Opini  

Larangan MK dan Harapan Perubahan

Oleh: Zulfadhli

PUPUS sudah harapan bagi eks narapidana untuk bisa serta merta mencalonkan diri sebagai calon legislatif, begitu usai menjalani masa hukuman.

Kepastian ini diperkuat dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang mantan terpidana bisa mencaleg langsung, begitu usai keluar penjara.

Dikutip dari laman Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), tayang 1 Desember 2022 menjelaskan detail perubahan sebagaimana dimaksud, yakni pasal 240 ayat 1 huruf g yang awalnya berbunyi :

Tidak Pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;

Kemudian diubah menjadi :
Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:

(i)tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa;

(ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan

(iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;

Keputusan MK itu tentu saja mendapatkan sambutan yang baik dari berbagai pihak yang selama ini getol memberikan perhatian sekaligus prihatin dengan begitu mudahnya mantan napi khususnya kasus tipikor berusaha kembali eksis ke panggung politik dengan hanya menyampaikan secara terbuka kepada publik bahwa dirinya merupakan mantan narapidana.

Keputusan yang terbaru itu jmenegasikan tentang adanya rentang waktu sebagai penjeda, seolah-olah tambahan hukuman tak langsung, terhadap mantan narapidana khususnya koruptor.

Dalam keputusan tersebut memang secara gamblang mengunakan frase “terpidana” secara umum, bukan “napi koruptor” secara ekplisit, namun dalam perjalannya banyak pihak lebih mengartikan napi tersebut berkaitan dengan kasus korupsi.

Mungkin tidak terlepas dari realitas bahwa kebanyakan yang ingin maju lagi sebagai caleg adalah eks narapidana yang sebelumnya pernah terjerat dengan kasus rasuah.

Keputusan MK patut diapresiasi karena tentu saja sejalan dengan semangat untuk pembenahan bangsa, bahwa kejahatan korupsi bukan lah sebuah kejahatan yang biasa. Melainkan digolongkan sebagai extra ordinary crime.

Tidak terlepas dari kenyataan betapa buruk dan memiliki daya rusak yang besar yang ditimbulkan oleh perbuatan korupsi.

Korupsi tak hanya membuat pelakunya terjebak pada kejahatan transaksional, permainan kotor dan sejenisnya tapi juga berimplikasi pada kerusakan tatanan sosial, ketimpangan yang besar di tengah masyarakat, membuat keberpihakan kebijakan yang tidak akomodatif terhadap kepentingan publik serta menimbulkan ancaman disintegrasi moral yang berdampak secara jangka panjang sehingga menjadi sukar untuk dipulihkan dalam waktu singkat.

Dengan keputusan MK ini akan memberikan dampak yang luas kepada tatanan sosio politik yang berlangsung. Partai politik akan memasang radar lebih awas lagi dengan potensi masuknya tokoh eks pelaku rasuah sebagai jajaran bakal caleg untuk dipilih masyarakat. Karena alih-alih bisa mendapatkan dukungan yang berpeluang mendongkrak elektabilitas perolehan kursi bagi partai, kehadiran caleg eks koruptor juga memiliki daya tolak bagi masyarakat.

Meskipun dengan kenyataan itu, bukan berarti eks napi korupsi telah tertutup sama sekali untuk bisa kembali mewarnai peta politik tanah air khususnya berkaitan sebagai caleg baik di tingkat pusat hingga daerah kabupaten/kota.

Waktu penjeda ini seharusnya dapat dimaknai oleh mantan koruptor itu sendiri untuk dapat menunjukkan adanya kontemplasi diri menuju pembenahan ke arah yang lebih baik.

Seharusnya juga disadari bahwa ruang pengabdian yang diperlukan untuk masyarakat tidak melulu harus melalui platform partai politik, masih banyak dimensi lain yang bisa dilakukan.

Bisa melalui wadah sosial, organisasi kemasyararakatan, perkumpulan lingkungan, komunitas dan sebagainya. Intinya tidak ada tertutup ruang jika memang ingin berubah dan berusaha kembali menjadi bagian untuk dapat memberikan pengabdian kepada masyarakat.

Menilik pada pantun klasik Melayu, yang dinyanyikan biduanita negara Malaysia, Puan Saloma : Anak Punai Anak Merbah, Terbang Turun Buat Sarang. Anak Sungai pun Berubah, Apalagi Hati Orang…

Tapi perubahan hati itu harus dapat ditunjukkan dengan sikap yang mengalami perubahan ke arah positif, dengan perilaku yang intens pada upaya untuk pengabdian serta tentu saja tidak lagi terjebak pada perilaku koruptif seperti sebelumnya. ***

*) Penulis adalah seorang wartawan yang menyukai isu terkait kepemiluan dan sastra

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews