Opini  

Hikmah di Balik Peristiwa Isra’ Mi’raj

Ilustrasi

Oleh: Dian Muhamad Fadillah, S.Sos., M.Ag

SEJAK kecil hingga saat ini, kita sudah sering mendengar kisah tentang kehebatan perjalanan Isra’ Mi’raj. Perjalanan yang bukan sembarang perjalanan, perjalanan yang diperjalankan oleh Kemaha Kuasaan Allah SWT. Kisah yang sering kita dengar lewat penyampaian para guru kita di acara tablig akbar Isra’ Mi’raj. Kisah yang menceritakan sebuah perjalanan yang tidak mampu dicerna oleh akal orang kafir quraish, tidak akan mampu akal manusia yang seonggok daging mencerna, memikirkan apa iya Isra’ Mi’ra adalah kebenaran?. Kisah yang hanya bisa kita pahami lewat kaca mata Iman. Ya, hanya lewat kaca mata Iman barulah kita bisa menyelami hikmah dibalik perjalanan Isra’ Mi’raj. Sebagaimana mukjizat yang juga pernah terjadi pada nabi sebelumnya, yang kesemuanya itu adalah kehendak dan kekuasaan Allah SWT, Dia lah wujud dari kemustahilan tersebut. Karena mustahil bagi manusia menggerakan peristiwa tersebut. Ini juga sebagai bukti tentang adanya jejak Sang Pencipta, sebagai sanggahan pada sayap atheis.

Perjalanan ini dimulai ketika Muhammad Rasulullah SAW menginap di rumah Ummu Hani binti Abdul Muthalib, salah satu dari kerabat dekat Rasululllah SAW. Kita tidak akan membahas apakah yang diperjalankan oleh Rasulullah SAW adalah Jasad atau Ruhnya saja?, saya pribadi mengambil pendapat ulama yang mengatakan bahwa yang diperjalankan pada saat moment Isra’ Mi’raj adalah kedua-duanya (Ruh & Jasad), merujuk dari beberapa penjelasan Buya Hamka dari kitab Tafsir Al-Azhar. Namun, bukan persoalan itu yang menjadi titik fokus Isra’ Mi’raj, yang menjadi fokus adalah ada hikmah dibalik perjalanan hebat tersebut.

Salah satu hikmah dibalik perjalanan tersebut ada pada sebutan hamba, panggilan hamba adalah panggilan sayang kepada Rasululah SAW, lalu kenapa dipanggil hamba? “Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya.” Menurut Sayyid Quthub didalam tafsirnya mengatakan bahwa kata ’abdihi disini guna menjaga akidah ummat Islam agar menjaga dirinya dari penyakit riya atau pun sombong, meskipun demikian besar peristiwa yang telah diperlihatkan oleh Nabi Muhammad SAW sampai ke langit ke tujuh yang Malaikatpun tidak satupun yang sampai kesana, namun beliau Rasulullah SAW tetap pada maqamnya sebagai Abdun (Hamba). Beliau tetap menjadi hamba Allah, peristiwa tersebut tidak merubah dirinya menjadi tuhan kecil, atau mendapat kedudukan tertinggi lalu diberi gelar, tetap yang dipuji dalam ayat tersebut adalah Allah SWT “Subhana” Mahasuci Allah yang memperjalankan hambanya dari masjidil haram ke Masjidil aqsha, dari masjidil aqsha ke sidratul Muntaha.

Sebagaimana juga apa yang tertulis pada surat al-Anbiya ayat 26, Malaikat yang juga dipanggil dengan panggilan hamba, Amat sucilah Dia! Melainkan hanyalah hamba-hambaNya yang dimuliakan. Malaikat yang diberi oleh Allah tugas-tugas besar, pangkat tinggi, namun tidak merubah maqamnya sebagai seorang hamba, sekali lagi tugas besar yang diberikan oleh Allah SWT tidak merubah sedikitpun maqam Malaikat sebagai hamba Allah. Tetap yang menjadi pujian hanya Allah semata, Maha Suci Dia, yang lain lemah, makhluknya hanya diberi tugas, diizinkan segala tindak tanduk tugasnya oleh Allah, tetap menjadi Hamba Allah meskipun diberi tugas mulia, karena yang memuliakan yang mengangkatnya mulia hanya Allah. Dan makhluk hanya seorang hamba.

Peristiwa ini tentu sangat bermanfaat untuk mengajarkan kita agar tidak sombong, setinggi apapun pangkat kita hari ini, ingat! Pangkat ini ada, karena ada yang mengadakan, ada yang mengizinkan, sehingga derajat kita didepan manusia dinaikkan, namun seharusnya kita juga menyadari bahwa maqam kita adalah hamba Allah. Dari mulai kepala desa hingga presiden, bahkan yang sudah duduk di DPRD atau di DPR, ingatlah semua embel-embel, aksesoris jabatan adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan. Kita tidak bisa hanya sekedar omon-omon berjanji, berucap manis, namun nihil buktinya, hingga sombong padahal maqamnya adalah hamba.

Tentu saja, dengan memahami peristiwa besar Isra’ Mi’raj ini, menjadikan kita semakin bertambah iman dan semakin yakin bahwa segala sesuatu terjadi atas izin-Nya, segala peristiwa hadir ada campur tangan-Nya, dan setiap percampuran tangan-Nya pasti sesuatu yang mustahil akan terwujud. Sebagaimana apa yang terjadi pada perahu Nabi Nuh, sungguh bahtera Nabi Nuh dapat berlayar atas izin Allah dengan izin-Nya banjir mampu meneggelamkan kaumnya, dan menyelamatkan orang-orang yang beriman didalam kapal Nabi Nuh, kekuasaan Allah itu datang setelah kesabaran seorang Nuh menghadapi kaumnya selama kurang lebih 950 tahun. Sunggguh waktu yang sangat panjang. (Lihat surat Hud ayat 41).

Campur tangan Allah pun hadir ketika Nabi Ibrahim hampir dibunuh oleh Raja yang zhalim saat itu, namun Api tidak mampu membakar Ibrahim, ialah semata-mata karena Allah sendiri yang memerintahkan api itu supaya sejuk dan menyelamatkan kekasih-Nya yakni Nabi Ibrahim Alaihisalam (lihat surat 21 al-Anbiya ayat 69). Atau juga bagaimana dahsyatnya ketika campur tangan Allah menyelamatkan Nabi Musa & Nabi Harun berserta bani israil kala itu, saat dikejar-kejar oleh ribuan tentara Fir’aun yang berniat ingin membunuh mereka semua, namun kehendak Allah lain, ketika keputusasaan menghampiri benak bani israil dan keteguhan keyakinan Musa bahwa Allah akan menolong mereka, sehingga hadirlah pertolongan Allah SWT membelah lautan hingga terbagi menjadi tujuh bagian, hingga bani israil dapat menyeberang. (Lihat surat 26, asy-Syu’ara ayat 63 dan seterusnya).

Lihat juga bagaimana campur tangan Allah hadir pada Nabi Isa sehingga beliau mampu meyembuhkan orang sakit kusta, dan bahkan menghidupkan orang mati. Itu semua atas izin Allah SWT. Bukanlah atas kepandaian Isa sendiri. (Lihat al Maidah surat ke 5 ayat 10). Atau lihat bagaimana peristiwa mendebarkan Nabi Yunus ketika ditelan oleh Ikan besar selama beberapa hari, Allah selamatkan beliau, karena Allah hanya menyuruh ikan itu menelan, bukan mengunyah. Hingga beliau tersadar akan kekhilafannya karena meninggalkan kaumnya, sampai Allah kabulkan doanya dan menyelamatkannya dari gelapnya perut ikan, gelapnya dasar lautan, dan gelapnya kesendirian malam. (Lihat surat 37 ash-Shaffat ayat 142).

Demikianlah peristiwa hebat terjadi dari semenjak Nabi Nuh hingga peristiwa diperjalankan Muhammad SAW adalah semata-mata kehendak Allah, dan semua Nabi adalah hamba Allah belaka (‘Ibadullah). Bukan Tuhan-tuhan kecil!. Mereka adalah Nabi hingga Malaikat diangkat oleh Allah dengan keistimewaannya, namun rendah hati tetap pada maqam hamba. Lalu bagaimana denga kita? Tak pantas rasanya menyombongkan diri meski sebiji atom, karena kitapun sangat jauh derajatnya dibawah Nabi dan Rasul. ***

——————
Dian Muhammad Fadillah adalah nama panjangnya, lahir di Jakarta 17 Juli 1987. Seorang guru yang sudah lama bergerak didunia pesantren semenjak tahun 2002, dan mulai mengajar di pesantren semenjak tahun 2006 hinggga sekarang, hingga menyelesaikan pendidikan S2 di UIN Bukittinggi di Aqidah Filsafat Islam. Alhamdulillah saat ini sudah menikah dan memiliki 2 putri dan pedamping setia Nur Rahmah. Aktivitas sehari-sehari dihabiskan untuk dakwah dan menulis. Semoga kedepannya akan lebih banyak karya tulisnya yang terbit dalam bentuk Buku atau terbit di media cetak. Kontak email [email protected].

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews