Banteng Bersayap Kupu-kupu

rumah singgah

i

Cik Puan Putri, putri pemalu
Sedikit ketawa banyak tersisipu
Tak banyak cakap pandai melagu
Besar nampan eh, besar pula nafsu

“Emak. Ombak besar. Bergulung-gulung.”

“Ya. Buih-buihnya berbunga-bunga
ditimpa cahaya sang purnama.”

ii

Malam ini, Cik Puan Putri bersama emaknya duduk di tepi pantai. Menikmati purnama bulan lima. Menikmati debur-derau ombak, menyapu bebatu; merentak-rentak, berima-irama. Berderai-derai.

“Emak. Lihat di bulan itu. Ada kuda terbang.”

“Bukan kuda, Nak. Itu banteng di surga
ditunggang putri ayu jelita.”

Cik Puan Putri tersenyum bahagia. Dialah itu acahnya; si penunggang banteng perkasa berparas jelita. Terbang dan hinggap dari satu planet ke planet lainnya. Di jagat raya. Ke mana pun dia suka.

iii

“Emak. Aku hendak menyanyi.”

“Jangan lagu sedih, ya? Usah lagu sendu.”

“Lagu banteng bersayap kupu-kupu.”

“Oh. Bernyanyilah!”

Cik Puan Putri pun menyanyi :

Purnama. Purnama
Alangkah indahnya
Cahayamu terang
Di langit yang biru

Kok, itu seperti lagu anak Tadika? ”

“Itu permulaannya saja, emak.”

“Ohya? Teruskanlah.”

Banteng bersayap kupu-kupu
Terbang lintas alam semesta
Akulah si penunggangmu
Putri ayu berparas jelita

Banteng bersayap kupu-kupu
Kutunggangi ke sini ke sana
Alangkah bahagianya ibu
Bila kupetikkan purnama

    Banteng bersayap kupu-kupu
    Banteng bersesayap
    keku ke k p u …

iv

Tengah-tengah bernyanyi tetiba lelaki ganteng lalu. Lidah sang putri tetiba terkelu. Sekian saat terkunci rapat, membisu. Tidak bisa sebut ba-bi-bu.

“Mengapa engkau terdiam, Nak? Ombak masih memecah pantai. Purnama masih bersinar. Jangan berhenti bernyanyi sebelum sebuah lagu akan berhenti.”

Sang emak, ibu suri perdana, yang punya anak lima, cucu kali tiga, cicit belum dikira, yang semula tertanya-tanya, akhirnya juga terkesima ketika tertoleh jantan berkharisma melangkah dengan santunnya.

“Ini makhluk yang bisa meredupkan purnama dan menghentikan ombak ganas, emak.”

Sang emak terdiam.

Sang putri; merah padam; pun diam.
Memendam hasrat menggeram.

“Aku ingin berlayar bersamanya.” Alih-alih menggumam dia.

“Hmmmm. Berlayar atau terbang?”

“Berlayar dan terbang, emak.”

v

Jantan Kharisma; insan wangi kekasih alam.

Dari atas tebing batu dia berdiri sanggam, menatap lautan negeri impian; dalam-dalam.

Mendongak mereguk purnama. Menoleh pada ombak dan buih yang bertasbih.

“Beribu pulau pun tuan-tuan timbun laut namun ombak tak akan pernah diam!”

vi

Cik Puan Putri melangkah diam-diam. Jejak Jantan Kharisma dia ikuti diam-diam. Dalam diam berdiri dia di belakang pula diam-diam. Berhasrat sekali ingin jadi Hawa; pasangan Adam.

Lantas berpantunlah dia, berpelan-pelan, macam bergumam :

Bulan purnama terangi alam
Langit cerah bertabur bintang
Dalamnya laut ‘tu dapat diselam
Tingginya ombak dapat direnang

Jantan Kharisma langsung terkesima. Dia kira ratu Pantai Selatan datang ke Utara tetiba menjelma. Gugupnya jantung nyaris pecahkan dada. Dibalasnya pantun itu dengan ketawa:

Ahaaaaa

Ombak bergulung berdentum-dentam
Lampu perahu nelayan berkelap-kelip
Mengapa ‘nyelinap di tengah malam
Adakah sesuatu yang Puan intip?

Cik Puan Putri membalas pantun:

Lapuk perahu banyak teritip
Kandas tersadai di tepi pantai
Bukan sesuatu yang saya intip
Cuma satu yang saya intai

“Kalau begitu Puanlah yang saya intip.”

Hahahahaaa ..

“Tapi Tuan pulalah yang saya intai.”

Hihihihihihiii ..

Tang kitang tang kiting tang kitang kiting kiting

vii

Tuan Jantan Kharisma beiringan dengan Cik Puan Putri, melangkah santai menyusuri tepian pantai. Di langit bulan purnama tetap terang benderang, anggun berjuntai. Buih di laut ditimpa cahaya terus berbunga-bunga, menunggangi ombak, memecah pantaI. Dari jauh, sang emak ~ ibu suri ~ cuma mengerling-ngerling, sesekali mengintai-intai.

viii

Sampan kolek lunas perahu
Perahu mainan putri mahkota
Untuk dilayarkan di dalam perigi

Kaki ‘dah cape’ duduk kita di situ
Saksikan terus panggung purnama
Sambil dengarkan ombak bernyanyi

Sambil nandungkan talibun ini Cik Puan Putri menuju pada sebuah onggokan batu besar. Di sebuah muara menghadap ke laut yang terus berkobar. Ada pelabuhan; banyak perahu bersandar. Mereka duduk di bawah bulan purnama yang tetap bersinar. Jantan Kharisma yang sabar mengikuti saja langgam sang putri dengan wajar.

Banyak sekali di sini perahu
Ada yang kecil ada yang besar
Bahagia sekali andai ini milikku
Bila sampai waktu bisa berlayar

Kata pantun Tuan Jantan Kharisma. Langsung disambut Cik Puan Putri.

Perahu yang molek itu milikku
Banyak muatan lambungnya besar
Kalaulah tuan tidak punya perahu
Bolehlah bersama kita berlayar

“Ou, bersama kita meniti gelombang?”

Yuph! Bersama berlari di atas buih.”

“Aku yang jadi tekongnya?”

“Hmmm…! Pemilik perahulah nahkodanya!”

ix

Cahaya purnama sekilas meredup di wajah Jantan Kharisma. Awan tipis melintas di depan bulat matanya. Keheningan menerpa di tengah dentuman ombak yang terus bergelora. Tetiba Sang Arjuna teringat pula sebuah lagu lama, senandung nyanyian orang Melayu di Sumatera.

Lancang kuning
Lancang Kuning berlayar malam
Hai, berlayar malam

Haluan menuju
Haluan menuju ke laut dalam

Kalau nahkoda
Kalau nahkoda kuranglah paham
Hai, kuranglah paham

Alamatlah kapal
Alamatlah kapal akan tenggelam

Lancang kuning berlayar malam .. *)

x

Keheningan pecah ketika tetiba Cik Puan bersuara.

“Aku maklum kalau Tuan tidak rela. Seperti jantan-jantan lainnya, juga selalu tidak rela bila wanita yang jadi nahkodanya. Seperti ada tuah sakti yang layu lenyap di ubun-ubunnya. Seperti juga ada selenyap yang menjalar merayap-rayap; sampai ke tasik jantung; sampai ke hulu hatinya.”

Tuan Jantan Kharisma tergelak, geli.

I-hihiiiii

Dari mengritisi, Cik Puan Putri melanjutkan dengan mengingatkan pula.

“Belum tentu ada perahu lain yang akan memberikan tumpangan kepadamu menuju ke negeri impian, Tuan. Banyak perahu bagus dan molek pelabuhan ini, belum tentu cukup syaratnya untuk bisa berlayar, Tuan.”

Bagus layarnya, patah kemudinya.
Bagus kemudinya, bocor lambungnya.
Bagus lambungnya koyak pula layarnya.
Bagus semua, beragam bagus sakitnya.

Jantan Kharisma tersenging.

Cik Puan Putri berusaha yakin, membuang ragu; jantan ini tak berpaling ke lain perahu. Lalu, suaranya yang tadi bergetar turun ke alunan nada yang lebih syahdu.

“Kalau Tuan setuju, aku meminangmu.”

Sekali lagi Jantan Kharisma tersenging.

“Oh! Biasanya lelaki yang meminang. Tidak terbalikkah itu?”

“Dalam adat nenekku ini bukanlah tabu.”

“Oh.”

xi

“Aku yang meminangmu. Aku berharap engkau setuju. Akan aku hadiahkan sebuah perahu. Perahuku sudah lengkap syarat untuk bisa berlayar ke laut biru. Dayung, layar, dan teraju. Segala perbekalan pun ada di situ. Tinggal lepas tali. Berlayar. Lalu melaju.”

“Oh.”

Cik Puan Putri makin tak ragu.

“Kita berlayar melaju ke laut yang menderu. Aku pegang kemudi; tali teraju. Engkau tinggal enak saja, tidur berkelambu langit biru. Kerja lain ringan. Cuma memasak. Timba air. Itu pun bila perahu bocor; diterjang ombak atau menabrak karang batu.”

Jantan perkasa kembang senyumnya.

“Oo. Kenapa terlalu terburu nafsu?”

“Aku tidak terburu nafsu, kok. Juga bukan sekadar memberi angin padamu. Tapi ini penawaran kesempatan jarang berulang untukmu. Aku. Nanti. Bukan selamanya menjadi nahkodamu. Bila sudah jemu, engkau pula yang pegang tali teraju. Itulah kesempatan menjadi raja, gantikan kedudukan ratu.”

“Oh! Begitu?”

xii

“Tuan, Tuan. Ada satu yang Tuan sangat perlu tahu. Ini amat perlu. Ini rahasia makhluk di palung paling terpalung di laut. Alam mistik maritimik. Makhluk alam laut yang terceruk yang bisa menguasai semua alam.”

Lalu Cik Puan Putri mendekatkan muncungnya ke telinga Jantan Kharisma. Berbisik. Betul-betul berbisik. Padahal tanpa berbisik tiada siapa pun bisa mendengar. Suara ombak amat besar. Berkobar-kobar.

“Aku akan dipinang raja.”

“0hh?”

“Akan dijadikan madu3.”

“Uuuwihh!”

“Tuan tahu apa maksudnya kan? Lihatlah, perahuku amat besar. ABK ~ anak buah kapal ~ amat banyak. Buruh kasarnya lebih banyak. Mulai dari di kawah kolam di tasik dan pegunungan sampai di berbagai pelabuhan dan pasar. Mereka bisa berbuat apa saja. Tak pandai membantah. Tak pakai timbang pikir. Ada rasa tetapi tidak ada hati. Usahkan untuk mengekalkan kedudukan raja, mengangkat ABK jadi kemaharajaan ~ kekaisaran ~ sumur hidup pun bisa..”

Jantan menyimaknya dengan saksama.

“Itulah yang diharapkan baginda raja dariku.”

Jantan Kharisma tetap belum bersuara. Dia mendengarkan saja.

“Aku tidak mau jadi permaisuri Madu3 hanya untuk pajangan.”

“Oh.”

“Aku pun tidak mau ada raja berkuasa terlalu lama. Apatah lagi selamanya.”

“Oh.”

“Asalkan aku jadi ratu.”

“Hohoo..!”

“Kalau tidak..!”

“Ohh..! Ohh…!”

“Kalau tidak..!”

“Ohh..! Ouhhh..!! Mengancam ni?”

“Maka, bersedialah aku pinang dirimu untuk diriku.”

Kikkikkikkikk…

xiii

Cik Puan Ratu menatap mata Jantan Perkasa.

“Tuan, tahu? Kalau raja berkuasa sampai mati.
Tibalah tenggatnya nanti, bermahligai pula
turun-temurun yang turun
dari sempadan Spartly.

Kekaisaran Abadi.

Memangkah kita bangsa buruh sejati?

Hamba budak yang menumpang

di rumah sendiri?”

Jantan Kharisma tergelitik di dalam hati, tergelak kecil agak geli.

“Hei, aku dengar macam suara bidadari.”

Kikkikkikkikk

“Jangan meremehkan kekuatanku, Tuan.”

“Oh, sama sekali tidak. Mohon maaf.”

“ABK-ku banyak. Banyak juga yang ahli kerate dan kuntau. Kuat menyerbu pandai menangkis.”

“Pandai bersilat tak lihai serbu bertangkis-logis berakal budi; manis,” gumam Jantan Kharisma. Amat pelan. Hanya serinjis hujan gerimis.

Setelah diam sejenak, Cik Puan Putri berkata:

“Sekarang tinggal pilih: apakah Tuan mau jadi permaisuranku atau aku yang jadi permaisuri madu3? Seumur hidup!”

Jantan Kharisma cuma mengulas senyum.

“Mmmm…” Dia menggumam lagi. Halus. Tak terdengar kata-katanya.

xiv

Malam sudah tengah malam. Bulan purnama lama lagi tenggelam. Lama menunggu Cik Puan Putri entah ke mana redam. Ibu Suri sampai tertelentuk; tertidur di kursi di Cafe Coffee Tiam.

Dalam ketiduran di kursi, seenaknya pula Bu Suri bermimpi; purnama alih-alih turun ke bumi. Terbang melayang-layang mengitari dia punya puri. Melayang-layang mengitari dia punya diri. Wajah emak pun cerah berseri-seri.

“Putri tersayangku; Cik Puan Putri, dengan sayap kupu-kupunya; berhasil memetik, mengganding bulan turun ke bumi.”

Hi hi hiiii

xv

Emak masih melanjutkan mimpi. Dalam mimpinya dia bagaikan menari-nari. Saking senangnya rasa hati. Sang anak masih asyik berpantun, dengan si Jantan Kharisma; bagaikan sepasang kekasih; dua sejoli.

Kalaulah tercapai meraih kekasih
Tentulah tak enak hidup melajang

Kalaulah pandai meniti buih
Selamatlah badan sampai di seberang **)

Itu bunyi pantun Cik Puan Putri kali ini. Langsung dibalas Jantan Kharisma :

Kalaulah pandai pilih kekasih
Hidup bahagia umur pun panjang

Perahu mana pun yang aku pilih
Bahtera selamatkan banyak orang

xvi

Purnama masih mengambang. Gelombang masih menjulur-julurkan lidahnya, menjilat-jilat karang. Cik Puan Putri mengajak Jantan Kharisma melangkah pulang. Khawatir emaknya jadi bimbang.

Di kursinya ibu suri melanjutkan mimpinya bagian akhir. Bulan yang diharapkannya akan jatuh ke pelukannya tetiba saja menyingkir. Meloncat cepat ke langit bagai kilat diiringi dengan suara amat keras; bagaikan ledakan petir.

Bu Suri terkejut dari tidurnya, nyaris saja terjungkir. Sampai air kopinya mengelocak; bergejolak kencang di dalam cangkir.

Perasaan malu tetiba pula hadir;

melihat kehadiran anaknya, Cik Puan Putri bersama Jantan Kharisma ~ di depannya ~ yang santai-santai saja sambil tersenyum-senyum.

Menyengir.***

Articlepoems, Juni 2021

*) Lagu Melayu Riau.
**) Pepatah Melayu.

Baca : Muatan Lokal Era Digital
—————–
1. Nampan : baki. 2. Derau : bunyi air atau ombak. 3. Acah : icak-icak, membandingkan, mengganggu seseorang. 4. Sanggam : tertib, santun tampak teguh berwibawa. 5. Teritip : kerang-kerangan yang menempel pada kayu yang terendam atau berlumut. 6. Kolek : sampan kecil. 7. Lunas : sosis perahu paling panjang di bagian paling bawah perahu sebagai dasar (pondasi) bangunan sebuah perahu. 8. Selenyap : sakit di dalam badan, seperti ada angin dahsyat yang bergerak di dalam tubuh.. 9. Senging, tersenging : senyum dengan hati tidak enak. 10. Rinjis : memercikkan air dengan jari. 11. Permaisuran : suami ratu (mungkin; hehe..). 12. Ngelocak, mengelocak : air yang bergelombang keras di dalam bejana kecil.

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *