‘Id al-Fitri

Ramadhan dan Kedamaian

DI bulan yang suci (Ramadhan), umat beriman melakukan serangkaian kegiatan ritual dalam rangka menyucikan diri agar di ujung bulan suci ia pun kembali menjadi suci (fitri), kemudian ia memelihara hal yang suci itu di sepanjang hayatnya.

Rangkaian ritual itu dapat dilakukan melalui tahapan puasa di siang hari, dengan melakukan hal yang suci, yaitu menahan masuknya pangan walaupun ia halal. Juga menjaga syahwat seksual walaupun tidak haram lagi karena sudah dihalalkan melalui pernikahan. Jangankan mengosumsi sesuatu yang haram, yang halal pun tidak dibolehkan pada bulan suci. Lidah dibersihkan, jangan sampai mengecap dan mengucap sesuatu yang haram. Demikian juga mata dan telinga, jangan sampai melihat dan mendengar sesuatu yang tidak diridhai Tuhan. Hati pun demikian, ia tidak boleh menjadi wadah iri, dendam, amarah, riya, sum’ah dan sifat mazmumah (tercela) lainnya. Harta juga disucikan melalui tahapan zakat agar ia tidak menjadi benalu bahkan menjadi racun bagi diri jika dibiarkan menumpuk, dan tidak diditribusikan kepada yang berhak menerimanya. Bahkan yang terakhir, diripun mesti disucikan melalui zakat fitrah agar diri benar-benar fitri.

Semua rangkaian ibadah tersebut dalam rangka menjaga kesucian Ramadhan, dan dalam upaya kembali menjadi manusia yang suci karena semua insan di lahir di bumi, pada awalnya adalah suci. Berbagai bala, ujian, musibah dan bencana membuat kesucian itu menjadi ternoda. Karena sayangnya Ilahi kepada manusia yang masih ada iman di sanubarinya, maka dibuatlah satu bulan di antara sebelas bulan dalam setahun untuk menjadi masa yang tepat bagi pelatihan diri (riyadhah) agar kembali menjadi dan menjaga kesucian diri.

Manusia terdiri dari dua unsur mutlak, yaitu jasmani dan ruhani. Jasmani berasal dari tanah (bumi) dan suatu ketika akan kembali ke tanah. Ia akan terkubur tak berdaya. Hancur, lapuk dan binasa. Yang ruhani datangnya dari Tuhan. Ia akan abadi. Ruhani inilah yang suci, yang akan kembali kepada Zat Yang Maha Suci. Setiap manusia dalam perjalanan panjang hidupnya semakin lama semakin merindukan alam ruhaninya karena ia akan kembali ke alam ruh (kampung asalnya). Agar hidupnya tenang, damai dan sejahtera di alam ruhani itu, maka upaya menyucikan diri itu amat diperlukan. Bulan sucilah masa yang disediakan untuk menyucikan diri agar pulang ke alam abadi nanti dalam keadaan suci. Karena orang yang berhak hidup di alam yang penuh kedamaian, ketenangan, dan kesyahduan itu hanyalah orang suci. Yang orang yang memiliki hati (qalbin salim).

Orang yang telah melakukan sejumlah ritual suci, seperti membaca kitab suci, berdiam lama di rumah suci (masjid, surau dan mushalla), beragaul dengan orang-orang suci, serta menyucikan diri secara zahir dan batin maka ia pun berhak mendapatkan kesucian. Orang seperti itulah yang berhak merayakan kesucian (idul fitri).

Orang yang merayakan idul fitri adalah para muttaqin (orang-orang bertakwa). Orang bertaqwa secara sederhana adalah orang yang khasyin (penakut). Yaitu takut kepada azab Allah Swt dan harap kepada ampunan-Nya. Karena ketakutan itulah maka ia melakukan semua yang disuruh Allah Swt dan rasulullah Saw. Orang yang selalu memelihara takut kepada Allah Swt inilah yang pantas menyandang manusia fitri.

Bahasa Arab mengenal kata takut dalam dua mufradat. Pertama khasya, dan kedua khauf. Kata khasya bermakna takut hakiki, yaitu takut semata hanya kepada Ilahi, Sang Khalik. Sementara ,, ia dapat bermakna takut kepada makhluk. Manusia yang fitri, secara hakiki hanya takut kepada Allah swt. Akibat takut (khasya) itu ia melakukan ketaatan (sami’na wa atha’na) hanya kepada semua ketentuan Allah Swt semata. Manusia yang fitri tersebut tidak pernah merasa takut, gentar dan khawatir akan perbuatan makar dan upaya teror dalam berbagai bentuk dari segala makhluk. La khaufun ‘alaihim wala hum yahzanun: mereka tidak punya rasa takut dan tidak pula merasa bersedih.

Manusia yang fitri selalu menjaga fitrahnya sebagaimana diajarkan oleh ritual Ramadhan. Walaupun Ramadhan telah usai, namun hasil didikan Ramadhan tetap ia jalankan. Ia amalkan pada sebelas bulan mendatang. Ia baca kitab suci, ia pahami, dan ia amalkan. Bila ketika masanya sampai, saatnya ajalnya tiba, ia pun tetap dipandang suci.

Ia selalu mencintai rumah suci untuk melakukan sejumlah ritual suci, seperti shalat berjamaah, tazakkur dan tafakkur. Ia pelihara lidah, perut, pikiran, mata, telinga, tangan, kaki, perasaan dan hatinya agar tidak dikotori desakan dorongan yang mengotorinya. Ia sibuk mempersiapkan diri untuk menjadi lebih baik di masa depan. Ia tak sempat dan tak tergoda melihat kekurangan dan kekotoran orang lain. Yang disadarinya hanya noda, noktah hitam yang penah ia lakukan di masa lalu. Ia beristighfar, meminta ampun segala dosanya kepada Tuhan. Ia meminta maaf kepada manusia yang mungkin pernah ia aniaya atau ia ambil haknya. Ia tak mau lagi mengulangi kesalahan serupa yang dulu pernah ia perbuat. Kemudian ia isi hari-harinya dengan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya dan alam lingkungannya. Ia terus berlari menuju Tuhannya. Fa aina tazhabun?

Ia ajak dan bawa karib, kerabat, sanak keluarga, tetangga, dan manusia lain dalam kapal la ilaha illallah menuju pantai mardhatillah. Ia terus berlayar dengan perahu cinta. Ia arungi lautan dengan pengayuh rindu di tengah ombak yang menerjang, yang bergelora seolah tak sudah-sudah. Walau sekuat apapun badai melanda, pelayarannya tetap bertahan. Dengan haq al-yaqin (keyakinan yang sebenarnya) ia melayari lautan berombak dan bergelombang ganas, yang di dalamnya batu karang selalu mengancam. Dengan kata bismillah ia melangkah, dengan ilahi anta maqshudi ia berkayuh, dengan keyakinan bahwa ridha ilahi akan  diraih, ia bergerak dan membentangkan layar. Maka berlayarlah ia dengan kata wa ridhaka mathulubi menuju ridha ilahi.

Ia selalu minta dan berharap anugerah agar cinta dan kearifan Ilahi selalu membentenginya dalam perjalanan yang entah pagi, siang, petang atau malam. Yang entah ketika lautan tenang, atau mungkin ombak sedang memecah pantai. Entah ketika langit dihiasi bintang-gemintang dan bulan temaram, atau mungkin hitam kelam mengepung di mana-mana. Entah ketika burung-burung nyaman melayang di kaki langit atau kala ikan-ikan terdampar mabuk tak tak berdaya di tepi pantai karena musim lagi buruk. Ia tetap mengarung. Tetap berlayar menuju keridhaan Tuhannya.
 
Ya Allah: Ihdina al-shirat al-mustaqim, shirat al-lazina an’amta ‘alaihim ghair al-maghdhubi ‘alaihim wala al-dhallin. Amin***

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *