Lawwamah

SUDAH delapan belas hari berlalu. Setelah delapan belas, sembilan, dua puluh, dan seterusnya sampai tiga puluh. Harapannya, tentu saja kalau tidak dua puluh sembilan, tuga puluh. Sampai atau tidak dari pangkal ke ujung jalan itulah masalahanya. Sementara Amah masih tak hendak bercaka-cakap.

Heran, aneh, tidak biasanya, sebelumya mereka memanggilnya Lawa. Ibarat nama, Lawa identik dengan cantik, cakep, bukan cakap. Lawa juga boleh dikategorikan, manis, molek, indah dan lainnya. Dahulu waktu kecil, Lawal ah yang selalu menjadi senandungnya. Di kampung itu.

Menjelang hari ke delapan belas, menuju kesembilan belas justru berubah. Tidak lagi Lawa, molek, cantik apalagi cakep. Yang tinggal hanya Amah.

Sungguh uniq untuk menyebutkan aneh kurang arif nan bijak. Pertanyaan selalu saja mengemuka, namun tak terungkap. Mengapa “yang keras” menjadi kebiasan diminum. Sesuatu yang mustahil. Yang keras lazimnya ditelan. Yang cair logisnya diminmun. Di sinilah memposisikan keanehannya.

Pada hari keseembilan belas, kebiasaan itu tak juga berhenti. Dari mulai subuh, pagi, sore menjelang maghrib mereka sangguh menelannya. Justru yang selalu dipertanya-tanyakan mengapa di malam hari, tetap juga dilakukan?

Sama dengan kaum ahli hisap. Mulai imsak, subuh, pagi, siang, sore yang ditutup dengan maghrib masih terus-menerus bertahan. Pertanyaan yang sama: mengapa di malamnya tetap konsisten dilakukan kembali? Asap itu tetap berulang-kali dihirup telan.

Lakon laku itu disokong pepatah baru, “setan diikat siang hari, malam tetap berkeliaran” menjadi populer. Teristimewa bagi si ahli hisap dan “ahli telan”. Apakah mereka tidak menyesal?

“Sesal dahulu utang, sesal kemudian buntung”. Begitulah kado khusus menjadi pepatah baru untuk si ahli hisap dan ahli telan.

Bersagang memasuki hari kesembilan belas, akan sampai hari kedua puluh, menjelang kefitrian tiba. Tak jauh berbeda dengan lakon laku si ahli hisap dan ahli telan. Tabiat mereka semakin menjadi-jadi. Lakon mubazir menjadi hukum dan sistem ekonominya.

Seharusnya mereka menahan, mengurungi konsumsi, dan menghemat dengan berbagi juga sadekah. Realitasnya lakon mereka tetap saja berlawanan. Lakon mereka terus-menerus menjadi berubah walaupun polanya hanya itu-itu saja: lalai.

Berpuasa dengan menahan berubah menjadi balas dendam. Sehingga kefitrian menjadi lakon yang terpola mubazir. Kebiasaan membalanjakan berlebihan menjadi tradisi. Tak ada beda lagi. Bulannya tidak berubah-ubah. Seperti yang kemarin.

“Sesal dahulu utang, sesal kemudian buntung”.

Pepatah baru untuk merefleksikan prilaku mubazir di siang hari adalah bukti, berpuasa tidak dapat dijadikan sebagai upaya eksprimentasi empirik istilah bekennya. Padahal, bukankah mubazir adalah sahabatnya “Tansi” (istilah untuk salah satu karakter dari Azazil) menjadi sukar untuk dibantah.

Menuju hari keduapuluh sembilan menjelang ketiga puluh, telah melalui hari ketujuh belas yang merupakan saripati diturunkannya “kitab hidayah” itu sebagai pembeda. Kalimat bacalah menjadi pertanda ketulusan aqal budi untuk mengkreasi keintelektualan mereka. Apakah mereka manusia sebagai makhluk yang “berbudi luhur” , tetapi enggan berpikir?

Berpikir adalah punca peradaban, keadaban dan adab manusia. Berpikir adalah esensinya dari membaca (bacalah) sebagai legasi peninggalan mereka (manusia) menuju hidup sesudah mati. Percaya kepada kitabullah adalah titik tolak (entry point) hari ketujuh belas dengan harkat bacalah.

Bacalah. Bacalah. Bacalah.

Bacalah pada hari ketujuh belas, diturunkannya kitab itu. Diturunkan pada tujuh belas Ramadhan. Kami berdoa di malam itu, agar semua manusia mendapat peluang yang sama. Peluang mendapatkan malam yang terbaik dari serubu bulan.

Mengapa malam? Mengapa, tidak siang?

Bukankah tiada perbedaan siang dan malam? Apalagi ketika dua puluh empat jam per detik dari setiap negeri dalam siang dan malam yang berbeda. Panggilan sang Bilal pun tetap berkumandang.

Allahu Akbar.  Allahu Akbar. Allahu Akbar. 

Semoga mereka menyesal!??

Wallahualam bissawab. ***

Baca : Azab dan Syaitan

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *