Opini  

Omnibus Law : Kepentingan Oligarki Vs Penolakan Rakyat

LAMANRIAU.COM, PEKANBARU – “Sesungguhnya suara itu bukan perampok yang ingin menjarah hartamu, ia ingin bicara mengapa kau kokang senjata dan gemetar ketika suara-suara itu menuntut keadilan?- Wiji Thukul”. Mungkin kata-kata ini bisa mewakili bagaimana gambaran kondisi bangsa saat ini Ketika Rakyat Indonesia menyampaikan aspirasi penolakan terhadap produk hukum oligarki justru mendapatkan tindakan represif dari aparat kepolisian.

Rancangan undang-undang (RUU) Cipta Kerja akhirnya disahkan dalam rapat paripurna DPR, Pada Senin 5 Oktober 2020, meskipun mendapat penolakan dari berbagai pihak sejak awal omnibus law tersebut diwacanakan oleh presiden. Berbagai Elemen baik Mahasiswa, buruh, Guru Besar, dan elemen lainya menolak dengan UU Cipta Kerja tersebut. Setidaknya ada 5 point kritis yang menjadi perhatian penting dalam penolakan Omnibus Law tersebut.

Pertama, Naskah Final UU Cipta Kerja belum diselesaikan. Hal ini menjadi sangat aneh. Sebab, naskah RUU yang disahkan di rapat paripurna semestinya merupakan naskah final dari segala aspek sehingga tidak dapat diutak-atik lagi. Jika benar UU Cipat Kerja masih diperbaiki DPR, maka sesuai Pasal 72 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, DPR memiliki waktu paling lama tujuh hari untuk menyampaikan RUU yang telah disahkan kepada Presiden. Artinya, selambat, lambatnya DPR harus menyerahkan RUU Cipta Kerja pada 12 Oktober 2020 kepada eksekutif untuk ditandatangani.

Kedua, paradigma dari UU ini menunjukkan bahwa negara diarahkan kepada pengelolaan sumber daya yang ekstraktif. Hal ini dipandang sangat berbahaya dan bertentangan dengan arus global di mana pengelolaan sumber daya negara diarahkan pada proses yang inovatif dan sangat memperhatikan aspek lingkungan sebagai hal fundamental dari pengelolaan seluruh sumber daya di negara itu.

Ketiga, pendekatan yang terjadi dalam RUU ini tercermin dalam pasal-pasal di mana pengelolaan ekonomi dan sosial ekonomi negara diserahkan pada suatu paradigma atau pendekatan yang liberal kapitalistik. Ini tidak sesuai dengan roh konstitusi dan spirit para pendiri bangsa.

Keempat, Dengan kedua paradigma itu UU ini pada saat yang sama justru memarjinalisasikan perlindungan terhadap bangsa. Kedepan bukannya memberi kemudahan pada warga masyarakat yang membutuhkan perlindungan, tetapi justru mereka termarjinalkan.

Kelima, penyusunan suatu UU tunduk pada kaidah dan cara-cara tertentu yang mengacu pada penyusunan peraturan hukum yang bisa dipertanggungjawabkan dan visioner. Tapi sayangnya menyertai proses penyusunan RUU ini dinamika sudah banyak terjadi, suara, kertas kerja dari kalangan akademisi sudah disampaikan, dari masyarakat sipil lain, dan pemangku kepentingan juga sudah diberikan, rupanya dalam proses deliberasi ini tidak terakomodasi dan bahkan dikesampingkan. Ini menunjukkan dalam proses deliberasi pembuatan UU ini ada masalah yang harus dihadapi dan harus direspons dengan kritis dengan harapan bisa memperbaiki kekurangan-kukurangan yang ada ini.

UU Cipta Kerja/Omnibus law ini bisa dikatakan lebih kearah produk hukum konservatif yang dimana lebih mencerminkan kepentingan penguasa dan oligarki. Oleh karena itu banyak penolak dari mahasiswa, buruh dan elemen lainnya yang bergejolak sampai saat ini menuntut untuk segera dibatalkan atau dicabut. Hanya ada dua jalan dalam membatalkan ataupun mencabut omnibus law tersebut. Pertama, Presiden harus mengeluarkan Perppu untuk membatalkan UU Cipta Kerja sesuai dengan ketentuan Pasal 22 Ayat 1 Undang-Undang NRI Tahun 1945. Kedua, melakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, Jalan kedua ini akan sangat membutuhkan waktu yang lama mengingat bagaiamana kondisi kritis, dan banyaknya gejolak penolakan berbagai elemen di negara saat ini.***

 

Penulis merupakan  :

Alfin Julian Nanda / Direktur Informasi dan Komunikasi Independent Democracy

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *