Semesta Sastra (2)

Nasibmu Bahasa. (3)

Semesta Sastra.

Tamim Ansari dalam The Invention of Yesterday menamakan salah satu babnya dengan judul “Sejarah Berawal dengan Bahasa”. Saya ingin mengatakan: “Sastra Berlayar dengan Bahasa”. Bahasa yang umum kita kenal sekarang adalah bahasa verbal. Bahasa lisan yang dibentuk melalui suara, yaitu “udara yang dihembuskan oleh paru-paru keluar melewati daerah glotal. Pita suara (vocal cord) pada keadaan ini bervibrasi menghasilkan berbagai jenis gelombang suara. Udara kemudian melewati lorong (faring). Dari faring, udara melewati dua lintasan, yaitu melalui hidung dan melalui rongga mulut.” (brainly.co.id). Kalau dalam ilmu fisika, bunyi atau suara biasa dijabarkan sebagai getaran yang merambat sebagai gelombang akustik, melalui media transmisi seperti gas, cairan, atau padat. “Bentuk-bentuk” tertentu dari bunyi-bunyian atau suara, baik yang dihasilkan melalui mulut maupun benda-benda fisika lainnya – itu kemudian disepakati memiliki arti atau maksud tertentu. Ketika suara itu berbunyi “aku”, maka yang dimaksudkannya dalam kesepakatan komunal adalah “sebagai kata ganti orang pertama yang berbicara atau yang menulis” (KBBI V, daring). Bahasa, atau simbol-simbol lainnya, pada akhirnya memang tergantung pada kesepakatan, dan bersifat arbitrer.

Tetapi bahasa yang dikenal manusia hingga sekarang sebenarnya bukan itu saja. Ada lagi yang disebut sebagai bahasa isyarat. Ada bahasa isyarat yang menggunakan [anggota] tubuh, ada pula yang menggunakan benda-benda sekitaran. Kalau ekspresi atau daya ungkap bahasa verbal mengandalkan transmisi melalui gelombang suara, bahasa isyarat melalui gelombang cahaya. Lebih tepatnya bersifat visual. Yang paling populer digunakan adalah bahasa isyarat tangan. Namun, bahasa isyarat tangan modern, yang sekarang ini lazim digunakan, pun sebenarnya sudah terinfiltrasi oleh bahasa verbal [kode-kodenya sudah merupakan peralihan media dari bentuk-bentuk huruf, angka, dan tanda-tanda baca lainnya; yang dialih-mediakan dari bahasa tulisan, yang diperoleh dari bahasa lisan]. Jauh sebelumnya, bahasa isyarat [bukan semata tangan] adalah murni merupakan proses transmisi sekumpulan pesan. Setiap kode atau simbol isyarat [yang sebelumnya sudah disepakati terlebih dahulu oleh komunitas itu tentunya] adalah umpamakan lontaran paket-paket foton, sebuah pesan bulat; bukan berupa huruf angka dan tanda baca. Barangkali persis seperti bahasa tulisan dalam kelompok ideogram atau piktogram. Demikian juga dengan bahasa isyarat yang menggunakan bahan-bahan sekitaran (asap, api, batu, kayu, dan lain-lain). Juga mungkin termasuk apa yang disebut sebagai bahasa tubuh (melalui gerak-gerak halus, mikro-ekspresi), yang lebih bersifat “mendalam”.

Belum cukup itu, ada pula yang digolongkan sebagai “bahasa matematika” – tetapi bukan yang berkaitan dengan lambang-lambang ilmu matematika ya. Dapat digolongkan di sini seperti bahasa [mesin] komputer (COBOL, BASIC, PASCAL, JAVA, dan lain-lain), atau bahasa [sistem bilangan] biner, yang menjadi awal dasar bahasa pengoperasian komputer [yang belakangan juga memiliki versi aksara latin].

Lalu, suatu masa nanti, mungkin akan muncul jenis bahasa yang bahkan tidak memerlukan semua alat transmisi yang bersifat fisikal seperti diuraikan tadi, apalagi pena dan kertas, atau smartphone. Ketika manusia bisa berkomunikasi melalui gelombang elektromagnetik frekuensi tertentu, atau yang biasa awam menyebutnya sebagai telepati. Juga mungkin bukan dalam bentuk kumpulan aksara yang menjadi kata yang menjadi kalimat, melainkan sekumpulan paket-paket foton yang memiliki makna lebih “holistik”. Jangan tertawa. Bahkan mungkin saja jenis bahasa ini sebenarnya sudah pernah ada pada suatu masa yang telah lama berlalu, lalu kemudian hilang, karena umat manusia lebih percaya dengan apa yang dapat dilihat dan didengarnya [yang sebetulnya itu sangat terbatas].

Tetapi, apa gunanya uraian sekalian bentuk bahasa itu dengan sastra? Seperti telah ditulis di awal, sastra berlayar dengan bahasa. Jadi sebenarnya masih ada banyak media, atau perahu sastra yang mungkin bisa digunakan. Ekspresi sastra selama ini hampir seluruhnya menggunakan bentuk bahasa verbal (+ tulisan beraksara itu). Siapa tahu ada yang berani mengeksplorasi dan mengeksploitasi wilayah-wilayah yang masih “liar” itu, asal tahan dengan satu hal: cemoohan. Karena pionir selalu dianggap sebagai orang yang bodoh oleh sekitaran.

Contoh yang tak terlalu jauh adalah puisi mantra. Pionirnya adalah Sutardji Calzoum Bachri (SCB) dan Ibrahim Sattah (IS). Saya sebut tak terlalu jauh karena puisi-puisi mantra memang masih menggunakan bahasa yang kita kenal sehari-hari, menggunakan aksara latin atau jawi untuk edisi tulisnya. Tetapi cobalah Anda baca puisi-puisi mantra di dalam buku atau majalah itu, banyak yang nyaris tidak ada artinya (dalam arti tidak dapat dipahami dengan segera/mudah apa yang dimaksud pengarang dengan puisinya itu apabila sekadar mem-baca-nya saja). Awal-awal kemunculannya dulu bahkan dianggap hanya sekadar main-main belaka (permainan aksara, spasi, tipografi, dan lain-lain). Mustahil untuk dipahami. Termasuk bagi seorang HB Jassin sekalipun (O Amuk Kapak, 2002: vii; untuk kasus SCB).

Bacalah puisi-puisi SCB semisal: “POT”, “O”, “TRAGEDI WINKA & SIHKHA”, “Q”, “SEPISAUPI”, “KUCING”; atau “SHANG HAI”: ping diatas pong | pong diatas ping | ping ping bilang pong | pong pong bilang ping | mau pong? bilang ping | mau mau bilang pong | mau ping? bilang pong | mau mau bilang ping | … Atau puisi-puisi IS semisal: “TAFAKUR”, “KAKI”, “DUKA”; atau “MAUT”: dia diamdiam diamdiam dia dia diamdiam | diamdiam dia | diamdiam dia dia diamdiam diamdiam dia | dia diamdiam diamdiam dia | dia diamdiam | diamdiam | maut. Kesan apa yang didapat bila sekadar mem-baca saja? Paling hanya mendapat kesan/efek alegori, simbolik, pleonasme, pengulangan (repetisi), estetika spasial, dekonstruksi gramatikal, dan seterusnya. Seperti kata SCB dalam kredonya: “Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian …. kata adalah pengertian itu sendiri.” Dan: “Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya.”

Sebagaimana “semua” mantra, ia harus diucapkan, harus dilantunkan, harus ditembangkan, mungkin juga dinyanyikan, melalui getar bunyi/suara. Dari resonansi atau efek bunyi/suara inilah puisi-puisi itu “berbicara”, mengeluarkan resanya, menampakkan rohnya, roh bahasa, [dalam hal ini] roh bahasa Melayu. Mungkin inilah yang dimaksud SCB dengan “…, bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal.” Atau menurut IS: “Puisi-puisi saya bertolak dari peristiwa alam, tidak dari peristiwa kebudayaan.”(Husnu Abadi, 15 Desember 1980). Itulah sebabnya kenapa puisi-puisi ini terasa begitu jauh “beda-rasa-resa-resamnya” antara yang versi tulisan dengan saat dilisankan, terutama oleh pengarangnya masing-masing yang memang memiliki vokal yang unik dan luar biasa itu. Inilah [mungkin salah satu, atau satu-satunya?] yang membedakan antara puisi-puisi mantra dengan puisi lainnya. Semua puisi pada hakikatnya memang harus dilisankan, tetapi berbeda dengan puisi-puisi “lainnya”, puisi mantra baru mau “membuka dirinya” saat ia dilisankan.

(bersambung)

Baca: Semesta Sastra (1)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *