Cerpen Zamzami Zainuddin: Terapi Ayat-ayat Tuhan

SEBUAH desa di pinggiran Kutaraja menjadi tempat hunianku saat ini. Rumah-rumah tsunami bantuan Arab Saudi berdiri kokoh berjejeran rapi. Hanya hunian sederhana, namun sangat nyaman bagi penghuninya, ditambah lagi masyarakatnya yang saling menghargai dan menghormati.

Namun, akhir-akhir ini kenyamanan itu mulai terusik. Berubah menjadi kebisingan hanya gara-gara ada satu keluarga pendatang baru. Mereka baru saja pindah ke desa kami. Rumah mereka pas bersebelahan dengan rumahku. Jadi, sekarang mereka resmi menjadi tetangga baruku.

Bising, sungguh sangat bising. Hobi satu keluarga itu adalah menghidupkan musik dengan volume sangat keras serta berkarokean ria dengan suara berantakan tidak beraturan. Hal inilah yang membuat suasana desa kini mulai tidak nyaman lagi. Suara musik dan karoke yang sangat keras hampir di setiap jam selalu membuat kepalaku ingin pecah. Bukan malah menjadi hiburan dengan suara merdu nan indah, namun menjadi malapetaka dan musibah.

Parahnya lagi, ruang karoke rumah mereka pas berdempetan dengan kamar tidurku. Kenyamanan hidupku kini spontan berubah drastis dari kehidupan istana menjadi kehidupan neraka. Hidupku kini mulai suram ditemani suara-suara hancur berantakan. Yang sangat merisihkan lagi, hampir seluruh anggota keluarga mereka memiliki perangai yang sama, mulai dari orang tua sampai anak-anaknya. Semuanya hobi karokean dengan suara bising yang sangat keras.

Hari paling suram adalah Sabtu dan Minggu. Betapa tidak, jika hari-hari lain mereka hanya bernyanyi dengan suara single saja, namun setiap malam Sabtu dan Minggu akan ada kolaborasi antara orang tua dan anak-anaknya. Dangdut adalah lagu favorit yang sering didendangkan.

Aku sebenarnya tidak membenci lagu dangdut, bahkan aku sangat menyukai nyanyiannya Bang Rhoma. Namun saat lagu merdu Bang Rhoma mereka nyanyikan dengan irama hancur dan merusak pendengaran seluruh makhluk di alam semesta, ini sungguh “terlalu.”

Dan lebih parahnya lagi, yang terusik hidup bukan manusia saja, hewan-hewan juga mengalaminya. Bayangkan saja, setelah mereka pindah ke kampung kami, suara ayam sudah jarang terdengar di kala Subuh. Burung pun tidak lagi berkicau di pagi hari. Barangkali ini adalah bentuk protes mereka atas ketidaknyamanan hidup yang mulai terusik.

Aku memang pernah sekali menegur anak perempuannya yang masih remaja agar mengecilkan sedikit volume musiknya supaya tidak menggangu tetangga di sekitar. Kujelaskan bahwa banyak anak-anak yang masih bayi akan terganggu, juga ada orang tua yang butuh istirahat dengan nyaman tanpa ada kebisingan. Namun parahnya, si gadis tersebut malah mengajakku berkaroke bersama. “Abang ingin gabung karokean. Yuk bang ikutan, asik bang…..lanjotttttt,” ujar si gadis tetanggaku itu. Aku hanya bisa menjawab dengan istighfar dalam hati. Yah, memang aku sangat percaya bahwa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Orang tua memang menjadi panutan bagi anak-anaknya. Jika orang tuanya saja tidak menghargai dan menghormati orang lain, lantas bagaimana dengan anak-anaknya.

Sebenarnya sudah banyak masyarakat yang menegur dan menasehati mereka agar musik karoke cukup didengar oleh keluarga sendiri saja, tanpa harus menggangu tetangga sekampung. Namun tetap saja tidak mempan, barangkali hatinya sudah beku. Masyarakat banyak mengeluh pada keuchik selaku kepala desa tentang keributan musik setiap sore dan malam. Pak keuchik pun mulai memikirkan cara agar masalah ini bisa diselesaikan secara damai. Yang penting tidak boleh ada kekerasan dan kekasaran dalam menasihati.

Memang di kampungku belum pernah terjadi kekerasan di setiap penyelesaikan masalah, karena memang banyak warga di sini yang berpendidikan dan beragama. Biasanya jika ada warga yang bersalah dan bermasalah, maka tidak langsung main tangan, apalagi main bakar. Memang menyelesesaikan masalah dengan kepala dingin harus banyak bersabar dan membutuhkan waktu agak sedikit panjang, tapi pasti akan membawa kebaikan bagi semua pihak.

Malam Minggu pun tiba. Aku mulai mencoba merenungkan dengan kepala dingin cara terbaik yang harus kulakukan agar suara bising karokean bisa berhenti dengan damai. Saat sedang kusyuknya berkonsentrasi merenung di kamarku, tiba-tiba aku dikejutkan dengan ulah tetanggaku yang kembali merayakan pesta karokean dengan kolaborasi satu keluarga.

Suara musik semakin menjadi-jadi memecahkan keheningan malam. Jika ada satu bom diledakkan di kampungku, sepertinya akan kalah besar dengan suara musik karokean mereka. Akhirnya Tuhan tunjukkan sebuah kunci jawaban tentang cara menghentikan musik itu.

“Aku harus menghidupkan musik tandingan, ya musik tandingan,” ujarku dalam hati.

Segera kubukakan jendela rumahku. Kuletakkan speaker musik pas di atas jendela. Kuhidupkan laptop dan kusambungkan ke load speaker.

Akhirnya, ketemukan sebuah alunan indah yang akan bertanding melawan alunan dangdutan masik karokean, yaitu bacaan ayat suci Alquran. Baru lima menit lantunan ayat suci kuhidupkan, tiba-tiba terdengar suara seorang ibu berteriak dan menyindirku,”Cepat kali malam Jumat ya, masih malam minggu sekarang.” Namun tak kuhiraukan, tetap saja alunan firman Tuhan kubiarkan menyala dengan volume maksimal. Tiba-tiba dari arah rumah tetanggaku yang lain juga terdengar alunan indah, sama persis seperti di rumahku. Ternyata dia mengikutiku menghidupkan ayat-ayat Tuhan di VCD rumahnya dengan volume yang besar juga.

Berselang beberapa menit saja, suara alunan indah Syeh Saad Sa’id Al-Ghamidi juga terdengar indah dan merdu dengan volume maksimal dari rumah Pak Muzakkir dan Bu Zahra.

Akhirnya suara karokean tetanggaku mulai terkalahkan oleh ayat-ayat Tuhan dan yang membuatku kembali kagum adalah terdengarnya kembali alunan indah yang paling keras dari volume sebelumnya. Ternyata suara itu berasal dari arah meunasah. Iya, suara ayat Alquran terdengar keras keluar dari mulut TOA pengeras suara di meunasah.

Malam itu, indahnya alunan ayat-ayat Tuhan telah menghiasi seluruh sudut kampungku. Jika biasanya malam Minggu terdengar suara bising karokean, namun malam itu justru yang terdengar merdunya lantunan ayat-ayat Tuhan. Aku berpikir bahwa ini adalah cara yang sangat indah dilakukan untuk mengalahkan kezaliman. Kini kampungku kembali damai tanpa ada lagi kebisingan. ***

*) Cerpen ini sudah terbut di Harian Serambi Indonesia edisi 28 Juli 2013 dan dimuat ulang literasidigital.com 16 Desember 2013

—————–
Zamzami Zainuddin, staf pengajar di lembaga bahasa (LDC) IAIN Ar-Raniry

Baca : Cerpen Ngah Aroel: Anggau di Sekolah

*** Laman Cerpen terbit setiap hari Minggu dan menghadirkan tulisan-tulisan menarik bersama penulis muda hingga profesional. Silakan mengirim cerpen pribadi, serta terjemahan dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected]. Semua karya yang dikirim merupakan tanggunjawab penuh penulis, bukan dari hasil plagiat,- [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *