Cerpen Hasan Al Banna: R a b i a h

“RABIAH Dihukum Gantung! Seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Indonesia, saat ini sedang menunggu pelaksanaan eksekusi mati di negeri ringgit, Malaysia.”

Tentu saja berita ini cepat menyebar, menjalar seperti ular. Atau seperti jalar api melahap daun-daun kerontang. Aku, Rabiah kontan menjadi topic pembicaraan. Dari pemberitaan yang ramai di surat kabar maupun televisi di negara kita, mungkin Ibu sudah tahu bahwa aku, anakmu bernama Rabiah ini, musti menghadapi kenyataan sebagai seorang pesakitan yang menunggu dekapan maut di rantau orang. Benar katamu, Bu: “Hidup umpama main ular tangga.”

Inilah jalan hidupku, Bu. Tapi aku tetap percaya bahwa ini adalah jalan terbaik yang diberikan Allah untukku, untuk kita. Sebab segalanya bermula dari niat baik. Bukankah Ibu sudah tak mampu lagi menyembunyikan helai uban yang menyembul di kepala? Kian hari, kian menegaskan warnanya. Kulit Ibu telah pula menyusut, membentuk garis-garis renta yang mengeriput. Ibu pun mulai sakit-sakitan, asam urat yang sering kumat, dan batuk yang bergeluduk. Tak tegalah aku membiarkan Ibu seumur hidup menjadi tukang cuci. Aku berniat meringankan beban Ibu. Lalu datang Bu Ifah, tetangga kita yang baik hati itu menawarkan pekerjaan. “Ibu punya saudara yang bisa membantumu,” katanya. Dan ia pula yang menyarankanku mengurus izin secara resmi. “Kalau sudah mengantongi surat resmi, tidak akan ditokohi. Jangan takutlah.”

Maka atas saran Bu Ifah itu, Rabiah pun memohon restu pada Ibu, untuk bekerja ke negeri seberang. Bekerja yang halal, bukan yang macam-macam. Saat itu, tanpa berpikir panjang, Ibu memberi izin kan?

“Bolehkan, Bu?”

“Kalau sudah dengan niat baik kau berangkat ke sana, berangkatlah. Ibu merestuimu, Rabiah. Lagi pula kau ini kan sudah dewasa, sudah duapuluh satu usaimu. Tentu tahu mana yang manfaat, mana yang mudarat.”

“Terima kasih, Bu. Terima kasih.” Aku memelukmu saat itu. Sebuah kecupan pun kulabuhkan di pipimu yang lengkung, Bu.

Ibu membalas dengan senyuman, padahal aku tahu, dibalik senyuman itu terselip juga kekhawatiran, mungkin akan terjadi sesuatu yang tidak baik denganku. Itu kekhawatiran yang wajar menurutku. Perasaan naluriah seorang Ibu terhadap anaknya.

Apalagi sudah sering kali Ibu, tentu juga aku, mendengar kabar tentang nasib tragis yang menimpa para pekerja wanita di sana: korban kekerasan, diperas, berbulan tak diberi gaji, digadai, dijual, diperkosa, lantas dibunuh.

“Yang penting, pandai-pandailah menjaga diri. Kita memang bukan orang yang berada, Rabiah. Tapi kita punya harga diri, itu musti dijaga. Hati-hati. Apalagi kita ini perempuan, jangan mudah diperangkap rayuan.”

“Jangan takut, Bu. Akan kugenggam petuah itu sampai mati. Percayalah.” Begitulah aku meyakinkanmu, Bu. Ingatkah?

Nah, berbekal niat baik, restu dari Ibu, juga tabungan semasa dua tahun bekerja di pabrik biskuit, aku mengurus surat-surat izin yang legal, yang sah. Dan segalanya berjalan dengan lancar, alhamdulillah. Sesuai dengan perjanjian, aku akan bekeja di sebuah pabrik kayu lapis. Ya, jumlah gaji yang dijanjikan juga lumayan besar dibanding pekerjaanku sebelumnya. Namun aku tidak muluk-muluk, Bu. Tetap menjaga diri dari rayuan mimpi yang kadang menyesatkan: Ingin kaya mendadak! Kalaupun akhirnya peristiwa yang pahit ini harus kutelan, adalah semata takdir Allah, dan hal itu di luar kekuasaan kita sebagai manusia, Bu.

Tidak, Bu. Ini bukan salah siapa-siapa. Tidak ada yang musti kita salahkan. Tidak bijak itu kan, Bu? Seperti yang sering Ibu ngiangkan ke telingaku, “Belajarlah mencari kesalahan dalam dirimu sendiri. Jangan hanya mahir menyalahkan orang lain, termasuk menyalahkan keadaan. Itu tanda orang yang lemah iman.”

Tidak juga, Bu. Tidak ada sedikitpun firasat atau mimpi buruk yang menghalauku untuk tidak jadi merantau. Atau, Ibu yang selalu dihinggapi perasaan yang tidak enak? Tapi, ah, untuk apa kita membahas soal yang begitu. Firasat, mimpi buruk, perasaan, adalah hal yang sering kita abaikan. “Semua itu, yang di ataslah yang mengatur,” berulang-kali kalimat itu Ibu ucapkan, bukan? Dan aku mengangguk isyarat setuju.

Tidak ada yang mencurigakan sebenarnya, biasa-biasa saja, Bu. Kami yang semuanya perempuan, sebanyak duapuluh empat orang berangkat dengan kapal Feri, berlayar menjemput rizki. Dalam hitungan jam, Feri sudah menepi di sebuah dermaga yang bisa dibilang sunyi. Tapi rasa cemas tak sampai menikung ke jantung. Masih sempat kueja sebuah papan nama yang sudah terkelupas catnya: Pelabuhan Tawau, Sabah, Malaysia Timur. Aku tenang, dan tetap dalam keadaan tenang ketika kami semua diperintahkan turun dengan cara yang kasar. Begitu juga saat dipisahkan dari rombongan besar.

Lalu bersama seorang teman, namanya Nurminah kalau tidak salah, digiring dua orang lelaki bertubuh tegap ke sebuah mobil bercat biru tua. Sebelumnya, mereka meminta perlengkapan surat-menyurat, tapi tak dikembalikan. Dengan perjalanan sekitar sepuluh menit, kami berdua kemudian diturunkan di depan bangunan yang kumuh, berbentuk ruko. “Ini penampungan sementara, besok kalian akan mulai bekerja.” Lelaki tegap yang memakai anting di kuping kirinya itu buka suara, seperti menyergap kecurigaanku yang lahir seketika.

Melewati lantai dasar yang seperti sebuah kedai kopi yang hening, kami menyusuri tangga sempit menuju lantai dua. Di sinilah perasaan was-was mulai tumbuh, Bu. Dari hening aku disambut suara yang bising. Pemandangan yang membuatku merinding. Kamar-kamar yang berdempet, para perempuan muda berdandan menor duduk berjejer di depan pintu-pintu kamar yang mengaga. Kebanyakan mereka memakai baju yang seksi, tak berlengan dan bercelana pendek ketat. Aurat mereka menyembul berkilat-kilat. Suara bisik-bisik bercampur cekikik. Sesekali tawa meledak, tiba-tiba menyalak. Entahlah, aku seperti seekor kancil yang dikepung harimau, terdesak.

Nafasku sesak, Bu. Sebagian dari mereka merokok, bibir mereka yang berwarna menyala membubungkan asap yang menyengat. Seorang perempuan berambut sebahu muncul dari balik pintu. Ia bergelayut manja di lengan seorang lelaki Menggali, di tubuhnya hanya melilit handuk kusam, legam. Mereka berdua berjalan gontai menuruni tangga. Lalu entah dari mana, pekik jerit menyusup ke telingaku, “Ampun, Mam. Ampun. Tidak akan kuulangi lagi!” Menyaksikan dan mendengar semua itu, yang pertama kali kupanggil adalah namamu, Ibu. Aduh, di alam apa aku kini, Ibu?

Tapi derit pintu kamar yang berat dan ngilu buru-buru mendamparkanku ke pantai ragu. Derit pintu itu pula yang melenyapkan Nurminah dari sampingku. Aku sendirian, dimasukkan ke dalam kamar berukuran 2 x 3 meter, lantainya semen. Di dindingnya yang kusam menempel poster-poster yang tak beraturan. Di sudut ruangan, ada meja rias yang buram, penuh bercak bedak yang mulai menghitam. Di situ tergolek sebuah cermin kecil yang tak utuh lagi. Tak berbingkai, berbentuk segi tiga. Di samping meja rias itu tersandar kursi kayu yang berdebu. Ibu, ini kamar atau apa?

Lihatlah, rumah laba-laba bertumpuk di lemari yang lapuk. Di jendela yang sudah berpatahan jerujinya, melintang kain gorden abu-abu yang penuh koyakan. Di atas ranjang dan seprai usang, teronggok selimut berwarna hijau lumut, juga handuk buruk. Seseorang mengetuk pintu, perempuan berperawakan sedang, menatap dengan nyalang.

“Kamu yang bernama Rabiah?” Suaranya pelan, tapi dingin. Aku mengangguk sekedarnya.

“Lekas mandi, dan pakai baju ini!” Ia pergi, usai menyodorkan pakaian terusan terbuka yang mini. Dari logat bicaranya, ia mungkin orang kita juga, orang Indonesia, Bu. Tak berbeda dengan cara bicara lelaki tegap tadi, juga perempuan-perempuan yang berbisik-bisik di luar itu.

Ini bukan tempat yang kucari. Ibu tahu, aku tidak menuruti perintah perempuan itu. Di jendela, kujatuhkan pandangan ke luar, lalu sebisa mungkin menatap ke bawah, yang kulihat hanya halaman yang semak dan berbatu. Pikiranku menerawang, Bu. Keringat dingin meluncur deras. Aku teringat Siti, temanku se-SMA, yang nekad berangkat ilegal. Ia tak memperoleh pekerjaan, linglung, lalu diperkosa, dan akhirnya menjadi pelacur. Ia pulang ke kampung dalam kondisi gila. Kini meneruskan hidup bersama pasung. Ibu, seketika aku ingin pulang ke rumah. Entahlah, kata-kata itu terus berdegup meletup di dadaku: Lari! Lari! Lari!

Brukk!

Ibu, tubuhku saat itu terhempas ke tanah berbatu. Dua meter sebelum mencapai tanah (selimut, handuk, dan seprei yang kusimpulkan menjadi tali, satu ujungnya kuikatkan di jendela, satunya lagi di pinggang) tak mampu menahan tubuhku.

Sakitnya luar biasa, Bu. Mungkin saja pinggangku patah. Aku rebah, seseorang berlari ke arahku, entah apa yang diucapkannya. Lelaki tanggung itu mendudukkanku sesaat, kemudian ia memapahku, mengaitkan lenganku ke bahunya. Tapi, Bu, baru beberapa jejak kami melangkah. Lima orang lelaki berbadan tegap menghalangi, dua orang di antaranya adalah dua lelaki yang membawaku tadi.

Tanpa bicara, dua orang dari mereka merampas tubuhku, yang tiga lagi menghajar lelaki tanggung yang menolongku itu. Sedang tubuhku diseret, Bu. Aku meronta semampu upaya, mencoba meloloskan diri. Tapi tentu, tenaga mereka jauh lebih kuat. Aduh, Bu, kedua lenganku dicengkram. Pinggangku, Bu, pinggangku, uh, nyeri sekali. Sayup-sayup masih kudengar rintihan laki-laki tanggung itu, rintihan yang mengoyak-ngoyak jiwa. Rintihan yang kemudian lesap ditelan caci-maki dua laki-laki yang menyeretku ke lantai dua.

“Perempuan brengsek!”

“Jalang!”

“Dasar brengsek!”

Selepas ditendang, aku tersungkur ke lantai, tepat di depan perempuan bermata nyalang yang mengetuk pintu kamarku tadi. Aku tak bisa berbuat apa-apa, hanya terkenang dirimu, Bu. Hanya Ibu yang kupanggil-panggil dalam hati, berkali-kali.

“Ini dia, Mam. Perempuan brengsek yang mencoba lari.” Lelaki tegap berkulit gelap melapor begitu sigap. Hening sekejap.

“Kali ini, kamu aku maafkan. Tapi jangan kamu coba lagi. Kamu harus melunasi hutangmu dulu! Setelah itu, terserah.” Tidak ada nada amarah, tapi suara yang meluncur dari mulutnya betapa dingin. Bak belati hendak menyayat nadi. Hutang? Aku berhutang katanya, Bu? Ah, kapan pula aku berhutang kepada perempuan itu. Kenal pun baru saja. Jujur, Bu, pada saat itu aku bingung, sangat bingung. Sandiwara apa yang sedang kuperankan ini?

“Boy, bawa dia ke kamarnya kembali. Jaga perempuan ini, jangan sampai mengulangi perbuatannya lagi!” Perempuan itu mengeluarkan maklumat. Lebih dingin, lebih menyayat. Dua lelaki tegap itu mengangguk bersamaan. Mereka menyurukkan tubuhku ke dalam kamar. Seluruh tubuhku rasanya berdenyut. Aku baringkan diri di tilam yang tak berseprei lagi, sekedar menenangkan diri. Oh, wajah Ibu melintas-lintas di beranda anganku. Kalau saat ini aku berada di rumah, Ibu pasti membaluri badanku yang pegal dengan minyak urut, dan memijatinya dengan perlahan, sungguh perlahan.

“Kau terlalu capek, Rabiah. Jangan terlalu dipaksa badan itu bekerja. Sesuatu yang dipaksa itu tidaklah baik.” Biasanya, suara Ibu yang bercampur batuk akan membuatku terlelap, menuruti kantuk. Beberapa saat, aku segera terbangun oleh aroma teh yang sengaja Ibu letakkan di samping ranjang. Iya kan, Bu?

Tapi di sini tak ada minyak urut, Bu. Tidak ada wangi teh yang menyapu hidungku. Di sini hanya ada ringkik cekikik, suara-suara genit, tawa yang menyentak, atau jerit minta ampun yang pilu. Ada juga derit pintu yang menggetarkan nyaliku. Derit yang berkarat, yang memisahkanku dengan Nurminah, yang menyeretku ke kamar ini lagi. Lalu tiba-tiba, yang mengantarkan seorang lelaki asing yang berdiri di depanku.

Entah apa yang hendak dilakukannya padaku. Lelaki itu, seperti seorang cina, yang usianya kira-kira lima puluh tahun itu sudah tak mengenakan baju lagi. Badannya tambun, lemak perutnya yang buncit berlapis-lapis, terjuntai-juntai. Separoh kepalanya tak berambut. Aku beringsut, tapi ia tak surut. Matanya jalang, dadanya mengempis mengembang.

O, perutku mual. Tatapannya itu, Bu, seperti tatapan Ayah yang hamper menindih tubuhku ketika aku masih berusia empat belas tahun. Ibu, Ibu, lelaki ini mungkin juga hendak menindihku. Datanglah Ibu, terobos pintu, tendang selangkang lelaki kurang ajar itu. Seperti Ibu menendang kemaluan Ayah, lantas menyerapahinya, dan cepat-cepat memelukku dengan erat. Lalu, meskipun dengan cekung pipi yang diluapi air mata, kita pergi meninggalkan lelaki tua yang mengerang, layaknya kita membiarkan Ayah merintih meradang. Kita akan pergi dari tempat ini, seperti kita yang pergi dari rumah. Dan tak pernah kembali lagi. Tapi Ibu tak kunjung menerobos pintu, dan memang tak mungkin.

“Ayo, cantik, nak ke mana kau pergi.” Lelaki tua itu berbisik dengan bahasa melayu yang fasih. Ia mendekat, Bu. Tapi tidak, ia tidak boleh menjamahku.

Sudah kukatakan, ia tidak boleh menjamahku. Baru saja tangannya hendak menyentuh daguku, kusambar dengan gigitan terlebih dulu. Lelaki itu menjerit, memaki tak henti-henti.

“Budak hingusan! Kasar sangat kau ni! Tiada budak yang berani mempersiakanku seperti ini! Budak hingusan!” Lelaki itu memegangi tangannya sendiri. Terus memaki, lalu pergi menyisakan hempasan pintu yang tak berkunci.

Ibu, aku menang! Lelaki itu tak bernyali, hanya punya birahi. Aku menang, Bu. Meskipun perempuan bermata nyalang yang dipanggil Mama itu akhirnya dating mengata-ngataiku, menjambak-jambak rambutku. “Bangsat, perempuan tak tahu diuntung. Kamu apakan tamuku, hah? Kamu sudah saya beli dua ribu ringgit. Dan kamu harus mengembalikan uang saya yang lima juta itu ke saku bajuku.” Ia lalu membenturkan dahiku ke siku ranjang. Darah mengucur, Bu. Tapi aku puas. Darah itu tidak mengalir dari kemaluanku. Kubiarkan saja ia menamparku sesuka hatinya, juga tiga lelaki tegap suruhannya yang mencambuk tubuhku dengan selang hingga remuk.

Menendangiku, dan meninggalkanku terkapar di lantai. Terlentang dengan darah yang menggenang. Meski menahan perih, aku lega dengan keadaanku yang seperti ini, Bu. Paling tidak, aku beranggapan laki-laki tua lontong itu tak akan masuk ke kamar lagi. Tapi perkiraanku salah, ia sudah berdiri di sisiku. Wajahnya merah buram, menyeringaikan gairah yang berbaur amarah. Dengan sisa tenaga, aku bangkit, dan melonjak ke belakang. Tubuhku menubruk meja. Laki-laki brengsek itu mengikut pula.

Ibu, aku terhuyung, mataku nanar. Lalu dengan mudah ia sudah memelukku kuat, kuat sekali. Tapi, Bu, laki-laki itu hanya bisa mendekapku, tak bisa lebih dari itu. Rekahan cermin di tanganku telah berubah menjadi belati, kubelah punggungnya. Lalu cermin itu kutanam di lambungnya. Ia menggelepar. Darah berpencar-pencar. Kami sama-sama berdarah, Bu. Tapi aku menang, ia kalah. Lelaki itu mati oleh tanganku, sedang aku sebentar lagi mati oleh selilit tali.

Tidak ada yang salah apa yang diberitakan surat kabar dan televisi itu, Bu. Aku memang telah membunuh lelaki itu. Tapi Ibu sudah tahu kan, kenapa aku membunuhnya? Maka tidak usah Ibu gelisah. Tidak usah Ibu sibuk mengemis bantuan untuk membebaskanku dari ancaman eksekusi. Kalau ada orang-orang yang datang ke rumah untuk menawarkan jasa bantuan, tolak saja dengan santun, Bu. Sebab di sini aku juga menolak jasa itu. Aku tidak marah meski diteriaki gila oleh Bapak-bapak dari konsulat RI yang datang menjengukku ke penjara tahanan sementara Tawau.

“Maaf, Pak. Aku ikhlas jika dijemput maut dengan cara seperti ini.”

“Tapi tanpa pembelaan, itu sama halnya dengan bunuh diri.” Timpal seseorang yang berdasi.

“Aku mati bukan karena bunuh diri. Tapi kerena membela diri, karena memperjuangkan kehormatanku sebagai perempuan.”

“Kamu tidak boleh putus asa. Hidupmu di dunia ini masih bisa kita upayakan bersama-sama.” Seseorang yang lain ikut meyakinkan.

“Aku mati untuk hidup. Dunia hanya persinggahan belaka. Masih ada tempat yang lebih mulia, akhirat namanya.”

“Tapi hidup adalah amanah, wajib diperjuangkan, musti dipertanggungjawabkan!”

“Kehormatanku sebagai perempuan juga amanah, Pak. Dan itu sudah aku pertanggung jawabkan.”

“Dasar perempuan gila! Mati digantung kok menjadi cita-cita.”

“Cita-citaku ingin menjadi perempuan yang mulia .”

“Gila!”

Tidak, aku tidak gila, Bu. Aku waras. Dalam sidang, aku mengakui semua perbuatanku. Tak ada sepicing kejadianpun yang kusimpan. Dua kali bersidang, kasusku selesai. Keputusan hakim kuterima dengan lapang dada, sadar, dan dalam keadaan sehat. Aku dihukum mati! Aku tidak melakukan pembelaan. Hanya satu permintaanku pada Pak Hakim: Segera tunaikan eksekusi! Aku yakin jika Ibu pasti percaya dengan ceritaku ini. Aku tidak gila. Tapi mereka tak sudah-sudah berserapah: Gila! Lalu mereka mengirimkan seorang dokter spesialis jiwa ke penjara. Namun ia pergi dengan menggendong hasil yang kosong. Sebab hanya dengan diam aku menjawab rentetan pertanyaannya.

Begitulah, bukan aku pasrah dengan jalan hidup ini, Bu. Tidak aku hendak menghianati ucapanmu, “Jangan sekali-kali kau menyerah pada keadaan.” Bukan, bukan aku mudah menyerah, pesimis, atau tidak percaya dengan mereka. Ini adalah takdir yang di atas, Bu. “Kita hanya menjalani apa yang telah digariskan Allah.”

Aku ingat betul petitih Ibu yang satu itu. Aku bangga mati karena mempertahankan kehormatanku, kehormatan kita sebagai perempuan. Aku percaya, Ibu juga pasti bangga. Aku, adalah Rabiah yang menang. Penjara ini? Ah, tidak juga mampu mengalahkanku, Bu. Jeruji ini bahkan kian mengekalkan kemenanganku. Kemenangan yang sempurna. Betapa aku bahagia. Ada hal yang memang membuatku gelisah. Terus terang, aku rindu pada Ibu. Aku ingin mencium pipi dan kakimu untuk yang terakhir kali. Tapi tak apa-apalah. Itu tak mungkin lagi terjadi. Maafkan aku, Bu. Maafkan segala dosa dan kesalahanku.

Ufh, aku tahu, tak kesampaian niatku mengirimkan ringgit untuk Ibu. Tak mungkin pula aku pulang membawa oleh-oleh baju kurung berwarna biru. “Hei, Rabiah, mengeluh itu bukanlah perbuatan terpuji.” Nasihatmu kembali terngiang, seperti meredam keresahanku yang melintang.

Aku memang resah, Bu. Bukan resah karena aku harus mati muda. Tapi kenapa peluit eksekusi belum juga menunjukkan tanda-tanda berbunyi. Aku sudah tidak sabar hendak disunting maut. Dipeluk, dan dipagut maut. Aku ikhlas, Bu. Hidupku, tubuhku, ruhku, cintaku, dan kehormatanku hanya kupersembahkan untuk maut.

Aku senang mendengar keletak sepatu petugas penjara menuju ke arah kamarku. Riang mendengarkan derit gerendel pintu jeruji yang terbuka. Kusambut mereka dengan senyum, berharap waktunya telah tiba. Ah, aku seperti terlempar ke masa kanak. Betapa girangnya aku menyambut Ibu pulang dari pajak. Aku menghambur ke keranjang, merebut kue serabi dan rujak. Tapi mereka hanya menggiringku ke ruang makan, atau ke halaman untuk menyiangi taman.

Sungguh, Bu. Betapa aku tak sabar menanti saat yang mendebarkan itu, disanding maut. Kapankah, kapankah? O, tidak pernah aku segairah ini, Bu. Tidak pernah! ***

Medan, 2005

*) Cerpen ini dikutip dari laman Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara

Baca: Cerpen Achmed Sayfi Arfin Fachrillah: Malam Kepergian Marsena

*** Laman Cerpen terbit setiap hari Minggu dan menghadirkan tulisan-tulisan menarik bersama penulis muda hingga profesional. Silakan mengirim cerpen pribadi, serta terjemahan dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected]. Semua karya yang dikirim merupakan tanggungjawab penuh penulis, bukan dari hasil plagiat,- [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews