Terapi Virus?

“Seseorang bertanya pada virus
hubungan vaksin dengan pandemi
sebentar lagi tujuhbelas agustus
itulah tanggal bulan proklamasi”

“Kekuasaan itu cenderung korup dan
kekuasaan yang mutlak sudah pasti korup”
(Lord Acton, 1833-1902).

JUJUR, seorang teman menegur kalau tajuk sebelumnya akan lebih menarik dan spesial. Rencana tajuknya adalah “Babeh Aldo vs Babeh Bill Gates”. Kenapa diubah? “Ya. Benar diubah,” jawab saya. Sebelumnya, Jengah Jenguk rencanaya akan menelusur ihwal keberadaan kedua Babeh ini. Yang satu berupaya menerabas sekat-sekat kebohongan untuk menyampaikan kebenaran. Yang satu lagi, berapi-api memprediksi ihwal keganasan virus yang akan terus bermutasi.

Dicermati bersandar beberapa pendapat disertai penjelasannya, Beh Aldo punya niat baik. Sebagai anak bangsa, Beh Al luar biasa semangatnya. Sangat jarang di era kebangkitan paham material-kapitalistik yang tidak percaya “kalau jujur dapat bertahan hidup”, masih ada Beh Al. Sementara Beh Bill sudah mahfum diketahui. Sebagai seorang pengusaha kaya raya dan pendana besar WHO, mungkin juga punya perusahaan vaksin, siapa tahu, sudah pasti beda.

Ehhh. Emmh. Mohon maaf. Eh, mengapa jadi membahas tajuk yang Insya Allah minggu berikutnya akan diluas-khusus? Seorang kawan yang lain “sambil berseloroh” jika tajuk ini akan bermasalah. Yang berseloroh (seperti lucu-lucuan) berargumen terkait ulas-kaji tajuk ini adalah sebuah yang mustahil. Sudah puluhan tahun ini, jangankan virus covad-covid (maksudnya C-19 versi WHO, versi lain ditunggu), termasuk HIV saja, tidak (belum, boleh jadi sedang berproses) ada obatnya. Lalu bagaimana dengan istilah Terapi Virus? Apakah virus dapat diterapi? Siapa terapisnya? Bagaimana metode terapinya?

Sementara teman yang lain boleh jadi seloroh khusus seperti yang tadi, ada pula yang khawatir dus takut. Khawatir dus takut, jika Saya mendapat penghargaan nobel kesehatan. “Ntar lupa sama kami”.

Berdiskusi ihwal terapi, selain terlalu biasa juga amat sangat tidak populer. Terapi lazimnya selalu diasosiasikan dengan pijat. Mendengar kata ini, menurut seorang kawan, selalu menggoda pikiran. Pijat mengobsesi pikiran dengan istilah tegang, panjang, besar dan seterusnya. Mohon maaf. Tidak semua orang berpikiran begitu. Yang belum punya pengalaman tuntu tidak. Apakah termasuk Anda? Semoga tidak.

Lalu bagaimana dengan virus? Yang sekarang disebut dengan Covid-19 itu? Dari mana istilah itu berasal? Dari WHO bersandar pada kajian para saintis virus tentu saja. Atau berdasarkan penemuan nama virusnya beserta tahun temuan? Pertanyaan beriktunya: siapa yang menemukan? Masih tetap WHO atau? Walaupun istilah terapi belum populer, namun ihwal ke-virus-an diyakini tidak hanya mashur melainkan disertai rasa khawatir-takut berlebihan yang mengiringi.

“Terapi Virus” mengkait-klindankan antara konsep Terapi dan Virus menjadi mustahak. Terapi Virus dalam hubungan ini bersandarkan pendekatan hipnoterapi (realitas psikologis) yang berfokus-tumpu pada pikiran bawah sadar. Analogi sederhana pada seseorang “perokok berat”. Pada bungkus rokok tertera dengan jelas, tegas dan pedas, tidak hanya tulisan melainkan juga berupa gambar. Tulisan dan gambarnya dalam dunia hipnoterapi jelas “memprovokasi pikiran bawah sadar” untuk takut. Namun apa yang terjadi?

Jawabnya ketidakpedulian. Untuk mengatakan “cuek bebek” terasa kurang arif nan bijak. Pepatah klasik mengatakan, “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”. Begitulah realitas bekerjanya “pikiran bawah sadar” yang tanpa peduli apalagi takut dengan berbagai peringatan yang sungguh mengerikan (mohon lihat gambar, dan bayangkan bungkus rokok tersebut!). Mengapa? Karena merokok sudah menjadi kecandu-biasaan. Amat sulit untuk menghilangkan. Jika dinasehati bahayanya. Jawabnya, “merokok mati, tak merokok juga mati”.  

Lucu dan satirnya, berbeda dengan keberadaan C-19. Benda atau barang tak tampak (tak kasat mata), rasa ketakutan begitu berlebihan. Dalam konteks hipnoterapi rasa ketakutan yang berlebihan justru dapat menurunkan kekebalan (imun) tubuh. Contoh sederhana, tanyakan dalam hati di mana ada virus? Bagaimana bentuk (morfologisnya). Analogi partikel penyusun atom boleh jadi dapat memberikan referensi sederhana. Struktur atom terdiri dari proton, elektron dan dan neutron. Struktur C-19 terdiri dari apa? Mengapa manusia (orang-orang) di dunia termasuk di negeri tercinta ini ‘seolah-olah sangat ketakutan’ terhadap barang yang tak kasat mata?

Terapi Virus secara sangat sederhana menilai jika keberadaan C-19 “untuk sementara hanya ada dalam pikirian”. Oleh karena pembuktiannya lebih bersifat psikologis yang bertolak-tumpu (bertolak-ukur) khsusnya pada pikiran bawah sadar. Mengapa? Karena, mata telanjang belum dapat membuktikan secara langsung, kecuali sebatas melalui media informasi dan referensi yang dikemukakan saintis virologi misalnya. Inipun bersandarkan pada berita-berita berjaringan yang dikuasai kelompok yang terafiliasi pada mereka.

Bersagang pada argumentasi itulah jujur saja aqal sehat tak akan dapat membantah sejak WHO mendeklarasikan pandemi kepada umat manusia di dunia (termasuk Indonesia) terkesan sombong dan angkuh. Arifnya, menyambut hari proklamasi kemerdekaan, mari kita berpikir cerdik nan cerdas, dan kritis-kreatif juga inovatif. “Terapi Virus” adalah bagian dari memproklamirkan cara berpikir cerdik-cerdas, kritis-kreatif nan inovatif.

Pertanyaan retorisnya adalah pernahkah cara berpikir tersebut kita praktikan semenjak awal hingga saat ini diberlakukannya kebijakan pandemi versi WHO? Pepatah klasik mengatakan, “tepuk dada tanya selera”.

Amat sangat susah dibantah jika menusia (orang-orang) di negeri memperlakukan virus selain bak teroris yang sangat jahat juga ketakutan yang berlebihan. Oleh karena sangat jahat dan ketakutan, maka masker dan alat pelindung diri (APD) seperti hazmat suit (baju hazmat) menjadi hiruk-populer keberadaannya. Begitu buruk sangkanya bangsa ini dengan keberadaan barang, benda, sesuatu yang tak kasat mata.

Mohon maaf. Sebagai altar paham material-kapitalistik yang sudah merasuk bawah sadar, kesemuanya bertolak-ukur dengan materi-benda. Sehingga cara pengobatan yang selalu mengklaim sebagai modern (boleh juga ter, paling entah apalagi namanya) adalah metode pengobatan dengan “men-tuhan-kan alat” (materi). Realitas ini tidak juga dapat disalahkan oleh karena setting (konstruksi berpikir) pendidikan di bidang kesehatan dan turunannya mengajarkan demikian.

Susah untuk menangkalnya jika material-kapitalistik membawa pikiran ke dalam kekacauan yang amat sangat takut. Sehingga tanpa sadar virus (C-19 versi WHO) menjadi tertuduh, tersangka, dan tersandera dalam pikiran bawah sadar. Setali tiga uang, pembisnis alat kesehatan dan obat-obatan juga konkruen (sama dan sebangun). Dari sini menurut pakar ekonomi pembangunan (sekarang ilmu ekonomi) terserang “hukum ceteris varibus” (terjadi penguncian titik temu dalam kurva keseimbangan antara plandemi eh salah pandemi, dan virus ada vaksin).

Terapi Virus bersandar pada pendekatan psikologi (hipnoterapi) dalam mendekati si tersangka virus. Pendekatannya berpijak pada kesadaran humanis (perasaan ke-virus-an). Pepatah klasik, “tak kenal maka tak sayang” menjadi basis referensinya. Kenali dulu dengan bijak nan cerdas apa yang dimaksud dengan C-19? Siapa yang menemukan/penemunya (lembaga kajian internasional atau yang lainnya)? Bagaimana struktur morfologisnya? Mengapa WHO, tiba-tiba mendeklarasikan C-19 sebagai pendemi? Ada atau tidak sandaran akademis-ilmiahnya? Ada atau tidak hubungan antara tersangka virus dengan C-19? Dan pertanyaan lainya yang dapat mansadar-bangkitkan cara berpikir cerdas-kritis nan inovatif.

Selain itu, Terapi Virus tidak berlebihan dengan menggunakan cara berpikir dialetik, ada tesis, anti tesis dan sentesis menjadi sandaran kerangka pikirannya. Berdasar cara berpikir ini jika tesisnya adalah C-19, anti tesisnya vaksin, maka sistesisnya adalah “Terapi Virus”.

Menjadi kata tutup sebagai amanah, Jengak Jenguk kali ini menterus-sampaikan beberapa pertanyaan dari seorang teman. Seorang teman entah karena ketakutan yang berlebihan, serius atau bercanda, mengajukan beberapa pertanyaan. “Bagaimana jika gagasan terapi ini (maksudnya Terapi Virus) berhasil dan diakui dunia? Apakah “tidak kasihan” dengan para pembisnis vaksin, alat tes covid, obat-obat dan sejenisnya termasuk para pemburu rente?

Bukan kah mereka akan menderita kerugian?

Wallahualam bissawab. ***

Baca : Hipno-Intelijen Informasi

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *