Dunia dan Sastra

papan reklame

LAMANRIAU.COM –

Cogito erso sum.

Meminjam aksioma Descartes dalam Discourse on Method (1637) di atas, maka saya ingin menyatakan bahwa dunia bersastra maka dunia ada. Klaim berlebihan? Rasanya tidak.

Apa yang akan menjadi pertanyaan atau sanggahan, mungkin orang akan mengatakan bahwa klaim dunia bersastra itu terlalu berlebihan, dan hanya akan membuat cuping hidung kaum sastrawan menjadi bengkak saja. Tetapi yang banyak orang lupakan adalah kata/lema sastra sekarang yang sesungguhnya sudah mengalami penyempitan makna, dan juga penggunaan. Bahkan mungkin distorsi. Pada suatu masa dulu, sastra nyaris selalu ada di mana-mana; dan mungkin sulit dibedakan dari sekadar [ber]bahasa, meskipun tidak setiap [ber]bahasa adalah bersastra.

Maka dalam berfilsafat kita akan menemukan [bentuk] sastra itu misalnya dalam Homer, Socrates, Plato, Euripides, Sophocles, Aristophanes; yang kemudian berlanjut ke masa-masa gemilang peradaban Islam dengan al-Razi, al-Farabi, Ibnu Rushd, dan bahkan al-Ghazali misalnya. Sayangnya sejak masa Renaisance perlahan-lahan diskursus filsafat semakin teknis dan mekanis sembari melepaskan bentuk [ke]sastra[an]nya.

Lebih awal lagi adalah mitos-mitos, mitologi, dongeng, apalagi cerita-rakyat; dunia historiografi alam manusia juga pada mulanya digambarkan dalam bentuk sastra. Ramayana dan Mahabharata, Enuma Elis, Odisseia, Hikayat Hang Tuah, I La Galigo, dst. Sekarang, tidak seperti filsafat, kita mengenal ilmu/paparan sejarah yang juga sudah mulai mekanis dan teknis meski sedikit-banyaknya masih dapat kita temukan adanya unsur-unsur sastra.

Lalu dunia ilmu pengetahuan. Sains. Dahulu sekali masih bergabung dengan filsafat. Pada mulanya adalah etika, estetika, logika, matematika, dan fisika. Pada masa itu juga tampil dalam bentuk sastra yang kental. Meskipun sebagian berisi postulat, formula, bahkan diagram, keindahannya masih terasa sebagai keindahan alam sastra. Cobalah baca misalnya buku Elemen-nya Euclides. Hanya saja bidang inilah yang memang paling cepat melesat “meninggalkan dan menanggalkan” [ke]sastra[an], terlebih-lebih dari cabang logika, matematika, dan fisika. Mereka, mungkin, mau-tak-mau memang harus lebih bersifat teknis dan mekanis.

Dunia bersastra maka dunia menjadi ada

Apa yang telah saya sampaikan di atas, itu semualah yang membentuk alam-pikiran manusia tentang dunia, memahaminya, lalu dengan itu meréka dan membentuk “dunia-baru-berikutnya”; sehingga dengan demikianlah dunia bersastra maka dunia menjadi ada.

Bukan itu saja. Bahkan Tuhan pun membuat dunia sembari bersastra! Cobalah baca kitab-kitab suci utama dunia. Semua bersastra. Bahkan ayat pertama turun dalam al-Quran pun berisi perintah “bacalah”! Dalam konteks literasi, bukankah juga akan bermakna “bersastralah”? Dan lalu yang paling nyata adalah Kitab Lauh Mahfuz, ketika Allah – wallahua’lam – bersastra di dalam kitab itu untuk merancang dan menentukan jalannya dunia alam semesta dengan segenap makhluk-Nya. ***

Baca :  10 Karya Budaya Riau Ditetapkan Menjadi WBTb Nasional

 

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *