Opini  

Berawal Dari Rumah, Menuju Generasi Melek Literasi Digital

Oleh: Suria Tresna

PERNAHKAH kita membaca atau mendengar “acaranya kapan? harganya berapa? tanggapan seseorang ketika kita menulis sesuatu di halaman media sosial, baik itu facebook, whatsapp, maupun media lainnya, padahal dari informasi yang ditulis semua detail tentang acara atau harga dari suatu barang yang kita posting sudah lengkap baik dalam flyer maupun dalam bentuk teks.

Saya sangat yakin sebagian besar dari kita mengalaminya. Apa yang terjadi sebenarnya? Hal ini merupakan contoh kecil yang sangat nyata menunjukkan bahwa masyarakat kita masih belum bisa menjadi pembaca yang baik. Dalam artian belum mampu mengolah informasi yang ada padahal informasi tersebut sudah disajikan dalam bentuk yang se sederhana mungkin agar mudah untuk dipahami. Mengenai hal ini banyak orang menggunakan istilah “belum literat” . Sejauh ini bisa ditarik kesimpulan bahwa masyarakat kita memang jauh dari kriteria literat.

Sebelum masuk pembahasan inti mari kita membahas apa itu literasi.

Literasi itu sendiri menurut Elizabeth Sulzby adalah kemampuan seseorang dalam berbahasa dan berkomunikasi. Di mana orang tersebut tidak hanya memiliki kemampuan membaca saja. Tetapi juga memiliki kemampuan menyimak, berbicara serta menulis.

Permasalahan baru timbul saat masyarakat kita yang masih jauh dari kata literat ini dibombardir oleh informasi yang datang secara bertubi-tubi. Tanpa mampu menyaring bahkan memahami informasi tersebut, masyarakat sering terjebak dengan hal-hal yang tidak berguna.

Tidak jarang menghabiskan waktu dan paket data hanya berselancar di media sosial tanpa mendapatkan apa-apa. Sering sekali membagikan berita-berita hoax yang beredar tanpa memahami isi dari berita tersebut. Pun, tanpa memilah apakah berita itu benar atau salah.

Padahal dengan berkembangnya dunia digital saat ini seharusnya masyarakat kita lebih bisa memanfaatkan hal tersebut untuk dapat mengakses informasi demi keperluan-keperluan tertentu yang lebih bermanfaat. Bahkan dengan adanya era digital saat ini sangat menunjang dalam kemajuan di segala bidang, baik itu pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya. Kita bisa mengakses apa pun yang terjadi di seluruh dunia.

Era digital memudahkan orang untuk mendapatkan informasi lowongan pekerjaan secara online. Kalau dulu saya harus pergi ke kantor pos untuk melihat lowongan pekerjaan setelah menyelesaikan studi S1, ataupun pergi ke loper koran hanya untuk membuka kolom lowongan pekerjaan, maka saat ini siapa pun bisa melihat lowongan pekerjaan tidak hanya di dalam negeri bahkan di seluruh mancanegara dalam genggaman.

Pembeli dipertemukan dengan penjual, tanpa harus benar-benar bertemu. Transaksi jual beli dapat terlaksana dengan adanya kemudahan dari teknologi digital ini. Kalau zaman saya kecil, saya hanya bisa memakan dodol kalau ada keluarga yang pulang dari Jakarta, atau hanya memakan bika ambon, kalau ada tetangga yang pulang dari Medan. Maka berbeda dengan saat ini, hanya butuh perangkat seperti smartphone, ataupun laptop, paket data dan saldo rekening, maka dua hari kemudian kurir akan tiba di depan pintu kita mengantarkan kuliner khas dari seluruh nusantara tanpa harus pergi ke mana-mana.

Namun kendala yang kita hadapi justru sebaliknya. Banyaknya informasi dan kemudahan yang tersaji masih belum mampu membuat masyarakat kita bersaing nyata di dunia internasional. Kita masih saja terus tertinggal. Semakin banyak masyarakat terutama anak muda yang malah asyik memanfaatkan teknologi untuk hal-hal mubazir.

Untuk itu sangat diperlukan gerakan nyata dari kita bersama untuk mewujudkan generasi yang melek literasi digital.

Saya akan mengutip pengertian literasi digital menurut Paul Gilster yang paling mudah dipahami, dimana literasi digital adalah kemampuan seseorang dalam memanfaatkan informasi dalam berbagai bentuk. Baik itu dari sumber perangkat komputer maupun dari ponsel.

Dari pengertian di atas dapat kita lihat bahwa literasi memang tidak sebatas hanya membaca namun juga memahami. Dan literasi digital seharusnya memudahkan kita untuk mengakses segala informasi yang biasanya sangat sulit kita dapatkan.

Kalau dalam kondisi biasa, untuk membaca sebuah novel, kita harus mengeluarkan uang Rp. 70.000 sampai dengan Rp. 80.000 per eksemplarnya, dengan kondisi saat ini, kita bisa mengakses novel digital dengan harga yang jauh lebih rendah dibanding membeli sebuah buku. Harga koran online pun jauh lebih murah dari harga koran cetak.

Kendala yang sering kita hadapi pada masyarakat kita sekarang ini adalah jangankan memahami sebuah informasi, untuk membaca saja sudah sangat malas.

Menurut pengamatan saya sejauh ini, sejak saya mendirikan ruang baca di rumah saya, semenarik apapun buku yang kita tawarkan baik itu kepada anak-anak maupun kepada orang dewasa, sebagian besar dari mereka hanya melihat-lihat sebentar lalu meletakkan kembali di rak buku untuk kemudian melanjutkan memegang ponsel mereka menonton Youtube, bermain game, ataupun hanya menjelajah sosial media.

Ada cerita menarik tentang seorang pengunjung yang meminjam buku karangan Tere Liye. Dua hari kemudian beliau memulangkan buku tersebut. “Saya tidak mengerti ceritanya, terlalu berbelit-belit, susah dipahami!” katanya kepada saya. Lalu saya pun bertanya, “Kamu sudah membaca ceritanya dari awal sampai akhir?”

“Belum sih, saya nggak suka, entah apa ceritanya!” dia merenggut sambil menyerahkan buku tersebut. “Kalau begitu coba kamu baca buku-buku ini!” Saya kemudian menawarkan bermacam buku-buku yang menurut saya sangat menarik dengan bahasa yang lebih sederhana. Namun, selang beberapa hari kemudian dia kembali mengembalikan buku tersebut, dan kembali bilang kalau buku itu tidak menarik, dan lagi dia tidak membaca buku-buku itu sampai habis. Begitu dia datang lagi, selalu saya tawarkan beberapa buku yang berbeda. Dan hal yang sama terjadi lagi. Ketika saya tanya apakah kamu mengenal Bona gajah kecil berbelalai panjang? Apakah kamu kenal dengan Paman Gober, Husin dan Ashta, Paman Kikuk, Nirmala? Dan dia pun hanya menggeleng dan mengedikkan bahu, menjawab tidak mengenal mereka.

Kasus lain yang saya temui setelah mengamati perilaku beberapa pengunjung di ruang baca, hal menarik lain yang saya jumpai adalah, orang dewasa yang suka membaca hanya ada 3 orang. Mereka selalu rutin meminjam buku setiap minggu. Dan setelah sering bercakap-cakap dengan mereka yang semua adalah tetangga, saya akhirnya mengetahui bahwa mereka dulunya sama seperti saya, yaitu saat usia SD pembaca majalah Bobo, Donal Bebek, dan saat usia remaja mulai membaca Aneka Yes, Lupus, Lima Sekawan dan komik-komik yang tenar pada masa-masa itu. Kesimpulan yang dapat kita ambil adalah orang dewasa yang saat ini suka membaca, telah mulai mengenal buku sejak saat mereka masih kecil.

Hal lain yang saya temui adalah, anak-anak yang suka membaca, yang sering datang ke ruang baca rutin setiap minggu, hanya tidak datang kalau mereka ada keperluan lain, terdiri dari 5 orang, 3 dari mereka adalah anak dari ibu-ibu yang suka datang tadi, dan 2 lagi ibunya tidak pernah datang ke ruang baca, namun mereka juga punya banyak buku bacaan di rumah dan malahan sering juga bertukaran buku dengan anak saya.

Dari tiga kasus menarik di atas, dapat kita tarik benang merahnya, bahwa orang dewasa yang suka membaca, terbentuk dari anak-anak yang sedari kecil sudah terbiasa membaca. Mereka terbiasa dengan buku. Anak-anak yang suka membaca pun, tebentuk dari orang tua yang juga sangat gemar membaca.

Nah di sinilah menurut saya tantangan terbesarnya dalam era literasi digital saat ini. Bagaimana kita akan menumbuhkan generasi yang mafhum literasi digital jika mereka sendiri tidak suka membaca?

Oleh sebab itu untuk menumbuhkan dan menciptakan masyarakat yang suka membaca kita harus memulainya dari rumah. Orang tua harus menciptakan atmosfer yang kondusif sehingga anak-anak bisa mencintai kegiatan membaca.

Berikut 4 tips yang sangat bisa diandalkan untuk menciptakan pembaca yang sudah berhasil saya terapkan kepada anak-anak saya di rumah, di antaranya :

1. Belikanlah anak-anak buku.

Usahakan selalu menyisihkan dana setiap bulan untuk membeli buku. Semakin dini anak mengenal buku maka anak akan merasa terbiasa dan selalu tertarik ketika melihat buku. Hal ini sudah saya buktikan, ketika anak-anak saya bawa bertamu yang mereka lirik adalah buku, karena mereka sudah terbiasa. Sangat berbeda dengan anak-anak yang tidak terbiasa, mereka akan merasa asing, bahkan kita kasih buku yang paling menarik sekalipun, mereka hanya akan melengos saja.

2. Bacakan mereka buku

Diusia dini, saat mereka belum pandai membaca, maka peran orang tua sangat besar. Membacakan buku dengan cara yang menarik akan membuat anak merasa kegiatan membaca adalah kegiatan yang menyenangkan. Dan hal yang terus-menerus akan menjadi kebiasaan.

3. Memilih buku yang tepat

Buku yang tepat sangat diperlukan . Untuk anak-anak yang masih suka mencoret dan merobek kertas bunda perlu membeli buku hard cover, agar tidak mudah sobek dan bunda tidak sibuk marah-marah karena pada usia mereka memang hanya perlu mengenal, belum bisa merawat buku. Jangan sampai kemarahan bunda karena anak-anak merusak buku malah membuat anak jadi trauma dengan buku. Buku dengan tampilan menarik juga akan sangat digemari anak-anak. Seperti buku bergambar dan berwarna.

4. Lebih sering membaca buku di depan anak.

Anak adalah cerminan orang tua. Maka anak yang suka membaca akan terlahir dari orang tua yang suka membaca. Sifat anak-anak adalah meniru. Maka berikanlah contoh yang baik terhadap mereka. Bagaimana kita bisa mengharapkan anak membaca buku, jika ketika bersama mereka kita sibuk memegang Hp.

Setelah anak-anak mencintai buku, maka membaca akan jadi suatu kebutuhan. Dan hal ini akan memudahkan untuk menciptakan generasi yang melek literasi digital. Itulah kenapa sebabnya dari awal saya buat judul dari rumah menuju masyarakat melek literasi digital. Karena hal yang dilakukan terus menerus, dan selalu di pantau orang tua akan menjadi kebiasaan yang mendarah daging, bahkan menjadi candu.

Kita tidak perlu lagi menengok ke belakang. Seberapa jauhnya masyarakat kita tertinggal bahkan sangat jauh dari kata melek literasi digital. Tetapi kita berkewajiban memastikan generasi setelah kita tidak seperti ini. Generasi yang akan lahir adalah generasi-generasi yang melek literasi digital. Generasi yang terus menerus diawasi oleh Ibu dan Bapak. Generasi yang digiring untuk membaca, menulis dan memahami. Dan hal tersebut tidak bisa kita peroleh secara instan. Tidak bisa juga mengandalkan sekolah, dimana anak-anak sudah dimampatkan dengan pelajaran-pelajaran dengan jadwal yang padat di sekolah. Hal ini hanya bisa diciptakan oleh Ibu dan Bapak yang peduli.

Saya sangat yakin jika orang tua sudah peduli terhadap hal ini, maka akan terciptanya anak-anak yang suka membaca, untuk dikemudian hari terciptalah generasi-generasi yang melek literasi digital. ***

Padang, 9 Agustus 2023

*) Penulis adalah seorang ibu rumah tangga yang hobi membaca dan menulis. Lahir di Padang, 13 Mei 1986. Anggota Forum Pegiat Literasi Pasaman Barat dan peserta Sekolah Menulis Elipsis sejak akhir 2021. Beberapa karyanya sudah pernah dimuat di media cetak lokal dan majalah digital elipsis, juga telah menulis puluhan antologi baik itu artikel, cerpen, senandika dan pentigraf. *

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews