IMPKR Pekanbaru Desak Pemerintah Tinjau Ulang Mega Proyek Rempang Eco City

Kawasan pengembangan Rempang Eco City.

LAMANRIAU.COM, PEKANBARU – Kasus bentrok fisik antara aparat keamanan dan masyarakat yang terjadi pada Kamis 07 September 2023 di Pulau Rempang, Kecamatan Galang, Batam, Kepulauan Riau, menyita perhatian publik di Indonesia. Proyek strategis Rempang Eco City terkesan tidak memperhatikan nasib ribuan masyarakat 16 kampung tua adat yang telah lama mendiami pulau itu.

Menanggapi kondisi yang terjadi saat ini, Ikatan Mahasiswa Pelajar Kepulauan Riau (IMPKR) Pekanbaru menyatakan sikap mendesak pemerintah pusat serta pemerintah daerah untuk meninjau ulang rencana investasi di kawasan Rempang Eco City karena tidak memenuhi paradigma pembangunan nasional dalam hal pemenuhan aspek kemanusiaan, pemerataan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

“Mendesak aparat keamanan untuk menjalankan tugasnya secara profesional dengan mengedepankan nilai-nilai musyawarah dan humanitas untuk menjaga kondusivitas keamanan di Kota Batam,” sampai Sekretariat Ikatan Mahasiswa Pelajar Kepri-Pekanbaru dalam pesan tertulis yang dikirim ke Redaksi LamanRiau.com.

Menurut selebaran yang ditandatangani Ketua Umum IMPKR Pekanbaru, Agus Supriyadi bersama Kabid Advokasi Miftahul Huda, disebutkan, keselamatan masyarakat merupakan hukum tertinggi yang harus dihormati sebagaimana yang diatur dalam asas hukum “Salus populi suprema lex esto” (Hukum keselamatan warga negara adalah yang tertinggi).

IMPKR juga mendorong seluruh pihak stakeholder yang ada untuk menghormati kesatuan wilayah dan masyarakat adat sebagaimana yang diamanatkan dalam konstitusi Republik Indonesia dalam pasal 18 B UUD 1945.

Sejarah Rempang Eco City

Untuk diketahui, bentrokan antara warga dan aparat keamanan di Pulau Rempang beberapa hari terakhir terjadi lantaran warga menolak adanya proyek pengembangan kawasan ekonomi Rempang Eco City di wilayah tersebut.

Proyek yang diyakini pemerintah akan mendatangkan nilai investasi mencapai Rp318 triliun sampai tahun 2080 itu, justru memindahkan keberadaan 7.500 warga 16 kampung tua Melayu di Pulu Rempang yang telah ada sejak tahun 1834.

Rencana pengembangan Pulau Rempang punya riwayat panjang. Di mana pengembangan masuknya investor ke pulau tersebut sudah ada sejak 2004 sampai 2008, namun tidak ada kelanjutan.

Bermula dari surat DPRD Kota Batam bertanggal 17 Mei 2004, membuka masuknya investasi ke kawasan Pulau Rempang. Diteken Ketua DPRD Batam saat itu, Taba Iskandar, surat ini menyetujui investasi PT Makmur Elok Graha atau MEG. Isi surat itu adalah rekomendasi enam fraksi di DPRD Batam.

Secara garis besar, DPRD Batam ketika itu menyetujui langkah Pemko Batam mengembangkan Pulau Rempang menjadi kawasan perdagangan, jasa, industri, dan pariwisata dengan konsep Kawasan Wisata Terpadu Eksekutif atau KWTE.

Pada 26 Agustus 2004, pengusaha Tommy Winata, pemilik PT MEG meneken kerja sama dalam bentuk nota kesepahaman dengan Pemko Batam. Walikota Batam ketika itu adalah Nyat Kadir. Ismeth Abdullah menjabat penjabat Gubernur Kepulauan Riau ikut menyaksikan langsung penandatangan perjanjian kerja sama di lantai empat Kantor Walikota Batam.

Kerja sama juga mencakup membuat studi pengembangan Pulau Rempang. Setelah nota kesepahaman diteken, pihaknya tidak pernah lagi diminta menindaklanjuti kerja sama tersebut.

Lalu, Pemerintah Kota Batam pun berupaya mengundang beberapa pengusaha nasional termasuk Artha Graha Group (induk PT MEG) serta sejumlah investor dari Malaysia dan Singapura untuk berperan aktif dalam pembangunan proyek Kawasan Rempang.

Pada akhirnya, PT MEG terpilih untuk mengelola dan mengembangkan Kawasan Rempang seluas kurang lebih 17 ribu hektare dan kawasan penyangga yaitu Pulau Setokok (kurang lebih 300 hektare) dan Pulau Galang (kurang lebih 300 hektare).

Dalam perjanjian itu, MEG mendapat hak-hak ekslusif atas pengelolaan dan pengembangan proyek KWTE. Dalam Perda Kota Batam Nomor 17 tahun 2001 tentang Kepariwisataan Kota Batam dan diperbarui dengan Perda Nomor 3 tahun 2003 dinyatakan izin usaha dalam KWTE meliputi gelanggang bola ketangkasan dan gelanggan permainan mekanik/elektronik.

Pada tahun 2007, rencana investasi tersebut sempat mengalami kendala, karena adanya aduan dari masyarakat yang mengaku telah merugikan negara Rp 3,6 triliun dalam kerja sama tersebut. Pada 2008, Tommy Winata pun sempat diperiksa di Mabes Polri terkait hal tersebut. Proyek tersebut juga tak terwujud karena adanya masalah pembebasan lahan.

Kerja sama pengembangan Pulau Rempang kembali lahir. Pada Juli 2023, pemerintah meneken kerja sama dalam bentuk nota kesepahaman dengan Xinyi Group, perusahaan asal China. Perjanjian baru ini ditandatangani Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia di Chengdu, China dan disaksikan Presiden Joko Widodo.

Xinyi akan berinvestasi USD11,5 miliar atau setara Rp 172 triliun. Xinyi akan membangun pabrik kaca dan solar panel. Investasi disebut akan melahirkan 30.000 lapangan kerja. Proyeknya dijadwalkan dimulai September 2023.

Investasi ini bagian dari pengembangan Pulau Rempang di bawah bendera MEG. Konsepnya kawasan industri hijau dan diberi nama Rempang Eco-City. Pulau Rempang dibangun kawasan industri, jasa, dan pariwisata.

Namun demikian dalam implementasinya proyek strategis nasional tersebut harus berakhir secara non humanis serta jauh dari paradigma pembangunan nasional dalam hal pemerataan dan keadilan bagi sosial rakyat Indonesia karena harus merelokasi 16 Kampung Tua yang sudah didiami oleh masyarakat adat Melayu sejak 1834.

Pengosongan Kawasan Rempang seluas kurang lebih 17 ribu hektare dan kawasan penyangga yaitu Pulau Setokok dan Pulau Galang berakhir konflik bentrok antara masyarakat dan aparat yang ada. ***

Editor: Fahrul Rozi

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *