Papan Reklame Soeman Hs

papan reklame

Papan Reklame Soeman Hs.

Bulan Desember nampaknya adalah bulan yang cukup ramai dengan peristiwa “penting” bagi dunia sastra Riau. Tepat seminggu yang lalu, 04 Desember adalah bertepatan dengan milad Dasri al-Mubary yang lahir pada tahun 1958. Mendiang adalah seorang penyair dan teaterawan. Lalu tanggal 12 Desember nanti, ada yang menyebutnya sebagai tanggal lahir Ibrahim Sattah – yang kebetulan adalah “gurunya” Dasri al-Mubary di Bengkel Teater Bhayangkara. Tahun kelahiran Ibrahim adalah 1943 (tetapi ada juga yang menyebut 1945). Kemudian tanggal 15 Desember bertepatan pula dengan tanggal wafatnya Sariamin Ismail, atau biasa dengan namapena Selasih, Seleguri, atau gabungan keduanya. Beliau dikenang sebagai novelis perempuan Indonesia pertama, dengan novelnya berjudul Kalau Tak Untung (1934).

Tapi kita sekarang hendak menulis tentang Soeman Hs, si Hasibuan yang mengaku “saya lebih Melayu dari orang Melayu” (Bukan Pencuri Anak Perawan, 1998: 23).

{Sekarang mari kita bermain-main sebentar dengan kalimat itu, lepas dari konteksnya. (1) “[saya lebih +menjadi+ Melayu]+karena belajar+[dari orang Melayu]” = Soeman Hs yang bukan orang Melayu belajar menjadi orang Melayu dari orang Melayu. (2) “[saya +menjadi+ lebih Melayu]+karena belajar+[dari orang Melayu]” = Soeman Hs yang orang Melayu belajar menjadi lebih Melayu dari, mungkin seorang guru yang, orang Melayu. (3) ”[saya lebih Melayu] [dari+pada orang Melayu]” = Soeman Hs yang bukan orang Melayu mengaku lebih paham dan lebih berperilaku Melayu dibanding orang Melayu (pada umumnya). (4) dan seterusnya ….}

Apa yang sebenarnya dimaksud oleh Soeman Hs dengan kalimat itu adalah “bahwa saya lebih merasa menjadi orang Melayu.” (BPAP: 24; italic dari sas).

Cerpen Soeman Hs yang berjudul “Papan Reklame” pertama kali dipublikasikan dalam buku kumpulan cerpen Kawan Bergelut (Balai Pustaka, 1936). Untuk pembahasan dalam kolom ini digunakan sumber dari 100 Tahun Cerpen Riau (2014: 563-567), yang telah mengalami penyesuaian ejaan.

Dalam peta sastra Indonesia, Soeman Hs dikenal sebagai pelopor cerita pendek (cerpen) dan cerita detektif, yang seringkali mengandung unsur kejenakaan. “Papan Reklame” mengisahkan dua saudagar atau pedagang yang baru membuka toko di Kota P di Sumatera Timur. Soeman mengisahkan di masa itu negeri yang banyak ditanami pohon karet itu terkenal sungguh makmur masyarakatnya. “Dimana-mana dewasa itu si punya getah bersiram duit – sekali lagi bersiram duit. Waktu itu perniagaan maju, pelayaran ramai.” (100 TCR : 563)

Narasi fiksi ini nampaknya sejalan dengan pernyataan pengarangnya lebih setengah abad kemudian: “…usaha itu merupakan kepintaran orang Melayu hingga daerah ini pernah menjadi kerajaan terkaya di Asia Tenggara yang bersandar pada perdagangan ….” (BPAP : 26).

Memang, di paruh awal abad ke-20 itu orang Melayu masih dikenal sebagai saudagar yang unggul. Termasuk Melayu yang tinggal di wilayah yang sempat disebut sebagai Sumatera Timur itu. Kegemilangan itu setidaknya berlangsung dari abad ke-15 hingga 19. Perdagangan utama mereka adalah rempah-rempah, wewangian, tekstil, karet, beberapa jenis barang tambang, emas permata dan perhiasan, dan benda-benda eksotik lainnya. Jalur utama perdagangan itu adalah ke arah utara ke Tiongkok dan Jepun, serta ke arah barat ke India, Arab, dan Eropa (terutama sejak orang-orang Eropa mulai mencari koloni ke semerata dunia). Maka Selat Malaka pun menjadi kawasan yang ramai, sehingga orang Melayu pada masa-masa itu sudah terbiasa berhadap-hadapan dengan orang-orang dari berbagai bangsa di seluruh dunia. Baik karena didatangi, maupun karena mendatangi. Kebudayaan Melayu yang bersifat terbuka dan egaliter adalah warisan dari masa-masa itu, karena ia menggambarkan kepercayaan diri yang tinggi. Soeman Hs agaknya pernah melihat “sisa-sisa” masa kegemilangan itu.

Tetapi bagaimana dengan masa kini? Lebih setengah abad kemudian beliau mencatat: “Sebagai orang Melayu pula saya merasa prihatin dengan keberadaan Melayu sekarang. Orang Melayu semakin merosot, miskin, dan persatuannya semakin kendur. Hampir tak ada orang Melayu yang berdagang, padahal usaha itu merupakan kepintaran orang Melayu ….” (BPAP : 26). Keprihatinan semacam ini terhadap orang Melayu di penghujung abad XX itu bukan hanya pendapat seorang Soeman. Banyak tokoh yang berpendapat sama, dengan pisau analisisnya masing-masing. Baik perihal apa yang menyebabkan terjadinya kemunduran itu, serta sudah berada di “stadium” berapa kondisinya. Tetapi Melayu mana pula yang dimaksud Soeman? Kemungkinan besar yang beliau maksud secara spesifik adalah Melayu Riau.

Perhatian beliau terhadap Melayu [Riau] bukanlah kaleng-kaleng, kalau pakai istilah zaman now. Meski menyandang marga Hasibuan di belakang namanya, beliau “sangat” Melayu – seperti juga Sudarno Mahyudin, Selasih Seleguri, dan yang lainnya. Ada kisah menarik berkaitan dengan siapa yang dapat atau boleh menjadi gubernur Riau pada masa itu. Alasannya bagi Pusat, karena Riau adalah daerah rawan (mungkin full secara ipoleksosbud: ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, sekaligus juga secara geopolitik), sehingga harus mendapat penanganan khusus. (Kalau Aceh dan Papua mungkin dipahami oleh Pusat sebagai daerah gawat, sehingga harus mendapat penanganan “khusuk”). Ketika seorang wartawan bertanya pendapatnya soal istilah “daerah rawan” ini, Soeman hanya menyahut: “Rawan itu, kalau pada tulang, biasanya lunak … enak untuk dikunyah-kunyah ….” (BPAP: 179)

Hm …, mengena juga nampaknya.

Soeman Hs juga pernah selama beberapa tahun (sejak 1970) mengasuh acara [pelajaran] Bahasa Indonesia di RRI Pekanbaru. Kalau di dalam buku BPAP disebut nama acaranya Seluk Beluk Bahasa Indonesia (h: 183), namun seingat Penulis yang tepat adalah Seluk-beluk dan Seni Bahasa Indonesia (sekalian dengan irama/intonasinya). Beriringan dengan Jus Badudu dengan acara Siaran Pembinaan Bahasa Indonesia di TVRI. Bukan itu saja, Soeman sekurang-kurangnya juga ikut merintis berdirinya beberapa lembaga pendidikan di Riau, seperti SMA, Universitas Riau, IAIN (sekarang UIN); dan tentu saja UIR serta sekolah-sekolah di bawah naungan YLPI (Yayasan Lembaga Pendidikan Islam).

Soeman Hs juga dalam masa-masa revolusi kemerdekaan pernah ikut perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan, meskipun mungkin bukan dalam pertempuran yang bersifat frontal dan major. Pernah menghadapi Jepang saat berkedudukan sebagai Sangi Kai utusan Pasir Pangarayan. Ketua KNI (Komite Nasional Indonesia) Pasir Pangarayan yang berhasil menyatukan masyarakat tetap yakin pada negara yang baru saja diproklamasikan. Jadi komandan KPG (Komando Pangkalan Gerilya) Rokan Kanan di masa Agresi II; dan seterusnya ….

Dengan segenap sumbangsih, perjuangan, dan pengorbanan beliau untuk negeri ini, jangan-jangan sudah layakkah bagi seorang Soeman Hs untuk diusulkan menjadi Pahlawan Nasional?

Kembali ke “Papan Reklame”, kebetulan sekali kedua saudagar itu yang satu adalah seorang lelaki dan yang lain perempuan. Mereka bersaing saling b(m)erebut pelanggan. Toko mereka berdua kebetulan letaknya saling berhadap-hadapan. Metode yang digunakan adalah mengganti plank/papan nama toko, atau masa itu disebut papan reklame itu. Dimulai yang satu menulis nama tokonya “TOKO MURAH”, tak lama kemudian dilawan dengan “TOKO MURAH SEKALI”. Para pelanggan tentu tergoda dengan nama-nama itu dan berharap akan mendapatkan sebagaimana yang “dijanjikan” di dalam nama itu. Rupa-rupanya para pelanggan itu pun mencoba bermain “politik” dagang. Mereka lalu menerapkan taktik mengadu ayam sabung pada kedua saudagar itu, dengan memanas-manasi satu sama lain, dengan harapan akan memperoleh harga yang lebih murah lagi. Hingga akhirnya si saudagar yang perempuan menulis reklame “JUAL MURAH”, dengan maksud melego habis seluruh barang dagangannya.

Tetapi, kisah papan nama toko itu mengingatkan Penulis pada humor berikut :

Seorang Yahudi baru saja pindah rumah. Di seberang rumah barunya ada kios seorang penjual ikan. Suatu hari, penjual ikan itu memasang papan bertuliskan ‘HARI INI DI SINI JUAL IKAN SEGAR’ di atas kiosnya. Tak berapa lama, Yahudi itu menghampirinya. “Buat apa engkau menulis kata ‘HARI INI’, bukankah kau tak menjualnya hari ini saja?” kata Yahudi itu.

“Benar juga,” kata penjual ikan itu, “tidak hari ini saja.”

“Anda juga tak perlu menuliskan ‘DI SINI’. Apakah engkau menjualnya juga di tempat lain?”

“Tidak,” jawabnya, “hm, benar juga.”

“Dan untuk apa tulisan ‘JUAL’? kau tidak memberikan ikan itu secara gratis, bukan?”

“Tentu saja tidak.”

“Nah, tulisan ‘SEGAR’ itu, apa itu? Sudah jelas kau tak menjual ikan busuk, bukan?”

“Tentu saja tidak,” jawabnya, “Ah, aku harus berterimakasih atas semua nasihatmu.”

“Tinggal satu lagi,” kata Yahudi itu, “engkau juga tak perlu menulis kata ‘IKAN’ – baunya sudah tercium sampai ke rumahku.”

(Humor Ala Yahudi : 49-50).

Kedua cerita, “Papan Reklame” dan humor ala Yahudi, ini agaknya tanpa sengaja memiliki kemiripan gagasan soal plank nama dan “politik” atau maksud tersembunyi yang terkandung di dalamnya. Kalau humor Yahudi itu “gong”-nya (atau punchline dalam stand-up comedy) rupanya ada pada kalimat terakhir: “…. baunya sudah tercium sampai ke rumahku.” Itulah maksud yang tersembunyi. Sedangkan dalam “Papan Reklame”, rupanya ada “perselingkuhan” yang tak terduga ….

Sila baca sendiri cerpennya kalau mau tahu penghabisannya.

Atau mungkin Anda bisa menjadi detektif terlebih dahulu.

***

Baca : Nasibmu Bahasa (1)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *