Setali Tak Tiga Uang

kambing covid

Ada covid
ada virus
ada vaksin
ada pandemi

Bulan zulhijah
bulan berhaji
wajib haji
melontar jamrah

PEMERINTAH memutus-tetapkan Hari Raya Idul Adha 1442 Hijriah pada Selasa, 20 Juli 2021 mendatang. Dari saat ini, Insya Allah tiga hari mendatang Hari Raya Kurban pun tiba. Yang belum tiba sudah dua kali hanyalah panggilan berhaji bagi Ummat Islam di seluruh dunia yang lazim rutin dilaksanakan.

Sumltansinya tahun lalu dan tahun ini (kalau tak salah sudah dua tahun), berhaji untuk Ummat Islam (Muslim) dunia sementara ditiadakan. Sederhana alasannya ada covid. Ada covid, tentu saja ada virus. Ada virus apakah harus ada pendemi? Jengah Jenguh tidak berkompeten menjawabnya. Sementara mempertanyakan rasa-rasanya tidak ada aturan yang melarangnya. Walaupun kerajaan Arab Saudi tetap menyelenggarakan ibadah rukun Islam kelima tahun ini, tetapi dilaksanakan untuk kalangan terbatas. Dipastikan tidak ada argumentasi lawan (oposisi), tanpa komando dirigen (konduktor) jawabnya demi keselamatan. Ini tentu saja demi keselamatan dari kedurjanaan virus yang bergelar covid-19 beserta varian yang mengiringinya.

Menyambut Idul Adha tahun ini, walaupun kegiatan haji ditiadakan sementara, tidak berlebihan jika kita men-Jengah dan men-Jenguk ihwal ke-Jamrah-an. Jengah Jenguk akan menelaah hubungan Jamrah [tempat berkumpulya batu-batu kerikil akibat kegiatan melempar, melontar] dan Obelisk [tiang berbentuk tugu segi empat meruncing ke ujung, bermahkota piramida] dalam perspektif (sudut pandang) relegius-historis, symbol dan dajal dalam hubungan kekiniaan (akhir zaman). Istilah Jamrah berhubungan erat dengan ibadah haji rukun Islam ke-5. Sementara, Obelisk menempatkan posisi sebagai objek yang akan dilontar.

Istilah Jamrah dimaknai juga sebagai potongan api panas, batu kerikil. Jamrah juga menjadi nama tiga tempat khusus di tanah Mina dengan tiang-tiang batu yang telah diidentfikasi. Secara sederhana Jamrah dimaknai menjadi tempat berkumpulnya batu-batu kerikil karena kegiatan melempar, membalang, melontar dalam ritual ibadah haji. Dalam konteks ini, terjadi hubungan integral-kausalitas [menyatu dan saling terkait] dengan Obelisk yang belum banyak menjadi perhatian untuk ditelaah-cermati pada penghujung zaman ini.

Jengah Jenguk berupaya memaknai esensi hubungan antara melontar Jamrah dan Obelisk yang dapat membantu memahami tiga hal penting. Pertama, Obelisk sebagai simbol Iblis. Keterhubungan antara Obelisk sebagai simbol Iblis yang selalu disamakan dengan Setan, tidak terlepas dari sejarah Adam dan Ibrahim yang menjadi landasan ibadah haji. Konteks kekinian [akhir zaman], terletak pada simbolisasi dengan aktivitas melontar terhadap objek [sarana] yang dilontar. Melontar, melempar atau membalang adalah simbolisasi perlawanan. Oleh karena yang dibalang adalah Obelisk menjadi jelas yang dilawan adalah Iblis.

Pada hubungan ini yang menjadi penting (tegas-jelas) terkait objek yang dilontar berwujud Obelisk yang dimanifestasikan sebagai Iblis. Dalam konteks kekinian wujud Obelisk menjadi monumen utama di kawasan-kawasan penting strategis berbagai belahan negara di dunia. Sudah menjadi infromasi umum jika keberadaan Obelisk di Washington atau New York, melambangkan supremasi ekonomi dunia [dollar Amerika]. Obelish di London, Inggris, menggelorakan kejayaan kerajaan dalam sistem pemerintahan modern. Sementara, Obelish juga ada di Paris, dan Vaticano in Saint Peter Square, Italia.

Kedua, perubahan bentuk tugu Jamrah dari “mirip Obelisk atau identik” sebelumnya, kini diubah menjadi “dinding penahan dan pembatas”. Urgensi diubahnya menjadi penting untuk dicermati. Ini disebabkan dalam konteks perubahan objek yang dilontar terkesan berbeda dalam sejarah Adam dan Ibrahim. Pertanyaan penting dalam koteks ibadah ritualnya pada akhir zaman (kondisi kekinian) tentu saja: apakah yang dilontar masih Setan dalam simbolisiasi wujud Obelisk seperti yang ada di luaran? Apakah nantinya, tidak terjadi “perselingkuhan kepalsuan” sebagaimana pusat penghitungan waktu dunia’ yang seharusnya kota Makkah menjadi titik tumpunya, diubah Greenwich Mean Time [GMT], London.

Ketiga, esensi perubahan tugu Jamrah ini dilatarbalakangi faktor kemaslahatan dan keamanan beribadah haji. Banyak sumber menyebutkan faktor kemaslahatan dan keamanan menjadi alasan perlunya perubahan dan penataan laokasi ibadah khususnya ketika melontar Jamrah. Menurut hemat penulis, esensi yang wajib decermati dalam hubungan dengan kondisi kekinian (akhir zaman) adalah pengalihan wujud Obelisk yang direpresentasikan Iblis menjadi hanya “tugu tembok pembatas” yang tidak ada hubungan dengan peristiwa religi di masa Adam dan Ibrahim. Apalagi Obelisk berkelid-klindan dengan simbol-simbol organisasi illuminati. Bukankah organisasi ini setali-tiga uang dengan Dajal?

Dajal dalam kontek kekini-milenial-an (akhir zaman) yang dimaknai bukan lagi sebagai personal, melainkan cara berpikir yang identik dengan kepalsuan [serba palsu]. Perubahan bentuk Obelisk walaupun dengan niat kemaslahatan dan keamanan beribadah, karakter utama sebagai simbol [manifestasi] Iblis tidak boleh dihilangkan. Ini dikhwatirkan jika objeknya berubah, Iblis-Setan tidak lagi menjadi simbol perlawanan, melainkan “teman sepermainan”.

Ulas terakhir, tidak salah untuk direnung-maknai jika penundaan atau pun berbagai rintangan kesulitan menjadi pertanda bahwa ada yang salah. Covid, virus dan pandemi boleh lah dimaknai sebagai setali tiga uang. Namun, virus, pandemi dan berhaji setali tak (bukan) tiga uang. Dengar-dengar khabar tugu Obelish yang origin sudah dipindahlan ke Padang Arafah tempat Wukuf. Dengar-dengar lagi para jamaah “terkesan menghormati, tidak memusuhi sebagai simbol perlawanan”. Semoga salah dengar.

Boleh kan Jengah Jenguk di era pandemi bersamaan bulan Zulhijah, di bulan yang haji tertunda, bertanya: Apakah objek Jamrah yang ada saat ini masih merepresentasikan Iblis?

Wallahualam. ***

Baca : Orang Suci “Orang KW”

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *