
“Uang lima puluh juta itu mustahil bisa aku kembalikan dalam waktu seminggu,” kata Tanwiryo lirih.
“Dan kupikir, bunuh diri bisa menyelesaikan semuanya,” lanjutnya, kali ini dengan tangisan.
“He, bodoh! Aku tidak mempermasalahkan bunuh dirimu itu. Yang kupermasalahkan adalah cara bunuh dirimu. Gantung diri hanya akan menyelesaikan hidupmu, tapi tidak dengan masalah utangmu. Apakah dengan gantung diri, kamu lantas bisa mendapatkan uang lima puluh juta?”
“Ya tentu tidak. Bukankah semua bunuh diri memang tidak bisa mendatangkan uang?”
“Kata siapa? Kamu bisa mendapatkan uang dengan bunuh diri, asalkan bunuh dirimu dilakukan dengan cara yang baik dan benar.”
Yatinah mengambil jeda sebentar, lalu duduk di sebelah Tanwiryo. Dari gelagatnya, ia seperti akan menjelaskan sesuatu.
“Kamu tahu tetangga kita, Sriminah, yang suaminya baru saja mati karena kecelakaan. Lalu, sebuah perusahaan BUMN yang bergerak di bidang asuransi sosial, apalah namanya, aku lupa, pokoknya ada jasa jasanya gitu, tiba-tiba memberi dia santunan lima puluh juta,” jelas Yatinah sambil tersenyum-senyum.
Seketika, Tanwiryo terkejut dan memandang wajah istrinya. “Jadi, kamu minta aku untuk bunuh diri dengan cara seperti itu? Gila kamu. Bunuh diri dengan cara mencelakakan diri di jalan risikonya terlalu besar dan pasti jauh lebih sakit ketimbang gantung diri. Iya kalau langsung mati, lah kalau ternyata harus dirawat dulu di rumah sakit?”
“Itu hanya persoalan teknis. Kalau kamu cermat dan tepat, pasti langsung mati. Coba bayangkan seandainya kamu mati gantung diri, beban kamu di akhirat akan berlipat ganda: menanggung dosa karena bunuh diri dilarang agama dan menanggung utang yang belum lunas di dunia. Kamu mau?” Tanwiryo diam sejenak, “Tapi, jika kamu bunuh diri dengan cara seperti yang kusebutkan, utang di dunia bisa kamu lunaskan. Dan bebanmu di akhirat tidak terlalu berat,” lanjut Yatinah seraya meyakinkan suaminya.
Tanwiryo diam saja. Ia kembali ke posisi semula, menekuk lutut dan menyandarkan kepalanya pada tembok di belakangnya. Ia lalu mengingat beberapa kesialan yang dialaminya setahun ini: di-PHK dari tempat kerja tanpa diberi pesangon, menganggur selama setengah tahun, ditolak oleh banyak perusahaan, dan puncaknya, ditagih oleh rentenir serta mengancamnya akan menjebloskan ke penjara jika tak segera melunasi utangnya.
“Dan satu lagi. Jika kamu melakukan itu, maka tidak ada seorang pun yang mengetahui bahwa kamu bunuh diri,” lanjut Yatinah dengan nada yang lebih meyakinkan. “Bahkan Tuhan pun bisa saja tak mengetahui bahwa kamu bunuh diri. Semuanya akan mengira bahwa kamu hanya kecelakaan bisa,” pungkasnya.
Tanwiryo masih saja diam. Ia masih mempertimbangkan perkataan yang disampaikan istrinya. Menimbang baik-buruknya, menakar konsekuensi yang akan diterimanya bilamana ia menyetujui tawaran istrinya.
“Baik. Aku siap melakukannya, tetapi dengan satu syarat,” kata Tanwiryo.
“Apa syaratnya?”
“Kamu tidak boleh kawin lagi jika aku mati!”
“Kamu tak perlu khawatir, Kang!” jawab Yatinah, lalu meraih tangan suaminya. “Aku mencintaimu sepenuh hati. Tidak mungkin aku menikah lagi. Dan jika kamu mati nanti, akan aku adakan pengajian tujuh hari sebagaimana orang mati pada umumnya, agar kamu diterima di sisi-Nya.”
Mereka lalu berpelukan. Tanwiryo tak kuasa menahan air matanya. “Aku mencintaimu, Tinah,” katanya lirih sambil menangis. Mereka berpelukan lebih erat lagi.
Tak berselang lama, mereka sudah saling tindih di ranjang kamarnya. Mereka bercinta layaknya pengantin pada malam pertama. Barangkali, ini juga akan menjadi percintaan terakhir mereka. Cecak, nyamuk, dan kecoak, seketika keluar dari kamar, entah untuk menghormatinya atau karena tak ingin mengganggu mereka.
“Besok hari Jumat, kebetulan sekali. Kamu pernah dengar kan, kalau orang mati di hari Jumat akan masuk surga,” bisik Yatinah ke telinga suaminya yang diikuti dengan suara desahan.
***
Pagi harinya, tepat pada hari Jumat, Tanwiryo telah bersiap dengan motor RX-King bututnya. Motor itulah satu-satunya harta berharga yang masih tersisa di rumah kontrakannya. Ia tak mengenakan helm atau pelindung apa pun. Semua itu dilakukan demi kelancaran proses bunuh dirinya.
“Hati-hati, Kang. Aku doakan kamu bisa langsung mati di tempat, agar kamu tak menanggung sakit yang terlalu berat,” kata Yatinah, lalu memeluk suaminya itu. “Sampai jumpa di akhirat kelak. Aku mencintaimu,” lanjutnya lirih. Tanwiryo lalu mengecup kening sang istri untuk yang terakhir kali.
Segeralah Tanwiryo menyalakan motornya, memasukkan gigi pertama, dan menarik gasnya. Bising knalpotnya begitu memekakkan telinga. Ia keluar dari kompleks perumahan dan masuk ke jalan raya. Jalanan begitu ramai oleh orang-orang yang hendak berangkat kerja.
Ia mesti cermat dan hati-hati. Sebisa mungkin, dalam proses bunuh dirinya nanti tidak ada korban lain selain dirinya. Ia tak mau seperti seorang teroris bom bunuh diri yang sengaja mencelakakan mangsanya dengan dalih mendapatkan gelar mati syahid. Sungguh, ia tak mau mati syahid. Ia hanya ingin mati secara biasa dan mendapatkan dana santunan lima puluh juta agar utangnya bisa dilunasi segera.
“Ah, untuk bisa disantuni negara saja aku harus mati dulu. Sialan!” batin Tanwiryo seraya memacu gasnya dengan kencang. Syarat mutlak yang harus dipenuhi agar ia mendapatkan santunan sebesar lima puluh juta memang harus mati kecelakaan di jalan. Tidak bisa ditawar. Jika ia hanya menderita luka berat, ia hanya akan mendapat dua puluh juta saja. Nominal itu tentu tidak cukup untuk melunasi utangnya.
Maka ketika ia mulai masuk ke jalur provinsi, ia memacu gasnya lebih kencang lagi. Di jalan provinsi ini, banyak sekali truk-truk besar yang bisa menjadi sasaran. Ia menyalip semua kendaraan di depannya dengan sembrono.
Puncaknya, ketika ia hendak menyalip sebuah truk yang di belakangnya bergambar Presiden Soeharto, ia melihat ada sebuah truk dari arah berlawanan yang melaju dengan sangat cepat. Momentum ini langsung dimanfaatkannya oleh Tanwiryo untuk melancarkan aksinya. Dan hanya dalam hitungan detik, insiden mengerikan itu terjadi. Truk itu tidak dapat menghindar.
Tanwiryo terpelanting sejauh beberapa meter selepas motornya tertabrak bagian bumper depan truk itu. Ia sempat merasakan sakit yang amat hebat, sebelum akhirnya tak sadarkan diri. Darah mengucur deras dari kepalanya. Orang-orang segera melarikan ia ke rumah sakit.
Tanwiryo tak sadarkan diri hingga beberapa hari. Ketika ia mulai terbangun, ia tampak bingung. Pandangannya tidak terlalu jelas. Semula, ia mengira bahwa ia telah tiba di alam barzakh. Namun, ia tak melihat tanda-tanda ada Malaikat Munkar dan Malaikat Nakir yang hendak menanyakan serangkaian pertanyaan.
Beberapa saat kemudian, barulah ia sadar bahwa ini bukanlah alam barzakh melainkan ruang ICU. Ia juga mulai sadar bahwa yang ia kenakan bukanlah kain kafan melainkan balutan perban di beberapa bagian. Akhirnya ia menyadari bahwa aksi bunuh dirinya kembali gagal.
“Bangsat, ternyata aku belum mati juga,” batin Tanwiryo seraya mengingat kembali utangnya. Ia pun gagal disantuni oleh negara. ***
Purbalingga, 2021
—————–
Ikrom Rifa’I, lahir di Purbalingga, 25 Juli 2000. Mahasiswa Universitas Singaperbangsa Karawang. Bergiat di Komunitas Teater & Sastra Perwira (KATASAPA) Purbalingga.*
Baca: Cerpen Hasan Al Banna: R a b i a h