DPRD Riau Pertemukan LAMR Inhu dengan Empat Perusahaan

LAMANRIAU.COM, PEKANBARU – Atas laporan dari Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Kabupaten Indragiri Hulu terkait perusahaan-perusahaan yang diduga tidak menunaikan kewajibannya terhadap masyarakat tempatan, Komisi III DPRD Riau memfasilitasi pertemuan dengan empat perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Inhu, Senin (18/3).

Hadir dalam pertemuan itu perwakilan dari Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura, dan Perkebunan (DTPHP) Provinsi Riau. “LAMR Inhu lapor ke kita ada empat perusahan yang berdiri lama tapi tidak bermanfaat bagi masyarakat. Jadi kita lakukan hearing dengan perusahan itu bersama dinas terkait,” kata Ketua Komisi III DPRD Riau, Erizal Muluk.

Menurut Erizal, pemakai Hak Guna Usaha (HGU) harus memfasilitasi kebun masyarakat mininal 20 persen plasma. Dari empat perusahaan, hanya dua perusahaan yang hadir dalam rapat dengar pendapat tersebut.

Meski begitu, pihaknya tetap akan menelusuri pelanggaran aturan yang dilakukan. “Kita juga cek luas lahan yang dimiliki, makanya kita undang dinas terkait untuk masalah ini,” ujar dia.

Erizal menambahkan, LAMR Inhu bisa menuntut perusahaan tersebut jika yang disampaikan pihak perusahaan tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.

“Apakah jawaban perusahaan tadi sudah sesuai jika dilihat langsung oleh LAM di lapangan. Manfaaat yang disampaikan oleh perusahaan tadi benar atau tidak. Kita juga akan cek nanti ke lapangan,” ujar dia.

Sementara itu, Sekretaris Komisi III DPRD Riau, Suhardiman Amby mengatakan dari sejumlah perusahaan yang diadukan masyarakat itu, ada sebagian tanaman yang berada di luar HGU, di luar izin yang diberikan, dan di Daerah Aliran Sungai.

Tak hanya itu persoalan-persoalan lingkungan, seperti limbah pabrik juga dilaporkan masyarakat. “Laporan yang disampaikan ke kita sudah kita tampung dengan baik,” ujarnya.

Disebutkan, masyarakat menginginkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 98 tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, khususnya mengenai plasma masyarakat dapat dibangun dari lahan di luar konsesi yang luasnya setara dengan 20 persen HGU, dapat diterapkan.

“Ini intinya mengejar Permentan 2013 yang 20 persen dari luas HGU untuk masyarakat tempatan. Ini yang mereka minta tanggungjawab pengusaha yang diatur Permentan itu dipenuhi secara baik,” kata politisi yang bergelar Datuk Panglima Dalam itu.

Pihaknya telah mencocokkan data yang disampaikan LAMR Inhu dengan data yang dimiliki Komisi III DPRD Riau. Menurutnya, sejumlah lahan yang diolah perusahaan diduga berada di luar izin. Namun untuk memastikan kebenarannya, pihaknya akan turun ke lapangan.

“Kita akan ke lapangan. Apa nanti yang menjadi temuan teman-teman LAMR, sudah kita cek di GPS kita, bahwa posisi dan koordinat yang kita duga di luar izin. Nanti kita ke lapangan,” lanjut dia.

“Syukur syukur itu dimanfaatkan untuk masyarakat tempatan. Lahannya 2.000 (hektare), diolah 2.500. kan sisa 500 itu. Bisa gak itu untuk masyarakat tempatan. Di luar kewajiban yang 20 persen yang tadi,” terangnya.

Diharapkan, dengan pertemuan dan berdasarkan hasil tinjauan lapangan yang akan dilakukan nantinya, ada kata sepakat di antara para pihak, baik masyarakat maupun perusahaan. Namun jika tidak bersepakat, pihaknya mempersilakan LAM Inhu untuk mengajukan gugatan secara hukum terhadap perusahaan-perusahaan tersebut.

Sementara itu, Ketua LAMR Inhu Datuk Seri Marwan MR mengatakan pada dasarnya keberadaan perusahaan atau badan usaha investasi itu harus mampu mewujudkan kemakmuran bagi masyarakat tempat ia beroperasi sesuai aturan hukum yang berlaku.

“Apapun perbuatan baik itu, ketika tidak taat hukum, maka hasilnya mungkin akan kurang baik,” ujar Datuk Marwan.

Dia kemudian menjelaskan mengenai keberadaan sejumlah perusahaan yang berada di Inhu. Dikatakannya, pada awal perusaahan itu akan memulai usahanya, ada perjanjian-perjanjian yang mengikat.

“Kemudian dalam perjalanannya, ini banyak diingkari,” kata dia.

Menurut dia, ada perjanjian dengan pola kemitraan antara perusahaan dengan masyarakat adat tentang pengelolaan hutan tanah ulayat yang sudah tersedia oleh masyarakat. Pola kemitraan itu, katanya, semacam pola bagi hasil dan sebagainya.

“Ini yang barangkali tidak berjalan sampai saat ini. Sementara perusahaan telah mendapat manfaat dari pengelolaan kawasan tersebut,” pungkas Marwan. (ADV)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *