Cerpen Achmad Dhani: Pengamen yang Kehilangan Instrumennya

KALA bulan Januari hampir berakhir, debit hujan belum mengisyaratkankan akan berhenti. Tujuh hari lagi akan berganti bulan Februari. Guyuran hujan tak henti-hentinya menghantam bumi. Sejak fajar hingga pertengahan hari, rintikan-rintikan yang diturunkan langit masih berlanjut hingga mengakibatkan banyak genangan air di setiap tempat. Banyaknya genangan di tepian jalan mengakibatkan orang-orang enggan untuk menjalankan aktivitas di luar ruangan.

Jalanan sepi. Tak ada pejalan kaki yang berlalu lalang. Kendaraan umum tak banyak terisi penumpang. Di saat itulah seorang pengamen berusia senja terbujur lunglai di depan ruko kosong yang sudah tak berpenghuni. Ruko itu menjadi tempat andalannya untuk berteduh dari panas maupun hujan. Ia tak sendirin. Ia ditemani rekan laki-lakinya yang berusia tujuh belas tahun. Anak muda itu adalah Ferdi.

Ferdi dahulu bersekolah. Sampai hampir lulus SMP, ia tak lagi diizinkan orang tuanya untuk melanjutkan sekolah. Bukan karena perekonomian atau karena orang tuanya tak mampu menyekolahkannya lagi. Namun, orang tuanya enggan menyekolahkannya lantaran Ferdi banyak masalah di sekolah. Hampir setiap masuk sekolah, di kelas membuat onar. Berkelahi, membantah guru yang mengajar, bahkan merusak fasilitas sekolah pun pernah ia lakukan.

Bosan orang tuanya harus bertemu kepala sekolah setiap kali ia berulah. Seminggu bisa tiga kali, atau bahkan enam kali harus memenuhi surat panggilan. Paling mending, ia tak berulah hanya ketika diskors paling lama dua minggu.

“Kamu itu kenapa toh, Di? Bersabar ibumu ini menghadapimu. Sudah berkali-kali kamu mendapat teguran, surat panggilan orang tua, bahkan kerap ditelepon guru-gurumu karena kelakuanmu yang kelewatan batas. Apa kamu enggak pernah sadar?” keluh ibu Ferdi pada suatu ketika.

Ferdi hanya diam dan seolah tak terjadi apa-apa ketika ia dihadapkan dengan orang tuanya yang marah-marah kepadanya. Ia hanya cuek bebek. Diam adalah cara ia membantah tanpa harus berkata kasar.

Sebenarnya Ferdi bukan orang yang sedemikian buruknya. Bukan penjahat dan juga bukan pembuat onar. Ia melakukan semua itu karena ada dorongan situasi. Seperti halnya perkelahian. Ia membela diri karena setiap kali teman-teman bersamanya, mereka mengejeknya dengan menyebut-nyebutnya sebagai si muka setan.

“Lihat teman-teman, ada si muka setan pakai kaos kaki pink. Hahaha konyol sekali,” celetuk salah satu kawan yang membuat kawan-kawan lainnya ikut menyorakinya.

Muka Ferdi memang seram, lebih mirip seperti setan. Awalnya ia memiliki muka imut dan tampan. Namun karena kejadian waktu malam hari raya itu, ia berubah menjadi demikian. Saat takbir keliling ada salah seorang yang menyalakan mercon apollo. Ia menyalakan dengan tidak menjauh dengan kerumunan orang. Saat sumbu mercon sudah tersulut dan beberapa letupan mercon sudah melayang ke angkasa, ternyata saat masih ada satu letupan lagi, mercon itu malah terlepas dari genggaman tangannya. Alhasil, satu letupan menyasar ke muka Ferdi di antara kerumunan orang.

Sejak saat itulah muka Ferdi tak lagi imut dan tampan. Bekas luka bakar yang ia peroleh, membuat mukanya tak lebih dari setan. Buruk, menakutkan dan sering orang-orang lain mengolok-oloknya. Itu yang membuat Ferdi menjadi tak percaya diri dan temperamen. Sebenarnya, berkelahi dengan teman-temannya adalah upaya ia membela diri. Selain karena mukanya yang seperti setan, alasan lain teman-temannya mengatainya karena saat ia berkelahi ia menakutkan seperti orang kesetanan.

Di kelas ia merasa berbeda. Guru yang mengajar juga sering menyudutkan Ferdi. Kata-kata kasar sering dilemparkan kepadanya. Itu yang membuat ia dikira tukang membantah, padahal sejatinya ia tengah membela dirinya sendiri yang direndahkan.

Setiap kali ia bercerita yang sebenarnya kepada orang tuanya, mereka tak mempercayainya. Menganggap bahwa Ferdilah yang bersalah, patut disalahkan. Dan terus berlanjut sampai akhirnya dia berubah menjadi orang bodo amat dan sangat benar-benar menakutkan layaknya setan.

Orang tuanya akhirnya memberhentikannya dari sekolahan. Ferdi memilih minggat dari rumah. Ia minggat tidak ada yang mengetahuinya. Kedua orang tuanya saat itu masih terlelap dengan tidur masing-masing. Berjalan dari semula di desa hingga jauh sampai di kota.

Di kota akhirnya Ferdi bertemu dengan seorang kakek yang baik hati mau menjadi teman Ferdi. Kakek itu hidup sebatang kara di sebuah rumah kardus di gang yang kumuh di tengah apitan gedung-gedung megah kota.

“Kalo kamu mau tinggal, mari bersamaku saja anak muda. Kamu tak usah khawatir, aku juga hidup sendirian kok. Anak dan istriku sudah lama pergi meninggalkanku,” ucap kakek itu saat bertemu Ferdi di salah satu terminal.

Ferdi jarang sekali berbicara. Diam saja ia dianggap menakutkan oleh orang-orang. Tapi dengan kakek yang ia temui ini, ia banyak berbicara yang juga bercerita banyak hal.

“Kalau begitu, kakek ini sebenarnya orang kaya dong. Kan kakek tidak sombong dan suka menolong orang. Itu yang sebenarnya pengertian dari kaya. Menolong orang, memberi walau kadar semampunya, kakek memang orang kaya,” begitu kata Ferdi yang kini telah tahu bahwa kakek itu bernama Mustofa.

Kakek Mustofa menjadi teman terbaik, ketika semua mata di dunia mulai meremehkannya dan tak menganggapnya sebagaimana manusia lainnya. Ke mana pun Kakek Mustofa pergi, Ferdi pasti diajak. Dan pekerjaan Kakek Mustofa saat ini adalah menjadi seorang pengamen.

Mereka berdua mengamen di stasiun bus antar-provinsi. Masuk dari satu bus ke bus yang lain. Dari sebuah terminal ke terminal yang lainnya. Rutin dan hanya itu yang bisa mereka kerjakan, karena Kakek Mustofa pun tak bisa masuk di pekerjaan lain selain hanya mengamen.

Sejak awal pertemuannya dengan Kakek Mustofa, Ferdi memang sudah bisa menyanyi. Suaranya bagus dan tahu menyanyikan nada sebuah musik yang benar. Saat semua orang tak menyukai Ferdi, ia menjauh dari orang-orang dan sering ia menyanyikan lagu-lagu cinta saat sendirian. Itulah satu hal yang membuat hatinya lebih baik dari segala tekanan hidup yang ada.

Apalagi saat ini ia sering bernyanyi lepas dengan Kakek Mustofa. Kendang paralon yang dimainkan Kakek Mustofa sangat padu ketika berkolaborasi dengan lengkingan suara Ferdi yang merdu. Kepercayaan diri Fedi meningkat dan menjadi kekuatan dalam hidupnya.

Bulan Januari ini adalah tepat satu tahun Ferdi membersamai Kakek Mustofa. Segala keluh kesah dan canda tawa telah banyak mereka alami. Dengan tetap berpegang teguh bahwa rezeki sudah ada yang mengatur, Kakek Mustofa tak pernah goyah untuk terus melangkah.

Namun, usianya sudah semakin senja. Ia tak sekuat yang dulu lagi. Kini Kakek Mustofa sering mengalami nyeri lutut ketika terlalu lama berdiri dan juga terlalu jauh berjalan.

Ferdi mengerti akan hal itu. Apalagi musim penghujan ini, Kakek Mustofa sering menggigil karena kedinginan. Tak jarang juga Kakek Mustofa sering sakit demam. Dan karenanya Ferdi harus berangkat mengamen sendirian. Kadang saat ia tak tega karena meninggalkan kakek Mustofa sendirian, ia terpaksa tidak berangkat mengamen, lebih mementingkan untuk merawatnya.

Hari ini Kakek Mustofa memaksakan diri untuk ikut mengamen. Namun, hujan tak kunjung reda. Sampai siang mereka belum mendapatkan uang sepeser pun. Dingin terus menusuk tulang Kakek Mustofa. Tak henti-hentinya Ferdi memeluknya seerat mungkin agar tidak kedinginan.

Sambil terbatuk-batuk Kakek Mustofa mencoba menahan bibirnya yang bergemetaran. “Sepertinya kakek memang sudah tak sanggup lagi, uhuk, untuk melanjutkan hidup.”

“Tidak, Kek. Kakek tak sekadar teman yang baik yang mau membersamai Ferdi. Kakek adalah segalanya. Orang terbaik, yang hanya Kakek yang bisa menerimaku tanpa pamrih,” air mata Ferdi mulai meleleh.

“Jangan begitu anak muda. Kau masih punya banyak kesempatan lagi untuk bisa terus melangkah. Buktikan kepada semua orang bahwa dirimu adalah orang yang layak berada diantara mereka.”

Kalimat terkhir yang terucapap pada bibir Kakek Mustofa adalah penutup dari usianya. Setelah itu tak ada embusan nafas lagi yang keluar. Sekujur tubuhnya tak lagi tegang. Tubuhnya dingin tak bernyawa lagi. Ferdi berteriak sekencang-kencangnya, menangis di antara rintikan hujan. Tangisannya membuncah membelah langit-langit hitam. Ferdi tak hanya kehilangan instrumen yang menemani lantunan lagu-laguya. Namun, ia juga kehilangan instrumen impian dalam hidupnya. Lagi, ia akan menghadapi kehidupan yang berat. ***

*) Cerpen ini sudah ditayangkan oleh nu.or.id pada 24 Juli 2022

———————-
Achmad Dhani adalah Nahdliyin asal Grobogan, Jawa Tengah. Permutakhiran aktivitasnya dapat disimak di Facebook dan Instagramnya di @achdhaniiy. *

 

Baca : Cerpen Ediruslan Pe Amanriza: Sang Pemburu

*** Laman Cerpen terbit setiap hari Minggu dan menghadirkan tulisan-tulisan menarik bersama penulis muda hingga profesional. Silakan mengirim cerpen pribadi, serta terjemahan dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected]. Semua karya yang dikirim merupakan tanggunjawab penuh penulis, bukan dari hasil plagiat,- [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews