Bukan Tiga Tungku Sejerangan

Hang Tuah

Bukan tiga tungku sejerangan
Tapi tiga jerangan mesti setungku
Belum ada cahaya menerangkan
Malah cuaca semakin pekat kelabu

BEBERAPA peristiwa amat besar mencoraki kanvas raksasa negeri Ontah Lahyuong sejak ujung tahun lalu sampai awal tahun ini.

Mengerikan. Atau, malah menakjubkan?

Spektakuler? Uuhhh…!

Ulama-ulama terperangkap di jeruji besi, sementara yang tidak masuk jeruji banyak pula dipanggil ilahi Rabbi. Musibah dahsyat meggelegar di angkasa, sementara daratan porak-poranda : banjir bandang menghantam di banyak wilayah nusaraya.

Berbonus pula, dapat gempa.

Didih tsunami pun masih dianggap buih belaka.

Angkasa dan daratan medan angkara, apakah lautan kambing hitamnya? Karena laut banyak mengirim uap ke awan sana. Awan memadat lantas menggelap. Angin lalu kalut dan kalap. Melahirkan badai topan taung dahsyat. Beranak-pinak dengan banyak bencana, berujung azab.

Fakta : memang laut penadah bencananya.

Pesawat menabrak guruh. Lenyap
di angkasa. Di laut dicari
serpih-serpihnya

Awan menumpah hujan. Tak bersudahan.
Bumi tenggelam, kepada laut minta
menampungnya airnya

Padahal laut pun sudah bukan main muak.

Walaupun sementara ini hujan yang dikambinghitamkan : curah hujan disebut penguasa sebagai biang bencana banjir di mana-mana, tetapi laut tetap menggeram. Sebab laut dipaksa menerima segala limbah longkang syahwat naga-naga dan kacung-cacingnya di daratan. Limbah anyir lendir ingin menguasai segala kenikmatan “surga” dunia.

Bukan tamu tidak diundang.

Laut bertanya, mengapa pasak-pasak bumi dan urat-urat alam ini dicerabut? Mengapa penjaga-perawat keseimbangan bumi dan alam mesti dipasung? Untuk kenyangkan dan makin buncitkan naga-naga?

Ataukah, untuk makan cacing-cacing agar meraksasa juga seperti naga-naga?

Kalaulah semua cacing ingin menjadi naga, di mana lagi ruang untuk bernyawa bagi makhuk lainnya? Sementara sarang-sarang habitat makhluk lainnya di bumi nusaraya ini dipunah-ranahkan semua.

Silakan salahkan hujan mengundang banjir.

Sesungguhnya hujan tak akan menggenangi bumi-bumi asri yang ditutupi hijau rimba. Sesungguhnya hujan tak akan meluapi sungai-sungai yang tidak disumbat atau didangkalkan. Otak bijak ramah lingkungan tidak akan membanjirbandangkan kota dan membuat kampung-kampung kelimpungan.

Rimba yang terjaga – tidak direcoki syahwat naga – kuat daya serap airnya menampung betapa besar pun curah hujan melanda. Sungai-sungai yang terjaga – tidak diruntuhi eksploitasi lahan di hulu-hulunya – deras arus mengalir sampai jauh ke hilir : tiba di selat, di laut atau samudera.

Silakan salahkan permukaan lautan yang naik.

Kembali lagi ke pertanyaan : Mengapa air laut tidak naik kalau daya tampung serap air di daratan dimusnahkan? Mengapa air laut tidak melimpah kalau kesejukan bumi malah semakin diradangkerontangkan?

Silakan salahkan permukaan bumi yang turun.

Bagaimanakah permukaan bumi tidak turun bila segala akar sudah dicabut naga-naga dan dilumatkan cacing-cacingnya?

Nyaris, tiada lagi tempat berpaut.

Kepada alam terkembang tak berguru
Sumber daya melimpah tak disyukuri
Tiadalah lagi bekal untuk anak cucu
Penuntun yang haq malah dikebiri

Akhir yang mana sesungguhnya hendak dituju?

Wallahu a’lam

Tidak terasakah :

Semakin banyak masa depan dikuras pada hari ini akan semakin lekas alam ini berakhir?

Semakin hilang zikir dan takbir semakin bertubi-tubi musibah bencana datang menghampir?

Eloknya tiga tungku sejerangan
Nasi masak air menggelegak
Lauk-pauk pun siap dihidangkan

Eloknya bangsa karena persatuan
Negeri bermarwah daulat pun tegak
Orang lain tak pandang sembarangan.***

Pekanbaru, 24 Januari 2021

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *