Cerpen Fiana Winata: Menjemput Ridho-Mu

Ilustrasi

PAGI ini burung berkicau indah sekali, mentari pun bersinar lembut seolah melindungi hati yang masih memeluk sunyi. Rutinitas di kampung ini masih seperti dulu tak ada yang berubah, nuansanya selalu asri, tegur sapa penduduknya menentramkan hati. Tak seperti penduduk kota yang sibuk dan bising dengan ego untuk bertahan hidup dan merangkai mimpi. Sejenak kutinggalkan semua beban hidup dan diktat yang menggunung tinggi, aku ingin melepaskan rindu pada tanah yang telah mendidikku hingga saat ini. Kubuka jendela kuhirup udara pagi dan melepaskan semua ego yang tersembunyi. Kulihat pasangan yang mulai renta menapaki jalan membawa sabit dan cangkul untuk mengolah bumi, tak ada beban yang terpancar langkahnya penuh percaya diri hanya saja mereka menyadari inilah rutinitas yang wajib untuk disyukuri.

Pandanganku tertuju pada hamparan hijau yang penuh kemilau, disebelahnya ada gemericik air yang tak pernah sunyi. Sumber kehidupan kampung ini, air yang sejuk dan belum tercemar menjadikannya sebagai jantung kehidupan kampung ini. Sekilas terbayang masa kecil yang tak akan kembali, berkejaran di pematang sawah, belajar mengolah bumi, bahagia yang tak dapat terlukiskan saat masa panen datang dan memancing ikan hingga makan bersama di pondok harapan. Kami menyebutnya pondok harapan karena di sanalah segala mimpi dan cita-cita kami bicarakan. Ahhh… indah sekali, tapi mataku masih tertuju pada pondok yang berada di sebelah sungai itu. Ada rinai yang membuat sebak dalam dadaku, rasanya masih kemarin tapi waktu berkata itu sudah sepuluh tahun yang lalu.

“Hei… bukan itu tujuan kedatanganku, bukan sebak yang kembali aku rinaikan tapi menuntaskan rindu pada Ayah dan Ibu sebelum keberangkatanku ke Jerman nanti.” Tersadar dalam lamunan suara ini menyadarkanku, suara yang selalu bergema dalam relung hati untuk menguatkanku.

“Alya, sudah bangun?” terdengar suara Ibu yang mengetuk pintu. Kuusap butiran air mata yang menggenang di sudut netraku. “Sudah, Bu.” Jawabku dan bergegas membuka pintu.

“Nak, setelah zuhur nanti ada tamu yang datang. Sekarang bantu ibu untuk siap-siap ya di dapur.” Ibu membelai kepalaku dan beranjak kembali ke dapur. “Tamu, siapa Bu?” tanyaku penasaran mengiringi langkah Ibu. “Nanti juga kamu tahu, mereka sudah lama menunggumu. Kamu sih terlalu sibuk dengan semua diktatmu itu, kemarin saat ditelepon ibu mau cerita, tapi apa tuh, kamu bilang mau zoom meating atau apa itu, Ibu lupa namanya.” Jelas Ibu sambil memotong sayur.

“Iya, Bu. Ada rapat yang harus Alya hadiri, maaf gara-gara itu Ibu tidak jadi cerita.” Jawabku sambil memeluk ibu dari belakang. “Ya sudah, sekarang kamu sudah di sini, nanti kamu dengar sendiri Ibu tidak perlu untuk bercerita lagi.” Jawab Ibu sambil tersenyum padaku.

Senyum Ibu membuatku makin penasaran, siapa yang akan berkunjung hingga Ibu repot seperti ini. Kalau di kota tamu yang datang hanya disajikan teh atau cemilan ringan saja, tapi kali ini Ibu malah sibuk menyediakan lauk pauk seperti ada acara penting atau syukuran layaknya yang dilakukan di kampung kami ini. “Ahhh… sudahlah, biarkan nanti aku lihat sendiri.” Jawabku dalam hati.

Sambil membantu Ibu di dapur, kami pun bercerita bagaimana tentang pekerjaanku dan rencanaku untuk melanjutkan studi ke Jerman tahun ini. Gelak tawa meramaikan dapur pagi ini, rindu yang mulai terobati bercerita pada Ibu secara langsung dan tidak lagi di telepon seperti biasanya. Rencana dan semua keinginan kusampaikan pada Ibu hingga pada akhirnya pertanyaan Ibu menghentikan tawaku. “Nak, apa tidak sebaiknya sebelum kamu ke Jerman kamu menikah.” Ibu menatapku penuh harap dan menunggu jawabanku.

Inilah pertanyaan yang kuhindari jika aku ada di sini, kalau di kota pertanyaan itu tak akan pernah muncul karena penduduknya sibuk dengan ego dan impian mereka masing-masing. Tapi ini rumah, tanah kelahiranku, wajar jika pertanyaan itu dilontarkan padaku karena hingga detik ini pun belum ada niat untuk mengakhiri masa lajangku sejak kepergian kang Hasan sepuluh tahun yang lalu.

“Nak, hidup terus berjalan. Hasan sudah bahagia di sana, ikhlas nak, dia bukan jodohmu dan Allah lebih menyayanginya melebihi rasa sayangmu padanya.” Ibu mendekatiku dan mengangkat wajahku yang tertunduk. “Ibu juga yakin, jika kamu masih seperti ini, Hasan juga akan sedih di sana. Lanjutkan hidupmu nak, bahagia, bahagiamu akan membuat Hasan bahagia di sana.” Lanjut Ibu sambil menggenggam tanganku.

Aku pun kembali menyelesaikan pekerjaanku, tak ada pembicaraan setelah itu. hening tanpa kata, Ibu sibuk dengan kompornya aku pun demikian. Dalam heningku, apa yang dikatakan ibu ada benarnya. Sampai kapan aku harus larut dalam duka, toh Kang Hasan pasti sudah bahagia di sana, tak ada lagi sakit yang dirasakannya dan aku pun harus melanjutkan hidup dan membahagiakan orang tua.

“Bu, apa Ibu ingin aku untuk menikah.” Tanyaku memecah kesunyian. Ibu membalikkan badannya dan tersenyum padaku. “Nak, bukan Ibu. Biarkan pernikahan itu datang karena keinginanmu, bukan Ibu. Ibu hanya mengingatkanmu, hidupmu tak hanya sebatas kerja dan study nak, ada ibadah yang harus kau lakukan dan itu adalah sunnah nabimu. Jika sudah ada dalam hatimu maka Allah akan kirimkan yang terbaik untukmu nanti, pasti.” Jawab Ibu menjelaskan.

Aku hanya tersenyum mendengarkan penjelasan Ibu, nasihat yang selalu kurindukan dalam sendu yang kurasakan. “Bu, Ayah mana? Kok gak kelihatan dari tadi.” Tanyaku sambil menyusuri sudut rumah. “Oh, ayah ke tempat Pak Danu anaknya tunangan hari ini.” Jawab Ibu. “Pak Danu, siapa yang tunangan Bu?” jawabku penuh selidik. “Ratna, teman SMP-mu dulu. Masih ingat?” Ibu menepuk pundakku. Ya Ratna adalah teman SMP-ku, dia adalah gadis yang sederhana dan pendiam bahkan sangat pemalu. Tak terasa usia sudah jauh mengawalku, semua teman sekolahku sudah bertemu jodohnya masing-masing sedangkan aku masih saja larut dengan tugas kampus dan mahasiswaku.

***

Azan zuhur berkumandang, kubasuh anggota tubuhku dengan air yang terasa sejuk. Perlahan ada getaran yang tak biasa, ada rasa yang sulit aku terjemahkan. Dalam sujud kumeminta perlindungan Allah dari setiap kesulitan, berharap ada kemudahan pada setiap rutinitas yang aku jalankan saat ini, tak lupa terselip harapan yang tertata dalam sanubari untuk pendamping terbaik yang telah Allah persiapkan nanti.

“Alya, ini ada yang mau ketemu kamu.” Suara ibu terdengar dari balik pintu. Jantungku berdegup kencang, kulipat mukena dan sajadahku dan bergegas ke depan. Dari dapur ibu kembali bersuara, “Nak, bantu ibu membawa minuman ini.” Aku yang berjalan berdampingan dengan ibu memasuki ruang tamu, tak kulihat betul siapa yang datang hanya sekilas melihat wajah yang tak asing untukku. Ketika ingin kembali ke dapur, ayah menyapaku “Alya, ini Ahmad dan keluarganya datang untuk melamarmu.”

Aku melihat sekelilingku dan kedua mata kami pun beradu, sekilas kuingat memori saat putih abu-abu. Ahmad adalah anak yang tengil waktu SMA dulu, bagaimana bisa si tengil ini datang bahkan punya niat untuk melamarku. Batinku mulai meronta, apa Ayah dan Ibu tidak tahu bagaimana Ahmad dan banyak wanita yang menjadi kisahnya saat itu. Aku hanya diam dan tersenyum pada mereka yang datang lalu kembali ke kamarku.

Setelah mereka pergi bergegas kutemui Ayah dan Ibu, “Kenapa Ayah dan Ibu tidak bilang jika Ahmad ingin melamarku? Apa Ayah dan Ibu menerima lamaran mereka?” tanyaku tak sabar menanti jawaban dari Ayah dan Ibu. “Nak, sudah lama Ahmad ingin menemuimu. Dia meminta nomermu hanya saja kami tidak memberikannya karena kebiasaanmu selalu mengabaikan setiap nomer baru. Lalu kami meminta mereka untuk datang saat kamu ada di sini. Ahmad ingin serius padamu.” Ayah menjelaskan. “Tapi Yah, Ahmad ini bukan orang yang baik. Alya tahu siapa dia, kami satu kelas saat SMA dulu dan bagaimana kisahnya dengan banyak wanita saat itu. Maaf yah,. Ayla tidak mau menikah dengan dia.” Alya menatap Ibu penuh makna. “kami tadi sampaikan pada mereka bahwa hal ini terserah padamu, jika tidak bersedia ya sudah tidak masalah tapi apa kamu benar tidak ingin mendengar bagaimana Ahmad saat ini.” Ibu kembali menjelaskan. “tidak perlu Bu, masa lalunya sudah cukup menjelaskan bagaimana dia saat ini.” Aku pun kembali ke kamar tanpa ada pembahasan terkait Ahmad dalam waktu yang panjang.

Liburan telah usai dan besok adalah jadwal penerbanganku ke Jerman, Ayah dan Ibu mengantarku hingga bandara dan kami pun saling berpelukan. Satu amanat Ibu sebelum aku masuk dalam ruang tunggu, “Nak, jangan pernah salah menilai orang hanya karena tampilannya. Semoga di Jerman kamu dapatkan kebahagiaan.” Sepanjang perjalanan kepalaku masih dipenuhi pertanyaan, bagaimana bisa Ahmad datang ke rumah dan memintaku menjadi istrinya, apa dia tidak sadar bagaimana jahilnya iya saat masa itu. Aku membenci sifatnya yang sering gonta – ganti pasangan. Ahh… sudahlah yang jelas ayah dan ibu mau menerima keputusanku.

***

Kulihat wajah Ibu dalam bingkai foto yang terpajang, ada rasa yang tak biasa hadir dalam hatiku seketika batinku berkata, aku ingin menikah dan menyempurnakan agamaku. Namun, dibalik keinginanku terselip keraguan dalam benakku siapa dan bagaimana jodohku nanti, sementara saat ini yang dekat denganku adalah segudang tugas dan diktat yang tak bisa jauh dariku. Hmmm… Mungkin inilah jodohku saat ini.

Pagi ini sebelum aktifitas kampus dimulai ada kajian pagi di masjid fakultas, kajian ini sering diadakan oleh anggota rohis setiap bulannya, kebetulan kajian kali ini membahas tentang jodoh. Dengan semangat empat lima kuikuti kajian ini untuk mendalami perkara dunia yang merupakan rahasia Allah. Tersentakku pada satu ayat yang disampaikan yang artinya “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (QS Adz-Dzariyat:49). Subhanallah, bukan tanpa sebab Allah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan sebagai pelajaran buat kita agar terus bersyukur pada setiap keadaan. Maha benar Allah dengan segala firmannya. Jodoh pasti akan datang dan setiap insan ada ketetapannya, mungkin tidak saat ini tapi akan datang pada saat yang tepat.

Tanpa terasa satu tahun pun berlalu, proposal disertasiku diseminarkan hari ini, berdegup kencang dalam jantungku. Bagaimana tidak, lima profesor hebat akan mengujiku saat ini. Tak kulihat siapa saja yang datang saat ini tapi ada satu yang menyita pandanganku ada sosok yang tak asing bagiku, kenapa ada Ahmad dalam ruang seminarku dan dia duduk tepat dihadapanku. Lidahku mendadak kelu, tak bisa berpikir panjang dan aku harus fokus pada proposalku. Makin kutertegun saat membaca nama penguji yang hadir di depanku, salah satunya adalah Prof. Dr. Fauzan Ahmad Maulana, M.Pd., Ph.D.

Bismillah, show must go on kupresentasikan proposalku di depan penguji banyak petanyaan dan masukan untuk kebaikan penelitianku nanti dan satu setengah jam pun usai. Kurapikan semua barang-barangku dan kulihat Ahmad pun keluar dari ruangan, dalam pikirku mungkin nanti aku akan menemuinya.

“Selamat sayang, akhirnya satu tahap dapat diselesaikan.” Ujar Ranti sahabatku. Belum sempat aku menjawab ucapannya kembali ia berkata “Ini ada salam dari Prof Ahmad.” Sambil menyodorkan kartu nama padaku. “Prof Ahmad siapa?” tanyaku heran. “itu yang mengujimu barusan, beliau Profesor muda di fakultas ini loh, kabarnya dia juga satu kampung denganmu, apa kamu ngak kenal?” tanya Ranti sambil menjelaskan. Makin berdegup kencang, kulihat kartu nama tersebut dan pada bagian belakangnya tertulis call me please. Banyak tanya dalam benakku, tapi nanti akan terjawab setelah aku menghubunginya.

Esoknya kukembali sibuk dan berdiam diri di pustaka untuk menyelesaikan laporan disertasiku, tujuanku hanya satu cepat tamat dan kembali ke Jakarta sementara itu kuliah daring dengan mahasiswaku pun masih berlanjut. Setelah selesai kumenuju masjid yang ada disekitar kampus sebelum kembali pulang. Sayup terdengar dari kejauhan suara yang tak asing bagiku, makin dekat suara itu makin jelas sepintas kumelihat Ahmad sedang mengisi kajian di sana. Subhanallah, ayat yang dia baca dan mengaitkannya dengan hadits membuat materinya makin jelas dan mudah untuk dipahami. Dia bukan Ahmad yang dulu, dia adalah Ahmad yang baru dengan segala versi terbaiknya saat ini.

Baru kuingat kartu nama yang diberikan oleh Ranti kemarin dan aku belum sempat untuk menghubunginya. Azan berkumandang semua mahasiswa yang muslim begegas untuk menunaikan seruan-Nya, khidmat terasa saat ini dengan lantunan ayat yang dibaca oleh imam ia membaca surat Ar-Rahman indah sekali “maka nikmat Tuhamu yang manakah yang kamu dustakan.” Setelah selesai aku bergegas pulang, ternyata Ahmad sudah menungguku di gerbang masjid. “dari mana ia tahu kalau aku di sini” pikirku dalam hati. Ingin lewat jalan lain, tapi sialnya jalan ini adalah jalan satu-satunya untuk keluar.

“Subhanallah Prof, suaranya luar biasa begitu tenang dan enak untuk didengar. Kapan isi kajian lagi Prof?” tanya salah satu mahasiswa padanya. “apa, ternyata dia yang menjadi imam?!” Hatiku kembali bergetar, sosok yang berdiri tepat dihadapanku bukanlah Ahmad yang dulu aku kenal. “Assalamualaikum, apa kabar? Bagaimana dengan disertasimu?” tanyanya memecah lamunanku. “Waalaikum salam, Alhamdulillah. Sekarang prosesnya sedang berjalan, oh ya terima kasih untuk masukanmu kemarin.” Jawabku dengan nada yang bergetar.

“Sudah terima kartu namaku?” tanyanya kembali. “oh… sudah, saya juga sudah menyimpannya.” Jelasku sambil berjalan. Dia yang mengikutiku dari belakang pun kembali bertanya “kenapa hanya disimpan, tidak maukah berbicara denganku?” pertanyaannya membuat langkahku terhenti. “bukan begitu, aku hanya segan menghubungi Profesor yang mashur di kampus ini. Banyak yang berubah darimu Ahmad, kamu sekarang berbeda.” Jelasku sambil menundukkan pandangan.

Banyak hal yang kami bicarakan saat itu, bahkan dia pun bercerita bagaimana bisa sampai ke Jerman. Ternyata ia masih mengingat pekataanku saat itu, negara tujuanku untuk melanjutkan study adalah Jerman dan itu yang menjadikan alasan utamanya untuk melanjutkan study dan menjadi dosen di kampus ternama ini. Allah mengatur pertemuan ini tanpa ada yang kebetulan, dan dialah yang menjadi tutor untuk menyelesaikan studyku di sini.

***

Tahun berikutnya gelar Doktor pun bisa aku dapatkan dan kembali ke Indonesia untuk mengabdikan dan membagikan ilmu yang kudapat pada mahasiswaku nantinya. Hal pertama yang akan aku lakukan adalah berkunjung ke kampung halaman untuk menemui Ayah dan Ibu, kupeluk erat mereka karena kasihnya yang tak pernah putus untuk mendoakanku. Sebelum kembali pada aktifitasku, kumenerima email dari Prof Ahmad yang isinya “tunggu aku pulang, masih ada yang belum selesai.”

Esoknya keluarga Ahmad pun datang untuk memberikan ucapan selamat padaku, banyak hal yang mereka tanyakan terkait kuliah dan Ahmad di sana. Mereka keluarga yang mengasyikkan, keluarga yang hangat dan penuh perhatian, tak lama bicara terdengar suara klakson modil dari luar. “siapa lagi yang datang?” pikirku dan menuju halaman. Saat pintu mobil dibuka, pria yang tak asing pun keluar dan dia adalah Ahmad, Prof. Dr. Fauzan Ahmad Maulana, M.Pd., Ph.D. Aku hanya mampu terdiam dan tak mampu berkata, ia kembali ke rumahku apa kali ini punya tujuan yang sama dengan beberapa tahun yang lalu.

Semua tersenyum dan saling pandang, lalu Ahmad pun tersenyum padaku. Hanya aku yang terdiam dan tak paham menterjemahkan kondisi dihadapanku saat ini. Dengan suara yang lantang Ahmad pun berbicara padaku “Dr. Alya Wulandari, M.Pd pada hari ini saya datang dengan maksud untuk melamarmu, aku telah meminta ridho dari orang tuamu dan kini izinkan aku yang langsung bertanya padamu. Maukah kau menjadi istriku menemani hidupku dalam suka dan dukaku, izinkan aku menjadi imam yang terbaik untukmu.” Aku yang hanya terdiam tanpa kata, hanya mampu menitikkan air mata dalam sebak yang berlinang dari mataku “insyallah, allah pertemukan kita dalam versi yang terbaik saat ini. Maka dengan izin Allah kuterima lamaranmu.” Gemuruh syukur yang terucap saat itu. Ibu benar, jangan pernah salah menilai orang hanya karena tampilannya dan saat ini aku dengan versi terbaikku dan begitu pun dengan Ahmad.

“Allah telah mencatat ketentuan-ketentuan ciptaan-Nya 50.000 tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi.” (HR Muslim dan Tirmizi) tak perlu ragu bahkan berputus asa dengan tidak terlaksananya rencanamu karena rencana Allah yang lebih indah untukmu. Hal ini juga dipertegas oleh Allah dalma surat An Nur ayat 26 yang artinya “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laiki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).” Maha benar Allah dengan segala firmannya. ***

———————-
Fiana Winata. Wanita kelahiran Cirebon, Jawa Barat saat ini berdomisili di Bukittinggi. Menyukai menulis sejak usia remaja. Menulis merupakan cara yang terbaik untuk menghargai setiap kisah yang telah Allah persiapkan. Menulis tujuh buku tunggal dan tiga puluh enam antologi. Tulisan sudah dimuat di media cetak dan online Indonesia dan Malaysia. Silakan sapa penulis ig.ofie_gw atau fb.Fiana Winata. *

Baca: Cerpen Dwi Ratih Ramadhany: Selepas Buhaji Pergi

*** Laman Cerpen terbit setiap hari Minggu dan menghadirkan tulisan-tulisan menarik bersama penulis muda hingga profesional. Silakan mengirim cerpen pribadi, serta terjemahan dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected]. Semua karya yang dikirim merupakan tanggunjawab penuh penulis, bukan dari hasil plagiat,- [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews