Blok Buka Tutup

kambing covid

Tudung saji bernyanyilah terus
senandung lagu irama miris
biarlah negeri tampak diurus
sembunyi tangan jari teriris-iris

Tudung saji tak pandai menangis
tetap menangis tanpa (si) mata
biarkan negeri diiris-iris
hidung mengaum tanpa kata

SURAT terbuka. Isinya prihal protes ketertutupan. Surat tertutup. Isinya ihwal keterbuakan. Dibuka ditutup. Ditutup dibuka. Begitulah muasal kisah blok itu bermula. Sebelumya banyak warga, orang-orang, handai taulan, dan khususnya warga kampung Drian, tak berani mempertanyakan. Bahkan meyakini terdapat anasir-anasir yang berbau fanatis. Bukan untuk kepentingan personal, kelompok atau kepentingan afiliasi-afialiasi sejenisnya.

Hanya yang sangat memprihatinkan kepentingan alam lingkungan sejauh ini yang tak akan pernah diwakili. Alam lingkungan sekitar. Alam semula jadi. Bukan alam jadi-jadian. Alam yang dijadi-jadikan. Usah pula kepentingan kaum negeri ini. Hampir semua tak akan tersisa. Apalagi untuk sekadar menyisakan. Sudah diambil alih. Konon kerajaan negeri yang berani berupaya, mencoba-coba mempertanyakan. Berusaha menilik seulas-pintas melalui pesan tertutup. Tetiba pesannya terbuka. Ditutup. Terbuka lagi. Ditutup. Begitu terus berulang-ulang. Buka tutup. Sesekali berubah, tutup buka.

“Semua sudah ada yang mengatur. Ingat ya. Sekali lagi sudah ada yang mengatur. Ingat ya. Sekali lagi jangan membawa-bawa. Tidak ada itu. Awas!? Apalagi mengatasnamakan Yang Maha Kuasa. Awas,” suara itu mengancam yang tetiba menghilang seketika.

Tak enak! Nak mengatakan tak sedap. Uniqnya, pergumulan pendapat, sak wasangka semakin menjadi jadi. Pohon-pangkal (biasanya ujung-ujungnya). Tak elok nak menyebutkan, walaupun dikatakan boleh. Ujungnya pasti materi. Pengklasifikasiannya juga dipastikan pada urusan kelompok. Bukan urusan personal. Ingat ya?!

Syahdan konon zaman dahulu kala tidak ada lagi istilah persengketaan. Sejatinya disebabkan oleh orang-orang yang kala itu sudah tidak berkeinginan untuk berunding. Bermusyawarah apalagi bermufakat istilah saat ini. Mereka, tak perlu basa-basi semua diputuskan langsung. Hitung harga. Per kepala berapa?

Sebagian orang-orang di negeri seberang menyebutnya, kera (bukan panggilan nama hewan, melainkan, hitunglah). Berapa semua. Bayar. Orang-orang di sini sudah tidak perlu lagi pendapat. Yang penting pendapatan. Yang sepaham. Yang sehaluan. Sudah tidak saling percaya-mempercayai. Saling curiga-mencurigai. Sependapat hanya pada satu kata. Pendapatan.

Dapat dipastikan gejala yang tetiba saja tidak saling mempercayai, dan saling-mencurigai berujung perpecahan. Saling tuduh-menuduh, menjelekan antar sesama tak dapat dihindari. Keputusan final yang harus ditempuh satu-satunya adalah terbentuknya (membentuk, mendirikan) blok. Yang pasti ada dua blok. Bukan blok barat dan blok timur. Apalagi utara, selatan pasti bukan. Tidak menggunakan nama arah, posisi atau istilah tertentu lagi. Lalu apa?

Ingin bernostalgia sejenak. Mengingat-pingat sehilas. Di ujung sudut kiri kanan, dan atas pun bermula pergunjingan yang ditandai dengan pertanyaan di masyarakat dunia sebelah lain: apakah non blok bukan bagian dari blok? Inilah perdebatan siang, malam dan tengah sehingga subuh yang tak ada ujungnya. Terjadi bukan saja perbedaan bloknya, melainkan saingan bentukan (pendirian) blok lainnya.

Saat itu sebenarnya ada berapa blok? Dua atau tiga blok? Ada blok non blok. Bukan pandai-memandai. Ibaratnya, non blok itu adalah blok. Anehnya, para pendukung barat, timur, selatan dan utara berkeyakinan semua arah itu adalah blok. Sementara, pendukung non blok, tetap menyangkal. “Kami bukan bagian dari blok. Kami non blok”

Jujur memang aneh, negeri seberang. Pasti bukan negeri ini. Walaupun begitu, tidak juga dapat dikategori “lain lubuk, lain pula ikannya”. Sebab, selalu saja muncul secara tetiba pertanyaan yang sukar dijawab. Ada kata blok depan-belakangnya. Misalnya, blok protes. Ada blok tak bertanggung. Ada blok tak berjawab. Ada juga keluarga blok. Ditambah blok lain-lainnya. Belum lagi blok yang selalu disamarkan dengan salah satu nama negeri. Bukan blok Bintan. Apalagi blok Batam. Pasti bukan.

Sudah seratus, seribu, sejuta, semiliar bahkan berbuih-muih pertanyaaan yang selalu dikemukakan khalayak (warga negeri seberang) ihwal sikap kami. “Apakah ada blok yang tak bertanggung? Apakah ada blok yang tak berjawab?”

Begitulah kisruh-miruh negeri Kolam Susu sebuah kisah mengawali dari surat-menyurat. Bermula dendang-dendung, dodoi-mendodoi bela anak-anak negeri dari krisis blok yang tak bertanggung? Para petinggi tak sanggup menangani. Tak sanggup menjawab. Tak ada cara lain mencegah perdebatan tentang “blok tak bertanggung” bagian dari blok atau bukan? Blok tak bertanggung menghantui negeri seberang? Pasti bukan negeri ini. Pun sampai saat ini.

Namanya Blok. Oleh karena selalu dibuka dan ditutup. Pastilah blok buka tutup. Pesan dibuka. Pesan ditutup.

Ibarat, “Jalan tak seindah pelabuhan” dan “Irigasi tak secantik bendungan”.

Wallahualam. ***

Baca : Haram (Di) Halal

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *