LAMANRIAU.COM – 1990-an. Dari kejauhan di ketengahan Selat Melaka masih tampak kunang-kunang berkelap-kelip, halus, cerah, di tepian pantai. Di muka Bandar Teluk Belitung. Cahayanya bertaburan. Memancarkan sinar berkilauan. Makin berdelip bila gelap kelam. Dimerdukan derau ombak bila air laut pasang. Disahdukan riak-riak tipis gelombang saat air surut timpas di kaki-kaki jari-jemari akar-akar tunjang. Ketika meredup bintang-bintang. Selama bulan menghilang.
Pepohon api-api tegak tercancang
tanggul alami peredam gelombang
2000-an. Cahaya kelap-kelip yang memukau orang-orang di kapal-kapal yang lalu-lalang di pesisir selat memanjang itu, di rerimbun pepohonan api-api (avicennia) itu, tetiba menghilang. Derau ombak yang biasanya tertahan pada jari-jemari akar-akar tunjang, pun sudah lepas lantas, jauh sudah menerajang ke daratan. Daratan yang sebagian besar bertanah paya, gambut legam, babak belur. Dihantam ombak berdentum-dentam.
Musabab apa yang terjadi?
Rupanya ada virus anggaran yang masuk, merasuki, mewabah di kampung ini. Virus proyek pengedaman tepian daratan yang menghala ke Selat Melaka itu. Sebetulnya anggaran atau proyek tidak masalah, malah berdampak sangat positif. Tetapi virus anggaran atau kutu-kuman proyek ini yang membuat kacau-balau.
Hiperkonstruktif.
Tersebutlah dulu selepas Orba. Sebuah proyek yang dianggarkan untuk membuat dam di bibir daratan Bandar Teluk Belitung. Maksudnya, agar ombak laut tidak melantak daratan. Menggerus tanah paya. Membuat tanah peroi. Abrasi. Negeri ini dan rantau-rantau lainnya di sekitarnya memang sudah banyak diterajang abrasi. Daratannya melumat. Lebur ke laut.
Orang-orang bandar ini bersuka ria. Dam yang memanjang di tepian daratan ini memperelok bandar mereka. Agar semakin molek lagi, terlihat oleh orang-orang dari kapal-kapal lalu-lalang di tengah laut, alih-alih pohon-pohon api-api yang selama-lama ini memancarkan cahaya kunang-kunang, habis mereka tebang. Punah-ranah. Tidak bersisa. Kecuali yang jauh redam dari dam.
“Apa pasal, Wak?”
“Macam manalah, menutup pemandangan. Tak ‘nampak bedelau dari jauh kampung awak ‘ni.”
Bagus sekali tepian daratan didam
Agar negeri tidak akan karam
Apabila api-api dibiarkan rimbun rindang
Negeri terasa berbenteng buatan Jepang
Dam yang memanjang rapi di tepian daratan Bandar Teluk Belitung itu memang moi. Cukup molek. Orang-orang bandar suka ria berjalan di tepi dam. Seperti menjadi tempat pelancongan baru. Destinasi baru. Dam itu pun, tampaknya macam pandai bergaya. Bukan main segaknya. “Merasa” senang senantiasa dikunjungi dan dipuja-puja.
Ombak tak pernah berhenti.
Namun pohon-pohon api-api itu sudah mati. Bukan oleh dahsyat ombak Selat Melaka. Tetapi oleh kutu kuman proyek yang konon antiabrasi. Oleh mereka yang over aksi.
Setelah api-api ditebang, tidak ada lagi akar-akar tunjang penghalang gelombang. Tidak ada lagi reranting hijau yang menjuntai pemecah buih. Tidak lagi busut-busut rerama dam alami mengandaskan dan pelankan arus deras. Gelombang-gelombang yang garang itu lantas bebas tanpa hambatan menerajang daratan. Tidak peduli dengan tembok beton dam yang keras berdengkang.
Mungkin gelombang ketawa riang.
Bisa saja gelombang-gelombang itu ketawa riang. “Berdiri kukuhlah engkau di situ hai sang dam. Tiba masanya juga akan merapuh. Reput. Ke laut tidak memulau ke darat pun makin berjarak.”
Gelombang yang degil. Tidak dapat menembak daratan secara langsung tersebab dihempang dam, lalu dia congkil dia kuil bagian bawah-bawah rok mini dam yang tersingkap dari dasar tanah. Lewat celah lubang-lubang itulah gelombang demi gelombang mengabrasilan, peroikan tanah-tanah daratan di sebalik tembok dam apebede tersebut.
Sekali ombak menerjang pantai
sekali tepian pantai berubah
Sekali saja bisa berubah. Ini berkali-kali. Tidak terhitung lipat kalinya. Sepanjang waktu. Terlebih bila pasang datang angin Barat yang kencang. Pertama, gelombang mencabik bagian bawah dam itu berlubang-lubang karena tanahnya semakin hilang digerus gelombang. Berikutnya, lubang-lubang yang sudah dibobol di bawah selengkangan dam ini rupanya membuat ombak gelombang makin terangsang untuk menarajang semakin garang dan semakin garang.
Selagi rumpun api-api rimbun berdiri
Tanah padat pepat menangkal abrasi
Bila pepohon api-api sudah dibantai
Akibat daratan pun akan melandai
Beberapa lama kemudian dam ini tinggal “seorang” diri. Ke laut tidak ke darat pun tidak. Daratan sudah terbirit-birit lari jauh ke daratan – meninggalkan tepian pantai, dipelasah dipelupuh ombak gelombang. Pakaian dam yang dulu bagus lawa – ketika baru siap, pun sudah compang-camping, keropos, koyak-moyak di sana sini. Badannya dulu gagah sudah banyak tumbuh kapang dan kurap. Tulang-belulangnya sudah onggoi. Bergoyang-goyang ditiup angin.
Mengharapkan kucuran proyek dam,
tanah daratan peroi jatuh ke lautan
Andai saja dulu mau memahami alam tak begini sampai karam. Andai saja dulu gunakan akal maksimalkan potensi (asset alami/kearifan) lokal tidak akan terlihat begitu bengal. Kita sudah punya suluh. Kunang-kunang. Tetapi dipadamkan. Kita punya sumber daya untuk mengekallestarikan alam. Api-api. Tetapi dibinasakan.
Over kerja jelata bangang
Binasakan diri dalam ketongongan
Dimuslihat oleh oknum tembelang
Untuk kaya-rayakan dirinya seorang
Maka, tetaplah indon jelata semakin menggigit jari. Tambah melarat. Individu-individu tali barut konkow akong long merat semakin makmur, melesat. Dari pendapatan hasil mencelat duit rakyat. Di antaranya sudah jadi orang kaya sejagat.
Kunang-kunang sudah memberi suluh
Api-api pun sudah memagar ombak
Tinggal manusia merawat alam
Dibutakan temberang kampung runtuh
Berguru sudah belajar tidak hendak
Tunggulah nasib bakal tenggelam
Faktaliris, 10 November 2020
#siripemiskinandiri
rujukan : Avicennia 1- 2