Cerpen Ramli Lahaping: Tanah Leluhur

ramli lahaping

MALI terdiam saja. Tatapannya nyalang tetapi kosong, seakan-akan ia tengah memandang isi kepalanya sendiri. “Makanlah, Pak. Sudah hampir sore,” tawarku, sambil menyodorkan sepiring nasi campur kepadanya.

Tetapi ia bergeming saja, seolah tak benar-benar mendengar suaraku. Akhirnya, dengan perasaan kecewa, aku meletakkan sepiring nasi campur tersebut di sampingnya. Aku berharap saja ia akan tertarik untuk memakannya. Kukira, sebaiknya begitu, ketimbang terus membujuknya dan malah rentan membuatnya emosional. Apalagi, aku memang tak punya daya untuk memengaruhi isi hati dan pikirannya di tengah kondisi kejiwaannya yang sakit.

Sudah enam tahun Mali menunjukkan gelagat sebagai orang yang tidak waras. Ia kerap bertingkah aneh, hingga orang-orang mencapnya gila. Suasana batinnya sering bergolak, sampai ia mengobrak-abrik fasilitas umum, mencaci-maki para pejabat, atau sekadar menangis dan meronta-ronta. Karena itulah, para warga bersepakat untuk memasungnya di dalam rumahnya sendiri.

Ketidakwarasan Mali, memang terjadi karena perkara yang pelik. Dahulu, ia mencalonan diri sebagai anggota dewan tingkat kabupaten, tetapi ia gagal terpilih. Para pemilik suara seolah-olah memandang bahwa ia tidak cakap untuk menjadi seorang legislator, sebab ia yang merupakan pensiunan militer, tidak punya pengalaman apa-apa dalam pemerintahan sipil.

Akhirnya, kegagalan itu membuat Mali kecewa berat. Ia pun mulai kehilangan kontrol atas kesadarannya untuk menerima kenyataan. Pasalnya, ia punya cita-cita besar yang mendorongnya untuk menjadi seorang anggota dewan. Ia telah tahu bahwa tanah leluhurnya dan tanah beberapa warga tengah terancam oleh rencana sebuah perusahaan kelapa sawit, dan ia ingin mempertahankan hak mereka tersebut.

Dan mirisnya, kini, kehidupan Mali sangat memprihatinkan. Di tengah keadaan jiwanya yang tidak stabil, ia hanya tinggal seorang diri di rumahnya. Itu karena ia adalah anak tunggal dari kedua orang tuanya yang telah lama meninggal, sedang selama dua kali menikah, ia tak juga dikaruniai anak.

Pada saat yang sama, istri keduanya yang masih muda, telah pergi ke pulau seberang dan menikah dengan lelaki lain, tak lama setelah Mali berubah perangai dan suka berlaku kasar.

Karena keadaan itulah, tak ada orang yang menjaga Mali. Tidak para keluarga jauhnya, apalagi orang-orang yang sama sekali tak punya hubungan keluarga dengannya. Akhirnya, karena merasa prihatin, sebagai tetangga yang tinggal paling dekat dari rumahnya, aku pun memutuskan untuk mengampunya semampuku, sembari berharap kondisi jiwanya kembali normal seperti dahulu.

Seperti juga hari ini, aku kembali mengunjunginya, sambil membawakan hidangan untuknya. Aku setia mengurus kebutuhan makannya sehari-hari dengan berbekal penghasilan pribadiku, ditambah urunan dari warga yang lain. Aku melakukannya tanpa beban karena aku merasa perekonomianku memadai atas pekerjaanku sebagai pedagang jagung sekaligus pemilik lahan perkebunan yang lumayan luas.

Di tengah lamunan atas keprihatinanku, tiba-tiba, Mali tergelak, lantas berucap, “Lihatlah nanti, kalau para politikus dan pengusaha busuk itu berani-berani memasuki tanah leluhurku, mereka akan menuai petaka!” tuturnya, dengan raut yang kemudian berubah geram.

Aku jadi kebingungan meramu tanggapan untuk ungkapannya yang emosional. Aku pun memilih untuk diam saja, sebab aku khawatir salah bicara dan malah membuatnya bertingkah liar.

“Kau masih di pihakku, kan?” tanyanya, tegas, sambil melirik kepadaku.

Dengan terpaksa, aku merespons, “Tentu, Pak.”

Ia lantas tertawa pendek. “Baguslah. Jangan coba-coba berkhianat”.

Aku mengangguk saja.

Seketika pula, aku terenyuh membaca kekalutan dan dendam di dalam hatinya. Bagaimanapun, aku adalah anak salah satu orang yang turut mengkhianatinya. Ayahku yang telah meninggal lebih setahun yang lalu, pada masa dahulu, adalah seorang kepala desa. Ayahkulah yang mengurus kepentingan sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk beroperasi di desa kami.

Ayahkulah yang turut memfasilitasi agar tanah warga yang tak punya legalitas berupa sertifikat, bisa beralih menjadi tanah kekuasaan perusahan perkebunan. Ayahkulah yang melobi sejumlah warga untuk memasrahkan tanah mereka kepada pihak perusahaan dengan kompensasi seadanya dan jaminan berkerja di perusahaan, ketimbang mereka berperkara di pengadilan dan tak mendapatkan apa-apa pada akhirnya.

Ayahku pulalah yang telah mengupayakan kesaksian dan bukti-bukti agar tanah leluhur Mali yang luas dan belum tergarap, bisa menjadi milik perusahaan setelah melalui persengketaan di pengadilan. Dan untuk itu semua, ayahku mendapatkan imbalan yang tidak sedikit.

Tetapi kini, aku merasa bersyukur, sebab aku masih punya kesempatan untuk membalas kesalahan orang tuaku terhadap Mali. Paling tidak, dengan begitu, aku bisa mengikis rasa berdosaku terhadapnya, setelah sekian lama aku menikmati kehidupan yang baik-baik saja atas harta benda yang diperoleh ayahku dengan cara menzaliminya.

Sampai akhirnya, di tengah menunganku yang mendalam perihal keadaan hidup Mali, tiba-tiba, aku mendengar bunyi dentuman dari kejauhan.

“Mereka telah mendapatkan balasanku,” tutur Mali, lantas tertawa putus-putus.

Sesaat berselang, telepon genggamku berdering. Aku pun lekas menjawab, “Ya, ada apa?”

“Ada ledakan keras di kawasan perkebunan, Pak. Beberapa orang terluka,” lapor seorang warga untuk aku yang kini menjabat sebagai kepala dusun.

Aku lantas berdiri dan menoleh ke sisi belakangku. Hingga akhirnya, di bahu bukit, aku melihat bubungan asap dan kobaran api tengah melahap isi lahan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang masih berupa hutan muda, yang dahulu merupakan lahan peninggalan orang tua Mali. ***

Ramli Lahaping, kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Aktif menulis blog (sarubanglahaping.blogspot.com). Twitter: @ramli_eksepsi.

Baca : Cerpen Eka S. Saputra: Masjid di Atas Bukit

*** Laman Cerpen terbit setiap hari Minggu dan menghadirkan tulisan-tulisan menarik bersama penulis muda hingga profesional. Silakan mengirim cerpen pribadi, serta terjemahan dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected]. Semua karya yang dikirim merupakan tanggunjawab penuh penulis, bukan dari hasil plagiat,- [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *