Si Alang Rajuk

kambing covid

Alang rajuk alang tak amuk
alang amuk pastilah tak rajuk

Jangan harap untuk membujuk
ibarat jemari tanpa telunjuk

SUARA hiruk memikuk bersama nada dengan segala langgam-makna adalah pertanda. Begitu pula bunyi jengking, katak-kodok, bebek-itik yang sesekali mengaum bak srigala adalah pertanda. Pada malam kelam itu. Dalam rimbun rimba itu.  Alang mengaum jerit hati melepas lelah, siapa yang tahu? Perih, siapa yang peduli? Resah, siapa yang menghendak?

Kumbang, capung dan kupu tetiba saja tak hendak berdendang ria lagi. Kupu mengibas sayap yang putih tak lagi memaknai kesucian. Kumbang hitam terkadang diartikan kegelapan, terus saja bermuram durja. Capung sang pemilik sayap indigo, tetap saja tidak seperti kebanyakan makna yang selalu dianggap berpotensi lebih pada “dunia lain”.

Alang matanya yang membiru, tak selalu dimaknai perasaan yang sedang mengharu. Alang sudah bertekad, rajuk adalah pilihan yang tanpa alternatif. Ibarat jemari yang tanpa telunjuk. Seteriliun berapa yang hendak akan ditawar. “Rajuk, walau aku tak amuk”, begitu jawabnya.

Dalam rimba itu, Serangga yang terus memerah berupaya memanipulasi mentari senja. Sementara merahnya, tak banyak yang tahu, jika rimba telah marah. Anehnya, masih saja dianggap tak rajuk.

Jengah Jenguk Cendekia memberi taklimat. Janganlah bermuram durja, gundah gulana wahai Alang.  Wajah kalian bukanlah topeng. Angin sepoi-sepoi penghipur lara. Walaupun riuh rendah, rimba sialang, Alang tetap saja bertepuk tangan. Bertepuk meski bukan tanda gembira. Raut wajah Alang berubah menjadi indigo muda untuk memberi pertanda: Alang dan para handai taulan penunggu rimba bukan warga biasa. Inilah pertanda, negeri dalam bahaya. Banyak penghuni berdua-rupa. 

Sialang yang tempoe duloe bak hidup di negeri kaya menyimpan jutaan cerita. Mulai rimba tanpa pemanis, sampai misteri jenglot yang dapat melipatgandakan mas dolar rupiah. Hidup di rimba kaya gemahripah lohjenawi penyebab tekak tak dahaga. Karena kelapa telah hilang santannya.

Tempoe duloe hidup di rimba kaya tak takut lapar. Sembako cukup menjadi penglipur lara pengganti harga dari diri yang terlupa. Hidup di rimba kaya teramat bebas. Timur, barat, selatan dan utara tak lagi arah. Cukup turuti perintah sang raja rimba.

Hidup di rimba kaya, hati selalu gembira. Menelan makan apa adanya. Hanya bergantung: kalau si miskin mau makan apa. Yang kaya pilih yang mana. Aparat kasusnya apa. Penjahat serahkan semua. Penguasa mau makan siapa.

Hidup di rimba kaya tak perlu apa-apa. Cukup tunjuk saja sambil berujar: loe perlu berapa?

Wallahualam. ***

Baca : Blok Buka Tutup

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *