Penjara Hamzah Fansuri

rumah singgah

Dari bersahabat dengan yang bodoh
Baik bermusuhan dengan yang pandai

Karena berlawan dengan yang bodoh
Seperti alu pencungkil duri

Perkataan orang yang pandai
Seperti santan dengan tengguli

: Hamzah Fansuri

(Meuraxa, 1974)

ACEH tengah gilang-gemilang di ujung utara Sumatera dengan sultannya yang gagah perkasa, Iskandar Muda. Barus di sudut Selatannya, juga tengah mekar-mekarnya. Ada tokoh besar muncul di sana. Amat harum namanya : Hamzah Fansuri; seorang ulama, juga seorang pujangga.

Tentang negerinya dia gambarkan sendiri :

Hamzah Fansuri di negeri Melayu
Tempatnya kapur di dalam kayu

Wangi nama Hamzah Fansuri dari dalam batang kayu dibawa angin jauh terbang tinggi. Menebar ~ semerbak ~ dibawa angin ke sana kemari. Dari rantau nusa raya sampai jazirah Arabia. Sang pujangga ulama pun sudah mengelana dan hinggap di sini-sana. Di banyak rantau nusa raya, juga di Arabia sana. Terlebih Pulau Perca, Tanah Jawa, Siam, Semenanjung Malaya. Nyaris sudah dilapahpijaknya semua.

Kenapa tak ikut berhimpun di istana raja?

Telinga Sang Nenek dari Iskandar Muda di Kutaraja juga menangkap bunyi gaung besarnya dan ketinggian ilmu Sang Pujangga Ulama. Beliau pun sangat berminat berjumpa dengan Sang Pujangga Ulama. Sudah berguru dengan Syekh Al Raniri dan banyak ulama masyhur lainnya, beliau juga ingin mereguk, lezatnya ketinggian ilmu agama sosok yang amat dipuja-puja.

Maka diundanglah Hamzah Fansuri merapat ke istana di Kutaraja.

1596 ~ pengujung abad 16.

Bersama 20 orang dekatnya, Hamzah Fansuri berlayar meninggalkan Barus. Di Kutaraja jabatan untuk dipangku sudah menunggu. Sebagai ulama penasehat lingkungan pembesar istana. Berhimpun bersama para ulama besar lainnya.

Beraktivitas di lingkaran raja, ada juga peluang iblis untuk menggoda. Tidak terkecuali pula pada ulama. Besar ulama besar pula setan yang ingin merasuk menodainya. Tahu saja ada relung kosong untuk diusilnya. Hamzah Fansuri lalu difitnah dengan kasarnya.

Gegara berdebat dengan ulama lainnya, Hamzah Fansuri terlepas sebuah pendapatnya yang sangat kontroversial. Ucapannya ini langsung menyebar. Lingkungan istana menjadi gempar. Sultan sangat kesal. Kitab-kitabnya dibakar. Hamzah Fansuri ditangkap. Lalu dimasukkan ke bui.

Badan boleh kurung karya tetap melambung.

Walaupun Hamzah Fansuri dipenjara karyanya sudah terlanjur menyebar ke sana kemari. Dibaca orang, disenandungkan orang di sana-sini. Di rumah-rumah sampai di kedai kopi.

Wahai nasib dagang yang hina
Ketahuilah hidup dalam dunia
Sebagai jati tiada berbunga
Bagi burung tiada berguna

Wahai sekalian kita yang kurang
Nafsumu itu lawan berperang
Jauhkan tamak baiklah kurang
Jaga dirimu jatuh ke jurang

Amat-amatilah membuang diri
Menjadi dagang segenap negeri
Baik-baiklah engkau pikiri
Supaya selamat sehari-hari

(Fansuri, Meuraxa, 1974)

Tidak semua pembesar kerajaan ikut menohok Hamzah Fansuri. Dia malah dibela oleh Sang Perdana Menteri. Syamduddin, seorang yang bijak bestari. Mendekati sultan agar tidak mudah terbakar api provokasi.

Namun, bagaimanapun: Hamzah Fansuri sempat senasib dengan beberapa ulama bahari. Dimasukkan ke dalam jeruji besi.

Senasib dengan Imam Malik;

Dipenjara masuk jeruji besi. Dihukum Pemimpin Kota Madinah 147 Hijriyah/764 Masehi. Gegara menolak perintah sangat mendiskriminasi.

Senasib dengan Imam Ahmad bin Hanbal.

Beliau diminta mengakui yang menurutnya tidak masuk akal. Mengakui Quran sebagai makhluk itu sangat merusak amal.

Kalaulah Iskandar Muda memang zalim;

Maka, bisa saja Hamzah Fansuri serupa nasib Ibnu Taimiyah. Dari Kairo diasingkan ke Alexandria. Dilarang menulis dilarang membaca. Sampai jatuh sakit akhirnya meninggal dunia di penjara.

Kalaulah Iskandar Muda memang zalim;

Maka, binasalah Hamzah Fansuri. Serupa nasib dengan Imam Abu Hanifah. Meninggal di penjara setelah diracuni.

Namun Iskandar Muda sultan yang arif
Sebagaimana Sultan Harun Al Rasyid
Tahu letak di mana salah dan selip
Piawai mengurai soal yang sulit

Sultan Harun Al Rasyid sempat juga diprovokasi. Imam Syafii dituding pendukung Syiah dan ingin merongrong kekuasaan sultan serta mengacaukan negeri. Sang Imam ditangkap. Tangan dan kakinya diikat. Dirantai. Diarak di jalanan. Ke sana kemari.

Khalifah Harun Al-Rasyid sosok bijaksana lagi cerdas. Tuduhan kepada Sang Imam disiasat dengan saksama dan cergas. Ketika fitnah itu tidak terbukti Imam Syafii pun dibebaskan dengan lekas.

Sultan Iskandar Muda raja yang merdeka.

Tidak dalam tekanan siapa pun. Tidak dalam kendali siapa pun. Tidak bergantung pada siapa pun. Kecuali pada Yang Mahatinggi. Dalam desakan Al Raniri dengan ajakan Syamsuddin yang berani, beliau bebas memilih mana yang terbaik untuk rakyat dan negeri sesuai tuntunan syar’i. Lalu Sang Imam dilepaskannyalah dari jeruji besi.

Hamzah Fansuri pun dibebaskan pergi.

Banyak insan terlalu bebal
Sangkanya dunia abadi dan kekal
Enak matanya tidur di bantal
Segala salahnya dia tak soal

(Fansuri; Meuraxa, 1974)

Jauh santan dengan tengguli.

Alu bukan pencungkil duri

Dalam kondisi kelam-kabut hari ini, siapakah pengurai benang kusut sejeli Syamsuddin; Sang Perdana Menteri Aceh nan bijak bestari?

Ditunggu di luar mimpi.***

Antahentahlah, 2021

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *