Pelangi
Merah kuning hijau
hitam mengkelam
kala bumi mengirim kode
pada kumulonimbus
awan memamah embun
subuh itu selalu memaknai
kehadiran kaum luth sumringah
ada yang mewakili puja muja
mahkota di negeri munafiqin
merah memburu menanduk
kuning merimbun menyemak
hijau meredup makruh haram
ke mana,
biru putih ungu
violet dan jingga
biarkan merah putih berkibar
garuda menendang terjang
di tanah air beta.
Pekanbaru, Mei 2023
Waktu
sungguh,
manusia dalam kerugian
yang menghitung ubun
jemari materi
sambil mengkalkulasi
setiap uban bagai mahkota
dari dhuha sampai tahajud
sungguh,
manusia dalam belaian
hawa nafs durjana
yang khufur nikmat
sungguh,
manusia dalam penantian
rangkaian waktu-Nya
yang tak berbatas.
Pekanbaru, Mei 2023
Kapitalis
kaum syubhat
yang terus menggusur
sumber sumber kehidupan
diubah menjadi padang tekukur
kini giliran
air tanah laut
pun pasir antri patuh
membeo menunggu kapan
digadai ekspor atas nama investasi.
Pekanbaru, Mei 2023
Dukhan
waktunya kan tiba
sergah tornado pada el nino
tujuh likur lalu
sinyal dari negeri beruang putih
dalam lambaian la nina
berbuhul lembut harum mewangi
berhembus mengasap,
kun fayakun
jadi maka jadilah.
Pekanbaru, April 2023
————————-
Muchid Albintani lahir di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Sajak-sajaknya terbit dalam antologi, “Menderas Sampai Siak” (2017). “Ziarah Karyawan” (2017). “Segara Sakti Rantau Bertuah Antologi Puisi Jazirah 2” (2019). “Paradaban Baru Corona 99 Puisi Wartawan Penyair Indonesia” (2000). Baca sajak Lantera Puisi V 2018 di Singapura. Buku sajaknya, “Revolusi Longkang” (2017) dan “Rindu Dini” edisi revisi (2022). Buku terbarunya, “Teori Evolusi Dari Ahad Kembali Ke Tauhid Esai-Esai Akhir Zaman”. (Deepublish: 2021). “Terapi Virus Cerdas Berbangsa Bernegara” (Deepublish: 2022).*
Baca: Sajak Sajak Muchid Albintani (Bagian ke-6)