Jalan Tikus Bang Toyib

rumah singgah

Sudah dua kali
Bang Tayib tak pulang
Dua kali Ramadan
dua kali pula lebaran

Bukan soal Covid saja
mudik jadi terhalang
THR pun lambat
dikeluarkan perusahaan

BANG Toyib sebetulnya sudah hendak pulang sepekan sejak masuk Ramadan. Berangkat bersama istri dan anaknya balik ke kampung halaman, sesaat setelah pemerintah daerah batalkan larangan mudik lebaran. Segera berkumpul dengan orang tua, sanak saudara dan berjumpa handai tolan. Rela dia tidak ambil gaji duluan. THR yang akan dikeluarkan perusahaan dia tinggalkan. Asal izin pulang diberikan.

Tetapi niat itu dia urungkan. Istri dan anak disuruh berangkat duluan. Dia pulang belakangan. Tersebab dia percaya, larangan yang sudah dicabut tidak mungkin diberlakukan lagi. Lebih dari itu, dia ingin memanfaatkan waktu, menunggu tanggal gajian; bersama THR yang akan dikeluarkan. Tiap hari yang dia ingat hanya soal THR dan gajian. Soal perkembangan Covid tidak lagi dia hiraukan. Tiba waktunya, hatinya pun bertepuk senang.

Bukan kepalang girangnya rasa hati
Bisa pulang bawa THR tambah duit gaji
Segera berjumpa keluarga yang menanti
Rayakan kegembiraan di lebaran Idul Fitrihu

Meluncurlah Bang Toyib naik travel Indahgiri
Berangkat malam akan tiba menjelang pagi
Eh, sampai di batas kota tetiba ditahan polisi
Rupanya mudik lebaran sudah dilarang lagi

Bang Toyib pun tersentak, bingung sendiri
Kendaraan disuruh balik kanan belok kiri
Tak boleh balik kampung merayakan Idul Fitri
Jalan-jalan tikus pun sudah dihadang polisi

Supir turun dari mobil, coba menegosiasi. Minta diizinkan melintas sekali saja kini.

Polisi cuma perintahkan: “Silakan balik arah lagi.”

Turun pula seorang mahasiswi. Minta dispensasi: di rumah kost dia takut cuma tinggal sendiri.

Polisi cakap: “Kenapa tidak pulang jauh-jauh hari?”

Turun yang ketiga lelaki setengah baya, seorang pegawai negeri. Dia mengatakan, istrinya akan melahirkan lagi dalam bilangan menunggu hari. “Kasihan dia tinggal sendiri. Cuma anak-anak kecil yang menemani.”

Kata polisi, “Kan di kampung ada bidan yang akan menangani?“

Turun yang keempat seorang nenek, petani yang juga berdagang kecil-kecilan, yang ke mana-mana selalu bawa keranjang.

“Pak. Awak tidak banyak cakap, Pak. Sekali ini saja awak bercakap, Pak. Di rumah awak belum ada persiapan untuk lebaran, Pak. Di rumah cumah ada suami awak, Pak. Atuk-atuk. Sudah tua, Pak. Dia tidak bisa berbuat apa-apa, Pak. Tolonglah lepaskan perjalanan kami ini sekali ini saja, Pak.”

Pak polisi tersenyum geli. “Maafkan kami, Nek. Kami Cuma menjalankan tugas. Ini demi keselamatan kita semua, Nek. Marilah kita sama-sama berdoa. Semoga atuk di rumah sihat. Nenek balik lagi, juga sihat. Semoga kita selamat semua. Lekas bebas dari wabah corona.”

Tak mempan.

Terakhir, Bang Toyib yang turun. Coba juga ingin bernegosiasi. Menguji ketangkasannya berdiplomasi. Sebab konon – menurut cerita teman-temannya – kalau pandai bercakap polisi juga akan mengasihani.

“Pak. Kasihanilah kami semua ini. Baju lebaran untuk anak dan istri saya yang bawakan pulang sekarang ini.”

“Apakah kalau Bapak tidak diizinkan mudik istri dan anak Bapak tidak jadi beridul Fitri?”

Juga tak mempan.

Beberepa penumpang menggerutu.

“Mau putar arah atau dikarantina di rumah berhantu?” sergah polisi.

Serentak, semua penumpang termangu.

“Rumah berhantu?”

“Mana ada hantu bulan puasa. Semua setan iblis dirantai selama Ramadan.”

“Ramadan kan habis sebentar lagi.”

“Kitalah yang dihantui oleh diri sendiri. Pontang-panting takut pada diri sendiri…”

Hilang akal Bang Toyib.

Tidak ada yang salah pada polisi. Mereka menjalankan tugas yang diamanati. Tidak ada juga penumpang travel yang salah pada dirinya sendiri. Mereka cuma ingin berkumpul dengan keluarga di Idul Fitri. Yang salah itu Covid-19, kenapa tambah menjadi-jadi lagi? Lebih-lebih di daerah ini, provinsi ini, negeri ini, “prestasi”-nya termasuk yang paling tinggi.

Oh, senjata BioLogis! Milik siapakah ini?

“Tidak ada ada jalan tikus, Pak Supir?”

“Ada.”

“Tidak bisa kita lewat jalan tikus?”

“Bisa.”

“Bagaimana kalau kita lewat di sana?”

“Kita harus jadi tikus dulu. Tapi di muka jalan tikus di seberang sana sudah ada kucing besar menunggu, yang sudah siap untuk meringkus.”

“Oou…”

Sekitar 500 meter meninggalkan para polisi, supir menghentikan mobilnya di depan sebuah jalan kecil. Di situ ada beberapa sebuah sepeda motor, seperti sedang menunggu tumpangan.

“Ini sebuah jalan tikus itu,” kata supir tetiba. “Naik ojek menyeberangi titian – jembatan setapak. Di seberang titian sudah ada travel omprengan yang menunggu. Ada yang berminat melanjutkan perjalanan lewat titian jalan tikus ini?”

“Saya berminat. Lanjut!” seru Bang Toyib, semangat.

“Saya juga.”

“Saya ikut.”

Masing-masing sangat semangat. Bang Toyib turun dari mobil sambil menjinjing tasnya. Sang mahasiswi menyandang raselnya. Si pegawai negeri memikul kopornya. Si nenek menjunjung keranjang bakul sayurnya. Masing-masing naik satu sepeda motor yang sudah siap membawa tumpangan.

Bang Toyib dan sang mahasiswi tangkas. Seketika naik sepeda motor langsung tancap gas. Dalam kegelapan; sekejab mata sudah menghilang dalam sekilas. Si pegawai negeri macam akan patah pinggang. Naik sepeda motor kopornya dia pikul setengah dijulang. Si nenek pula, baru saja akan naik sepeda motor sudah mengelitik, tergelinjang-gelinjang. Menengok jalan licin, becek dan berlubang-lubang dia sudah mati ketakutan, khawatir jatuh terjengkang.

“Hei! Hei! Tunggu..! Sama-sama..!” si nenek berteriak.

“Kawan-kawan kita yang dua sudah lenyap,” sahut si pegawai negeri, tersedak-sedak.

Bang Toyib dan sang mahasiswi sudah dekat sampai di seberang. Ketika beberapa meter saja lagi dari tempat yang dituju tiba-tiba tampak seorang polisi sudah berdiri menghadang.

“Hei! Mau ke mana? Tidak ada lagi mobil omprengan menunggu di sini. Putar balik saja lagi!” sergah polisi.

“Kacau!” pikir Bang Toyib. “Mau langsung berbalik sepeda motor ini bukan bisa langsung berputar arah di titian lebar setapak ini.”

“Apa mau dikarantina di rumah hantu atau berputar arah?”

“Hmh! Ya, Pak. Ya, Pak. Kami berputar arah saja. Mohon izin berputar di tanah agak lapang.”

Ketika sudah sampai di pangkal titian dekat mobil berhenti, sepeda motor Bang Toyib dan mahasiswi terhalang pula oleh sepeda motor si pegawai negeri setengah baya yang tengah kepayahan memikul kopornya.

“Mundur! Mundur..! Ada polisi di sana..! Tidak ada lagi mobil omprengan di sana..!” teriak Bang Toyib.

Sang pegawai negeri menggerutu. “Macam mana bisa mundur ini..? Kepala bahuku ini saja macam mau lepas rasanya…”

Sementara di ujung titian, si nenek tampak sudah terduduk, terjerembab jatuh, di tanah becek. Dia mengiba-iba. Mengulur-ulurkan tangannya. Minta tolong dibantu.

Kacau. Pikiran Bang Toyib sangat kacau. Pikiran penumpang lain pun begitu. Kacau. Sangat kacau-balau. Balik ke rumah lagi. Ini memang betul-betul perbuatan sangat meracau.

Supir pun tidak dapat akal lagi untuk menolong para penumpangnya yang nekat-nekat ini. Lalu dia berujar begini:

Kalau berjalan sudah sampai setengah jalan
Kalau berlayar sudah dua tiga pulau terlampau
Kalau terbang sudah tinggi melewati awan
Kalau begitu, balik saja: tidur dan mengigau …

Ooooh ….

Tidak ada jalan alternatif yang lain lagi
Jalan tikus semua sudah dijaga polisi

Kalau pun ada jalan alternatif perlu dicari
Carilah vaksin yang ampuh basmi Covid ini

Bang Toyib tiba di rumahnya kembali menjelang Imsyak.Tiada ada nasi dan lauk-pauk di rumah yang dapat dimakan. Semua sisa makananan petang semalam sebelum berangkat sudah dia berikan semua pada kucing di halaman. Kalau ada pun makanan dia juga tidak akan berselera untuk memakannya. Akhirnya cuma minum seteguk air dari botol aqua, tanda besok puasa bisa dilanjutkan.

Belum sempat sholat Subuh tetiba pula ada pengumuman dari masjid. Kabar duka :

Innalillahi wainna ilaihirojiun
Telah berpulang ke rahmatullah

Disebutkan namanya: Fulan bin Fulan. Umur cukup tahun. Yang buat Bang Toyib agak terkejut. Alamatnya pas di belakang rumahnya . Tapi dia agak heran juga, mengapa rumah di belakang rumahnya ini sepi-sepi saja? Seperti tidak ada orang dan tidak terjadi apa-apa?”

Bang Toyib sholat Subuh di sudut rumah. Di balik kursi. Menenangkan pikiran menyejukkan hati. Terbayang-bayang wajah anak dan istri. Sanak saudara dan handai tolan yang menanti. Kampung halaman yang tidak bisa dijelang di suasana Idul Fitri. Kampung yang rancak ramah dan asri. Yang tidak dihebohkan riuhnya Covid yang mengancam maut mati. Menangislah di dalam hati. Akhirnya dia lelah juga. Telentuk. Tertidur menjelang terbit matahari.

Bangun agak ketinggian hari. Ketika Bang Toyib buka pintu rumahnya, Bu RT – tetangganya yang rumahnya sebelah kiri, yang menjengukkan kepalanya dari balik daun pintu yang setengah terbuka, terkejut setengah mati.

“Eh, petang malam sudah berangkat? Tidak jadi sampai ke kampung, Toyib?”

“Ditahan polisi,” sahut Bang Toyib, lemas.

“Sudah dapat informasi?” Bu RT bertanya tetiba soal lain lagi. “Pak Fulan, tetangga kita itu yang diumumkan dari masjid pagi tadi meninggal karena Covid. Sudah langsung dikuburkan.”

“Ooh,” Bang Toyib tambah lemas.

“Ini,” Bu RT berbicara agak mendesah pelan – macam berbisik, sambil menunjuk dengan ujung mulutnya. “Ini. Orang sebelah rumah ini, sudah positif juga kena Covid. Mereka isolasi di rumah sendiri..”

Bang Toyib terperanjat. Macam setengah pingsan juga melihat pintu rumah tetangganya yang kena Covid yang bersebelahan. “Patutlah sunyi senyap. Tidak ada lagi anak-anak bermain di luar rumah. Rupanya disimpan ibu ayah mereka di dalam rumah,” pikirnya.

“Untunglah anak-anakku sudah di kampung halaman.”

Dengan perasaan ngeri, Bang Toyib melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan hati-hati. Pintu dia katup rapat-rapat. Lalu dia pulas anak kuncinya kuat-kuat. “Ke mana aku akan lari?” tanyanya pada diri sendiri. “Virus Corona tetangga di sebelah rumah ini bisa saja terbang kemari. Lewat lubang ventilasi.”

Bang Toyib segera menelepon istrinya di kampung. Berkali-kali dia menelepon tetap tidak ada yang menyambut, mengangkat telepon menyahuti suaranya. “Mungkin mereka tengah sibuk membuat kue,” pikirnya.

Lagi pula di seberang sana bunyi radio terlalu keras suaranya. Mendendang lagu Selamat Hari Raya. Lagu-lagu hiburan orang pesisir Timur Sumatera, yang menangkap siaran dari radio Malaysia dan radio Singapura, yang saban tahun senantiasa berkumandang, menyemarakkan suasana hari raya.

Lagu Ahmad Jaes, suaranya merdu. Lagu yang membuat Bang Toyib jadi tertangis, sangat pilu. Tangis mati ketakutan pada Covid yang tak menentu, disengat pula rindu menyala, yang menggebu-gebu. Menjelang hari raya; yang harinya tinggal tak sampai setengah minggu.

Selamat hari raya
Aidil fitri mulia
Ampun maaf dipinta
Mencuci hening dosa

Setahun menghilang
Sekarang mendatang
Hari yang bahagia
Selamat hari raya

Pekanbaru, 2021

Baca : Penjara Hamzah Fansuri

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *