Pejabat Tinggi Tolak Bergaji

tuan guru

Dunia nan laut yang mahadalam
Banyaklah di sana rusak dan karam
Mengasihi dunia jahil dan tamam
Di akhirat habis lebur tenggelam

Menuntut dunia sangatlah mabuk
Tamakkan dunia menjadi kutuk
Di dalam akhirat neraka masuk
Dimakan api hancur dan remuk

Syekh Abdurrahman Siddiq ( Siddiq , 1915 ).

TUAN Guru Mufti Kerajaan Melayu Indragiri ini sangat takut dengan siksa kubur dan azab akhirat pada hari akhir nanti. Untuk itu beliau mengawas diri ketika diberi kesempatan hadir di muka bumi. Senantiasa menggunakan akal dan budi yang dianugerahi. Berjalan tetap di jalur yang sudah dibentangkan ilahi Rabbi. Lewat petunjuk penerang alam yang disuluhkan utusan-Nya; Nabi Muhammad SAW, Kekasih Abadi.

Ini diurai Tuan Guru dalam Syair Ibarat Kabar Kiamat, 1915.

Saat berada di pusat kerjaannya di hulu Sungai Indragiri di Rengat, Raja Indragiri, Sultan Mahmudsyah, mendapat kabar dari hilir : telah hadir seorang ulama di kuala sungai keruh. Di muara wilayah kedaulatannya. Sapat tempatnya. Beliau seorang cendia. Lagi piawai. Datang dari pulau yang jauh. Martapura. Kalimantan sana. Sudah lama pula menetap, berguru di tanah suci, Makkah al-Mukarramah

Semasa itu Sapat jadi bandar penting di Indragiri. Pelabuhan ekspor-impor. Negeri penghasil kelapa dan sagu. Tongkang-tongkang. Kapal-kapal besar, dari Belanda, Malaya dan Singapura datang dan pergi di sini. Dari sini diekspor kopra, hasil pertanian dan hasil hutan lainnya. Lewat pelabuhan ini pulalah masuk berbagai barang impor luar negeri yang mengalir ke pinggiran dan pedalaman Indragiri.

Mendapat kabar datangnya ulama yang campin dan cergas, Baginda Mahmudsyah merasa seperti mendapat anugerah. Lalu beliau segera mengirim utusan, orang kepercayaannya, ke Sapat. Menelisik; lantas meminta Tuan Guru Abdurrahman Siddiq datang ke pusat kerajaan. Sultan ingin bertemu. Ingin bertatap muka. Ingin menyaksikan sendiri. Sosok yang disebut-sebut memiliki ketinggian ilmu ini.

Bak ilmu padi, semakin berisi
semakin merunduk ke bumi.

Pertama datang ke Sapat Abdurrahman Siddiq tidak menunjukkan dirinya yang sebenarnya, sebagai Sang Tuan Guru. Dia bersahaja, datang dengan bersikap sebagai perantau awam biasa. Bekerja jadi tukang tukang emas. Mendapatkan upah menyambung kehidupannya sehari-hari. Tetapi sebagai tukang emas pun dia bukan macam tukang biasa. Dalam sekejab saja sudah lebih laris manis dibanding tukang-tukang yang sudah lama berada di sana.

Tukang emas Durahman orang menyebutnya.

Ke masjid pun, Tuan Guru menjadi jemaah biasa. Walaupun berjemaah tak pernah alfa tetapi dia tidak banyak bicara. Lebih banyak mendiamkan diri walaupun orang-orang di sini banyak membincangkan agama. Itu berlangsung sampai tujuh bulan lamanya.

Sampailah pada suatu malam. Timbullah perselisihan soal agama. Nyaris pula membuat perpecahan umat. Masing-masing merasa benar. Masing-masing pun tetap mempertahankan pendapat mereka.

Saat inilah Tuan Guru sejatinya muncul. Sebagai ulama yang memiliki ilmu yang tinggi. Dia pun bersuara menengahinya. “Masing-masing betul,” katanya. “Masing-masing tidak ada yang salah. Cuma, cara memahaminya saja kurang alat. Tidak memakai ilmu alat ~ bak orang bertukang emas, ada alatnya untuk mereka bentuk, membingkai emas dengan permata. Dalam agama: dalil dan hujjah, alatnya. Alat ini kurang dipakai.

Sejak itu, bukan saja perselisihan selesai. Tetapi juga warga semakin rukun negeri semakin damai. Tidak memandang puak dan suku. Tak merasa ada yang lebih tinggi dan rendah. Suasana baru pun muncul di situ. Masing-masing sibuk ingin berguru.

Di Kerajaan Indragiri kala itu, berlaku sistem pemerintahan dengan tiga kekuatan hukum; hukum tata negara dipegang kolonial Belanda, hukum adat dipegang sultan, hukum agama dipegang mufhti kerajaan.

Jabatan mufhti inilah yang ingin dianugerahkan Sultan Mahmudsyah kepada Tuan Guru Abdurrahman Siddiq ketika tamu istimewa ini berkunjung ke istana. Dengan jabatan itu, sultan meminta Tuan Guru menetap di pusat pemerintahan, dekat dengan kalangan istana. Ini bukan untuk kepentingan kerajaan belaka, sultan juga ingin berguru. Begitu pula untuk keluarganya.

Tuan Guru sempat menolak posisi penting ini. Dia tak memandang ini kesempatan emas. Malah sempat terpandang banyak liang mudharat di sana-sini. Tersilaf langkah agama binasa. Untuk itulah beliau amat berhati-hati. Senantiasa mewaspadai diri. Apakah dengan mendekati istana tidak menjauh diri dari jelata? Atau, bersibuk dengan istana akan silau menapak dunia?

Yang sebaik-baik manusia
Meninggalkan kasih akan dunia
Jangan memakai loba dan riya
Di akhirat pasti boleh bahaya

( Siddiq, 1915 )

Tuan Guru tidak pula memandang, melepaskan istana dan mengejar jelata merupakan jalan yang terbaik. Tetapi bagaimana keduanya bisa diraih sekaligus. Berjalan bersama. Istana tetap dijaga agar tetap timbul. Jelata pun dapat dibina agar tidak tenggelam.

Atas desakan sultan. Atas pertimbangan kekuatan pikir; Tuan Guru pun menyari hikmah dan manfaat : duduk dengan posisi strategis di istana itu akan lebih mudah pekerjaannya, akan lebih luas jangkauannya, capaiannya untuk mensyi’arkan agama.

Akhirnya jabatan Mufhti Kerajaan Indragiri itu pun Tuan Guru terima. Cuma beliau tetap menolak menetap di pusaran istana. Lebih memilih tinggal bersama jelata. Namun, bila-bila saja diperlukan Tuan Guru bersiap sedia mendatangi istana.

Pandangmu hendaklah beserta pikir
Siapa menjadikan bumi dan air
Hujan dan angin semuanya hadir
Rahmatnya limpah jauh dan hampir

( Siddiq, 1915 )

Kepada sultan, Tuan Guru lalu meminta sebatang parit. Untuk dia berhuma bersama dantri dan jemaahnya. Sultan pun dengan lapang dada menghibahkannya. Di mana pun Tuan Guru suka. Tinggal pilih saja.

Akhirnya dipilih yang dekat, di samping Sapat. Di hilir Tembilahan. Suak parit hidayah ini kemudian diberi nama dengan Kampung Hidayat. Mudah dijangkau yang jauh dan dekat.

Walaupun Hidayat menjauh ke hilir dari pusat kerajaan, tetapi Kampung Hidayat berada di Terusan Emas. Di seberangnya Sungai Perak. Di belakangnya Sungai Piring. Di hilirnya lagi Pulau Cawan.

Terusan Emas yang pendek ini pusat penghubung dua sungai, Sungai Indragiri dan anaknya : Batang Tuaka. Terusan Emas tampak juga seperti pusat sungai bercabang enam. Cabang tiga Terusan Emas dengan Batang Indragiri dan cabang tiga Terusan Emas dengan Batang Tuaka yang berhulukan Sungai Luar.

Konon dulu prajurit kerajaan Melaka pernah terpedaya, ketika memburu prajurit kerajaan Indragiri yang melarikan Narasinga dari Melaka untuk dirajakan di Indragiri. Prajurit Melaka menyasar ~ tersesat jauh ~ ke tasik Sungai Luar. Sedangkan prajurit Indragiri meneruskan perjalanan sampai ke Rengat, pertengahan Sungai Indragiri.

Walaupun menjadi simpang bingung bagi prajurit Kerajaan Melaka, tetapi berhikmah besar bagi Kampung Hidayat. Dengan banyak simpang banyak pula rawang ~ selat kecil ~ di sini yang bisa menghubungkan negeri-negeri di pesisir Timur Sumatera ~ sebagai jalan pintas. Tidak perlu lewat laut besar yang berombak besar di depan Pulau Sumatera yang besar.

Dengan berpusat di sebelah Terusan Emas, murid-murid Tuan Guru Sapat berdatangan dari tasik dan rantau alam Melayu. Tak kecuali dari ujung Kuantan atau dari tasik Batanghari Jambi. Dari Bangka Palembang, Singapura dan Malaya pun berdatangan, berguru ke sini. Malah kekerabat Kerajaan Indragiri, tidak sungkan-sungkan bertapuk, menuntut ilmu ke alam kampung yang alami.

Berpendapatan besarkah Tuan Guru Sapat?

Mufhti Kerajaan Indragiri beliau pegangi. Sebuah parit dengan kebun kelapa di Terusan Emas beliau kuasai. Banyak pula murid, termasuk yang datang dari luar Indragiri. Ditambah pula adanya kerabat-kerabat Kerajaan Indragiri.

Sepintas terkesan seperti banyak dan besar.

Bukan itu yang beliau cari. Tetapi ridho ilahi Rabbi. Faktanya, Tuan Guru menolak diberi gaji oleh Sultan Mahmudsyah, Raja Indragiri. Tidak mau menerima sama sekali. Hasil kebun yang diolah itu pun untuk kehidupan bersama dengan para jemaah dan santri. Tidak ada yang melebihi daripada sekadar untuk keperluan sehari-hari. Lebih-lebih digunakan untuk kepentingan sendiri.

Di dalam dunia terlalu galak
Menuntut harta supaya banyak
Disangkanya dunia tiada rusak
Di akhirat engkau dapat tempalak

( Siddiq, 1915 )

Tuan Guru mengabarkan Ibarat Kabar Kiamat ini untuk mengingatkan umat. Bahwa semuanya yang syahwati di atas dunia ini akan tamat.

Hamba mengarang di dalam duka
Maklumlah Tuan hal dunia
Jika tak kuat memegang agama
Niscaya kita rusak binasa

Maka, tetaplah teguh di jalan-Nya. Agar selamat.***

Pekan Tua, 2021

Baca : Hang Tun Daulah Mahamelayu

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *