Cerpen Rusmin Sopian: Pak Lurah

Ilustrasi

CAHAYA matahari yang baru terbangun dari lelapnya, seolah enggan menampakkan diri. Di langit awan hitam berarak.

Mengiringi kedatangannya ke kantor kelurahan yang terletak di ujung kampung. Dan baru beberapa langkah kakinya menyapa lantai kantor, awan hitam pun pecah.

Lelaki setengah baya itu langsung masuk ke dalam ruangan kerjanya yang sangat asri. Beberapa pegawai memberikan salam hormat kepadanya.

Perabotan artistik dalam ruangan itu menyambut kedatanganya dengan wajah berbungkus kelesuan. Wajahnya terpotret sangat lelah. Guratan ketuaan tergambar dari wajahnya.

Lelaki setengah baya yang biasa disapa Pak Lurah oleh warganya, menengok ke halaman Kantor. Hujan menguyur bumi dengan lebatnya. Sesekali dentuman petir memekakkan gendang telinganya.

Pak Lurah masih memandang sekitar kantornya lewat jendela kaca dari ruang kerjanya.

Beberapa bulan lagi, ruangan kerja ini akan ditinggalkannya. Ya, dia akan meninggalkan ruangan kerja yang telah dihuninya hampir sepuluh tahun. Ya, hampir sepuluh tahun dia bekerja di dalam ruangan ini sebagai orang nomor satu di Kampung Kami.

Dibalik wajah tua yang terpotret di wajahnya, tersirat sebuah keinginan untuk melanjutkan perjalanannya sebagai Lurah. Apalagi sejarah telah menulis bahwa pernah ada Lurah yang memimpin Kampung Kami selama hampir tiga puluh tahun.

Setidaknya terbaca dari narasi para pecintanya kepada publik. Setidaknya tergambar dari usaha para pendukungnya menebar kehebatan dirinya sebagai seorang pemimpin. Setidaknya tergambar dari para fansnya yang selalu berdiksi tentang kehebatannya sebagai pemimpin kampung kami.

“Semestinya Pak Lurah diberikan kesempatan untuk memimpin kita lima tahun lagi,” ungkap seorang pegawai Kelurahan.
“Ketika dipimpin beliau, daerah kita maju. Pembangunan terlihat. Rakyat sejahtera,” lanjutnya dengan narasi berapi-api.
“Persoalannya aturan hanya memperbolehkan seorang Lurah memimpin selama sepuluh tahun. Apakah kita harus merubah aturan itu demi seseorang?,” celetuk seorang warga yang berbaju kaos.
“Betul saudaraku. Lurah hanya bisa memimpin sepuluh tahun. Jangan neko-neko,” sambung seorang warga berkepala botak.
“Jangan hanya demi kekuasaan, aturan dirusak,” sebut warga yang lain.

Pegawai Kelurahan terdiam. Tak menjawab. Dalam hati dia membenarkan ucapan warga.

Bel dimeja kerjanya ditekannya. Dan hanya dalam hitungan detik, beberapa orang sudah berada dihadapannya dengan sikap hormat.

Pak Lurah mempersilahkan mereka, para staffnya untuk duduk di meja rapat yang berada persis di depan ruang kerjanya.

“Saya heran….,” desisnya pelan. Bahkan suaranya hampir tak terdengar di telinga para Staffnya.

“Saya sungguh heran bahkan teramat heran. Semua orang menuduh saya sebagai dalang dibelakang pencalonan para calon Lurah kampung kita ini. Padahal saya tidak pernah melakukan apa yang mereka tuduhkan,” lanjutnya dengan narasi mulai meninggi.

Para staffnya terdiam. Mereka cuma menundukkan kepala. Melihat ke lantai ruangan kerja Pak Lurah yang mewah. Bahkan bisa untuk dijadikan wadah untuk bercermin. Melihat wajah mereka yang tegang.

” Apakah saya tidak boleh bersama dengan para calon Lurah?,” tanyanya.
“Apakah saya harus menutup diri dari mereka?,” lanjutnya.

“Apakah mereka tidak boleh bersilahturahmi dengan saya, Lurah sekarang?,” tanyanya sembari menatap wajah para pegawainya yang menunduk muka.

Para stafnya masih berdiam diri. Tak ada satu kata pun meluncur dari mulut mereka. Tak menjawab sama sekali.

Mereka diam seribu bahasa. Mulut mereka seolah terkunci. Sesekali mata mereka secara diam-diam melihat ke arah Pak Lurah.

Wajah Pak Lurah terlihat penuh dengan kegelisahan. Terpotret sebuah kebimbangan dari raut wajahnya. Kebimbangan diri saat akan meninggalkan kursi sebagai orang nomor satu di daerah ini.

Beberapa informasi yang diterimanya terbaca ada upaya untuk menggerogoti dirinya usai tidak berkuasa lagi.

Maklum banyak langkah yang dilakukannya saat sebagai Lurah yang menabrak aturan.

“Bapak harus hati-hati. Ada calon Lurah yang akan mengangkat kesalahan kebijakan yang Bapak buat usai Bapak mengakhiri Kekuasaan,” bunyi informasi itu.

“Infonya ada calon Lurah ke depan akan menguliti kebijakan Bapak yang terkesan seenak perut,. Itu akan merusak citra Bapak sebagai pemimpin dalam sepuluh tahun ini yang dikenal amat dekat dengan rakyat dan bekerja untuk rakyat rakyat” demikian suara yang masuk ke kuping Pak Lurah.

Cahaya rembulan malam tampak mempesona. Seiring terpesonanya Pak Lurah menyaksikan tarian bintang-bintang di langit yang eksotis.

Raut wajahnya diliputi kebahagian menyaksikan atraksi dari penghuni jagad raya ini sehingga Pak Lurah tak menyadari seorang pegawainya yang dipanggilnya telah berada di sekitarnya tanpa dipedulikannya.

Pak Lurah seolah kaget saat melihat stafnya masih berdiri tegak.

“Lho kok masih berdiri. Duduk. Silahkan duduk. Ayo diminum kopinya. Nanti keburu dingin,” ajak Pak Lurah kepada staffnya sembari mempersilahkannya duduk.

Tatapan mata Pak Lurah masih mendongak ke langit. Keeksotisan langit membuatnya bahagia.

Dalam beberapa saat, semburan kebahagian terbersit dari wajahnya. Setidaknya itu yang terpotret dari penilaian Stafnya.

“Aku memanggilmu ke rumah ini untuk berkonsultasi,” suara Pak Lurah terdengar lesu.

“Siap Pak,” jawab bawahannya yang merupakan orang kepercayaannya.

“Apakah aku salah membiarkan para calon Lurah itu memasang fotoku bersama mereka? Apakah aku harus melarang mereka memasang foto ku bersama mereka? Aku kan harus netral. Tidak berpihak kepada kandidat manapun,” ujar Pak Lurah.

“Langkah Pak Lurah sudah tepat,” sahut stafnya.

“Nah…Pertanyaannya, kenapa publik menilai aku bermain tiga kaki? Aku mereka tuduhkan bermain dengan ketiga calon Lurah,” kata Pak Lurah dengan nada suara meninggi.

Stafnya cuma terdiam mendengar pernyataan Pak Lurah.
Sementara desahnya terasa panjang. Sepanjang perintah Pak Lurah kepada dirinya untuk mendekatkan putranya yang sedang menimba ilmu di universitas di kota untuk bergandengan tangan dengan para kandidat Lurah yang akan berkompetisi dalam pesta demokrasi di Desanya tahun ini.

Di kalangan publik Kampung, warga menilai Pak Lurah bermain cinta dengan para Kandidat Calon Lurah. Pak Lurah mereka anggap bermesraan dengan calon Lurah yang akan berkompetisi dalam pemilihan Lurah mendatang.

Dalam setiap kegiatan di ruang publik, Pak Lurah selalu mengajak calon Lurah mendampinginya. Terkhusus terhadap calon Lurah yang merupakan staf kantor Kelurahan.

Sementara untuk calon Lurah yang lainnya, Pak Lurah terkesan menutup diri. Bahkan terkesan dingin.

Tak heran bila publik menilai Pak Lurah tidak netral. Memihak calon Lurah tertentu.

“Pak Lurah mata keranjang. Main mata dengan para calon lurah,” teriak seorang warga.

“Benar sekali kawan. Dia cari aman. Takut kalau boroknya dibongkar Lurah terpilih saat beliau tidak menjabat lagi,” warga yang lain menimpali.

“Pak Lurah berharap anaknya yang kuliah di Kota itu mendampingi para calon Lurah,” cerita warga yang berambut putih.

Pak Lurah tampaknya mulai dilanda penyakit amnesia yang sering menyerang pemimpin yang sering lupa dengan apa yang diucapkannya di publik.

Dalam berbagai acara, dirinya mengaku bahwa dirinya bersikap netral dalam pemilihan Lurah yang akan datang.
“Saya netral. Tidak memihak ke calon mana pun. Silahkan warga memilih sesuai pilihan dan hati nurani warga,” ungkapnya dalam setiap pertemuan dengan para warga.

Padahal lewat stafnya, dia bertemu dengan kandidat Lurah di rumahnya saat tengah malam. Saat para warga sedang bermimpi tentang kehidupan.

Pak Lurah tampaknya lupa. Bagaimana dia menyuruh orang kepercayaannya untuk mengajak putranya digandeng para Calon Lurah itu dalam kontestasi demokrasi Kampung mereka.

“Apakah warga sudah mengetahui bahwa bapak sering mengundang calon Lurah datang ke rumah ini?”suara stafnya terdengar bergetar. Ada ketakutan yang luarbiasa dari intonasi suaranya.

Mendengar narasi orang kepercayaannya itu, seketika tubuh Pak Lurah tumbang. Wajahnya menyapa ubin rumahnya.

Malam semakin melarut. Selarut duka yang didengar warga Kampung tentang Pak Lurah.

Ya, Pak Lurah kini harus berbaring di rumah sakit hingga waktu yang lama. Mukanya mengalami kerusakan fatal. Wajahnya berubah menjadi dua wajah. ***

Toboali, 3 November 2023

——————
Rusmin Sopian adalah Ketua Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca GPMB Kabupaten Bangka Selatan. Cerpennya tersiar di berbagai media massa lokal dan nasional. Saat ini Rusmin Sopian tinggal di Toboali Bangka Selatan bersama istri dan dua putrinya yang cantik. *

Baca: Cerpen Ikrom Rifa’I: Bunuh Diri

*** Laman Cerpen terbit setiap hari Minggu dan menghadirkan tulisan-tulisan menarik bersama penulis muda hingga profesional. Silakan mengirim cerpen pribadi, serta terjemahan dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected]. Semua karya yang dikirim merupakan tanggungjawab penuh penulis, bukan dari hasil plagiat,- [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews