Cerpen Laila Suryani: Rembulan di Atas Ranting Para

Ilustrasi

PEREMPUAN bermata bening itu histeris di atas gundukan tanah merah yang masih basah. Tak ada lagi yang tersisa kecuali puing hatinya. Air mata sederas bah pun tak akan mengembalikan kebahagiaan yang telah pergi. Bahagia itu telah terkubur bersama jasad lelaki yang dicintainya.

Tepukan di bahu menyadarkan wanita muda bergaun hitam ini. Ia membalikkan badan ke belakang. Netranya berkabut.

“Anak-anak membutuhkanmu.”

“Aku tahu, tapi bagaimana aku harus memulai hidup?”

“Selalu banyak jalan untuk orang yang optimis.” Mita, sahabat masa kecilnya menyemangati.

Di kejauhan, nampak sesosok lelaki memperhatikan.

***

Tiga anak kecil berdiri di belakangku. Si sulung yang berumur 10 tahun memeluk kedua adiknya. Nanar menatap. Tiba-tiba muncul rasa cemas, bagaimana caranya aku menghidupi mereka sedangkan aku tak bekerja. Pikiranku menerawang. Seandainya aku tahu Mas Danu akan meninggalkan kami secepat ini, tentu tak akan kuikuti saran pria itu. Berhenti bekerja dan fokus mengurus anak-anak. Setelah begini, mau bilang apa?

Kembali kutatap gundukan tanah merah. Air mata turun makin deras. Ini bukan sekadar rasa kehilangan cinta, tapi juga kecemasan menghadapi hidup. Suara isakan si bungsu yang menghambur ke pelukan semakin menghitamkan duniaku.

Menatap satu persatu wajah tak berdosa, lalu beralih pada gundukan tanah merah. Ada rasa sakit yang menghunjam ulu hati. Kepergian Mas Danu yang begitu cepat membuat jiwa terasa hampa.

“Mas, mampukah aku tanpamu, menjadi tulang punggung keluarga kita?” bisikku lirih.

“Ayo Bu… kita pulang,” rengek si bungsu yang masih berusia tiga tahun. Kiara yang imut dan sangat menggemaskan. Ia belum mengerti apa yang sedang terjadi.

Segera kuhapus buliran bening di dua netra. Menatap wajah-wajah yang masih polos ini, hatiku sedikit terhibur. Kami berjalan perlahan melewati gundukan-gundukan tanah yang ditumbuhi rerumputan.

“Selamat jalan, Sayang. Semoga taman surga menantimu di sana.”

Perjalanan dari pemakaman menuju rumah terasa sepi. Tak ada yang berbicara. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Mulai detik ini, aku akan menjadi orang tua tunggal. Segala kebutuhan mereka harus kuusahakan. Menyiapkan mental mereka sebagai anak yatim, pada kehidupan yang berbeda karena sekarang mereka tak punya ayah lagi.

***

Sinar rembulan menyembul dari sela pucuk Para, ketika kubuka tirai jendela. Berjalan pasti ke arah barat tanpa kawan. Bintang kecil tersenyum melihatnya sendiri menyertai langit. Lalu sang candra kirana dan gemintang menghilang. Cakrawala beranjak terang. Temaram perlahan memudar, berganti siang. Arunika perlahan muncul bersama dersik pagi.

“Engkaukah itu bulan, melangkah pasti dalam kesendirian. Lalu, Aku? Bukankah aku masih punya 3 malaikat kecil?”

Ya, aku lebih beruntung daripada rembulan.
Kusapu pandangan ke ruang keluarga. Ingatan kembali melayang. Biasanya engkau duduk di bawah sofa itu, Mas. Menemani anak-anak menyelesaikan tugas sekolah mereka.

Lalu, setelah salat magrib, mengajak mereka mengaji. Di ruangan ini juga, kau merayuku agar tetap tinggal di rumah untuk anak-anak.

“Anak-anak lebih penting, Bunda. Mereka membutuhkan dirimu di rumah,” ujarmu saat itu. Menatap mesra sambil mengusap tangan. Aaaahhh… kenangan kita sangat indah, Mas. Engkau terlalu baik untuk kami.

Lalu aku pergi ke dapur. Di sini pun ada bayangmu. Kuteringat, setiap minggu kita masak bersama. Apa saja yang kita masak berdua selalu habis tersantap dengan nikmat. Kau pun tahu, aku suka memasak, apalagi kue. Perlengkapan memasak, lengkap kau belikan. Mendukung hobiku dan agar anak-anak makan masakan yang terjaga kebersihannya. Terkadang, kue buatanku kau bawa ke kantor. Teman kantor sering memuji kue yang kau bawa. Enak, kata mereka.

Lihatlah Mas, peralatan memasak kue yang memenuhi sebagian ruang dapur kita. Darimu. Tiba-tiba aku tersadar. Ya, Allah. Inikah rahasiamu? Iya, Aku bisa. Aku bisa. Aku tidak mau kalah dengan rembulan itu. Meski sendiri, tetap berani melangkah. Tiba-tiba rasa optimis memenuhi dadaku. Yes, aku bisa. ***

Baca: Cerpen Ihsan Yauma: Sumarni dan Sepeda Mini

*** Laman Cerpen terbit setiap hari Minggu dan menghadirkan tulisan-tulisan menarik bersama penulis muda hingga profesional. Silakan mengirim cerpen pribadi, serta terjemahan dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected]. Semua karya yang dikirim merupakan tanggunjawab penuh penulis, bukan dari hasil plagiat,- [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews