Tahu?

Muslim Paripurna

TAHU di sini bukan tahu dan tempe yang kini sulit diproduksi karena melambungnya harga kedelai di negara ini. Bukan. Sungguh bukan itu. Tapi tahu (pengetahuan) yang mestinya dimiliki semua manusia dalam rangka menutupi ketidaktahuannya.

Kewajiban menuntut dan menimba ilmu pengetahuan itu sejak lahir hingga hayat berakhir. Wajib bagi semua orang, tidak lelaki, tidak perempuan, tidak anak kecil, tidak pula orangtua, tidak kulit putih, tidak pula kulit hitam maupun sawo matang. Semua punya kewajiban untuk menambah ilmu dan wawasan.

Di zaman serba sulit sekarang, terasa nian pengetahuan amat berguna untuk menemukan solusi dari berbagai persoalan yang kian lama semakin menggelisahkan. Untuk itulah banyak sekali ayat Alquran dan hadits Nabi Muhammad Saw memotivasi manusia agar memiliki dan menguasai pengetahuan. Di samping untuk memudahkan kehidupan atau mencapai hidup sejahtera di dunia, ilmu pengetahuan, terutama dituntut dan dipelajari agar diri yang kecil tahu Diri Yang Besar (Ilahi). Dengan tahu itu, maka semakin kenal dia pada Yang Kuasa, Sang Pemilik ilmu sejati (Al-‘Alim).

Oleh karena kecendrungan manusia selalu lupa diri, sehingga berbuat rendah seperti angkuh, congkak, sombong atau jumawa karena kekuasaan dan kecanggihan pengetahuannya, maka pengetahuan yang bersumber dari Al ‘Alim itu diharapkan membuat ia takut kepada Tuhan yang Al-’Alim tersebut. Digariskan dalam Alquran bahwa hanya ulama (ilmuan) yang takut kepada Rab-nya. Innama yakhsya Allahu min ‘ibadihi al-‘ulama. (Q.S. Fathir: 28).

Semakin banyak tahunya manusia, maka akan semakin banyak pula tak tahunya pada keluasan ilmu Tuhannya. Semakin luas pengtahuannya, semakin ia merasa kecil dan tak berarti di hadapan Rabnya. Di ujung tahunya, ia menjadi tidak tahu. Di puncak ketidaktahuannya, di situ ia tahu bahwa Tuhannya pasti tahu. Maka semakin bukan apa-apa dia. Semakin takut dan kagum ia pada Tuhannya.

Wabah covid 19 yang belum reda membuat ilmuan beriman, terutama dalam dunia kedokteran, merasa kecil dan bukan siapa-siapa. Kematian akibat wabah tak dapat dicegah dengan ilmu dan teknologi kedokteran. Vaksinasi yang dicanangkan baru setakat usaha preventif yang barangkali belum dapat menyelesaikan segala persoalan. Akhirnya, siapa yang mampu menyelesaikan? Siapa yang benar-benar dapat menyelamatkan? Wah, di keluasan kekuasaan ilmu Ilahi, beta siapa cuma?

Surat Al-‘Alaq 1- 5 yang dipercaya sebagai Ayat-ayat yang pertama diturunkan dalam Alquran sesungguhnya memotivasi umat manusia agar senatiasa membaca, mengamati, meneliti dan memahami realitas Tuhan dan alam semesta. Sebagai makhluk termulia dan tersempurna (ahsan takwim), manusia dipercaya menjadi khalifah fi al-ardh. Agar ia sukses menjalankan amanah sebagai pemimpin semesta maka ia mesti memiliki pengetahuan tentang semesta.

Atas motivasi wahyu dan panggilan jiwa itulah para ilmuan muslim dalam sejarah dunia menjadi inspirator dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebut saja misalnya Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Al-Khawarizmi, Ibnu Arabi (sekadar menyebut beberapa nama). Mereka menyadari bahwa kedudukan penimba ilmu atau ilmuan begitu tinggi, ia dapat dipandang sebagai mujahid atau jendral di gelanggang perang suci, juga bisa dipandang sebagai pewaris tahta kenabian. Sungguh tinggi dan mulia rupanya menjadi ulama atau ilmuan tersebut.

Ilmu itu muncul dari kekuasaan Ilahi dan akan dianugerahkan kepada hamba-hamba-Nya yang pantas menerima nur-Nya. Hamba yang pantas itu merupakan makhluk yang berusaha meninggalkan hal-hal yang kotor, baik prilaku secara fisik maupun metafisik. Ann al-‘ ilma nurun wa nur Allah la yuhda li ‘ash. Demikian ungkap Imam As-Syafii yang termaktub dalam kitab I’anatu al-Tholibin.

Para ilmuan memperoleh pengetahuan melalui usaha kerasnya, baik menggunakan akal atau rasionya maupun dengan panca indranya. Ilmu yang dipelajari tidak hanya dalam bentuk fisik yang bisa dicerap indra akan tetapi juga metafisik yang tak mampu dicerna rasio atau akal.

Ketika ada sesuatu yang tak dapat dirasa, diraba, dicecap, dicium, dilihat, didengar, diamati dan diteliti serta dipikir oleh akal dan panca indra, maka di sinilah wahyu mengambil peran utama. Untuk itu, kepercayaan kepada Kitab menjadi rukun iman.

Hari ini, dunia Islam dalam keprihatinan, di belahan dunia mana pun, mereka seperti dilindas zaman, dipinggirkan kekuasaan, dan termarginalkan dari kegemilangan peradaban, sebagai akibat karena pengetahuan dan teknologi diabaikan dan tidak dikuasai, selain itu, iman kepada Tuhan pun tak sepenuhnya dijalankan dalam bentuk amal perbuatan.

Iman dan ilmu menjadi dua sisi mata uang dalam kehidupan agar memperoleh kejayaan dan kesejahteraan. Setidaknya inilah yang digambar Alquran dalam surat Al-Mujadalah ayat 11… Yarfa’illahu al-lazina amanu minkum wa al-lazina utu al-‘ilma darojat…

Iman tanpa ilmu bagaikan lentera di tangan bayi, namun ilmu tanpa iman bagaikan lentera di tangan pencuri. (Buya Hamka)

Iman dan ilmu menjadi lengkap dan sempurna ketika ia dibuktikan dengan amal. Iman bertaut dengan kasih. Ilmu berkelindan dengan perbuatan nyata. Iman, ilmu dan amal tak dapat dipisahkan jika ingin menjadi insan kamil. Ya, jika ingin menjadi manusia yang tahu kesejatian, amal saleh atau laku nyata yang bajik dan baik menjadi buah dari pohon iman dan ilmu harus dihasilkan. Buah dari iman dan ilmu harus menjadi kado manis bagi alam semesta. Al-‘ilmu bila ‘amalin ka al-syajarati bila tsamarin. Ilmu tanpa amal seperti pohon tak berbuah.

Untuk apa meramu samak/ kalau tidak dengan pangkalnya/ untuk apa berilmu banyak/ kalau tidak dengan amalnya. (Tenas Effendy)

Wallahu a’lam. ***

Baca : Semesta 2021

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *