Emak Daoed

Terapi Kamar Mandi

…Kini aku tercatat pula menjadi orang Indonesia pertama yang oleh Sorbonne dianugerahi gelar doktor tertinggi dari jenisnya, yaitu Doctorat d’Etat atau doktor negara, dan dengan cumlaude lagi. Sedangkan mahasiswa Perancis sendiri tidak semuanya mampu berbuat begitu…. Aku tahu benar bahwa prestasi seperti ini adalah berkat perbuatan banyak orang. Kubiarkan pikiranku menelusuri masa lalu, mengingat kembali semua kejadian yang mengantarkan aku ke ruang ujian doktor hari ini di Sorbonne, membayangkan lagi wajah orang-orang yang telah membantuku mencapai sukses yang membanggakan ini. Barisan orang-orang ini ternyata cukup panjang dan di ujung permulaannya tegak berdiri seorang perempuan bertubuh langsing semampai, dengan penampilan yang anggun dan wajah mencerminkan ketinggian budi. Perempuan tersebut adalah ibuku, yang menurut kebiasaan di daerah kelahiranku, biasa kusebut “emak”. Memang emaklah, emakku, yang pada awal hidupku selalu mendorong aku untuk belajar… (Hal. 1-2).

Demikian kiranya Daoed JOESOEF memulai kisah hidup tentang emaknya yang menjadi sumber utama inspirasi dalam hidupnya.

Daoed JOESOEF lahir di Pulau Sumatera, tepatnya di Medan pada 8 Agustus 1926, dan meninggal di Jakarta pada 23 Januari 2018. Ia merupakan tokoh berpengaruh di Indonesia. Pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (1978-1983). Anggota DPA RI (1983-1988). Ketua Dewan Direktur CSIS (1972-1998). Sebelumnya pernah menjadi pengurus oraganisasi “Angkatan Seni Rupa Indonesia” di Medan (1946). Ketua Cabang Yogyakarta dari organisasi “Seniman Indonesia Muda” (1946-1947). Dianugerahi Bintang Mahaputera Adiprana oleh Pemerintah RI (1982) dan “Commandeur de l’Ordre des Arts et des Letters” oleh Pemerintah Republik Perancis (1983).

Kisah hidup dengan emak sebagai inspirasi DJ ini pertamakali diterbitkan PT Kompas Media Nusantara pada 2003. Kisah ini mengandung banyak nilai. Bagaimana keberadaan seorang ibu amat urgen keberadaannya untuk melahirkan anak-anak bangsa yang hebat. Sang ibu ini jualah yang pertama membesarkan dan mendidik Daoed dan kakak-adiknya dengan penuh cinta kasih, kearifan, pengertian, serta tanggung jawab tinggi. Dia pula yang menanamkan kepada Daoed nilai menghargai daan memperhatikan nasib sesama manusia, serta menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Konon dari dia jugalah Daoed belajar tentang kebebasan negara merdeka, kemurnian beragama. Sambil menyuapinya makan, kata Daoed, ibunya menceritakan beberapa hikayat, dongeng atau riwayat berbagai nabi dan rasul. Dialah perempuan yang kata Daoed merupakan seorang yang ramah, murah senyum, lemah lembut, cekatan, menyeni, dan berkemauan keras, berani melawan arus, berparas elok, berbadan tinggi semampai, berambut ikal dan panjang, berkulit bersih. Selain ibu, peranan ayah pun demikian. Daoed ternyata juga anak seorang ayah yang hebat, yang dalam buku ini hanya diceritakan sekilas saja oleh Daoed, tapi amat dapat ditangkap kalau lelaki itu merupakan seorang yang berkarakter hebat dan seorang pendekar tiada tanding di daerahnya, satria sejati. Lelaki yang padan bersanding dengan ibu Daoed. Lelaki yang berbadan atletis, ayunan langkahnya terkesan ringan, bagai tak menyentuh tanah bila berjalan, nyaris tak bersuara. Orangnya pendiam dengan sorot mata yang tajam, rajin bekerja, jarang tersenyum apalagi tertawa terbahak-bahak. Di masa remajanya sudah merantau ke berbagai tempat di tanah air dan ke Malaya. (Hal. 10).

Buku setebal 292 + X halaman disertai berbagai ilustrasi yang diambil dari lukisan Daoed sendiri. Buku ini demikian sedap dan lemak dibaca karena menggunakan bahasa sastra yang indah, dalam dan penuh makna dan inspirasi. Ia seperti novel namun ditenun dari kisah nyata. Dan sesebuah, lukisan Daoed pun ikut memanjakan mata dan menambah nilai estetika buku ini. Akan tetapi sebagai pembaca, terkadang kita juga bertanya apakah memang orang yang berdialog, seperti yang dituliskan Daoed sehebat dan secerdas itu?

Selama kiprahnya menjadi menteri, kabarnya ada beberapa kebijakan Daoed yang dipandang kontroversi oleh beberapa kalangan, yaitu normalisasi kehidupan kampus yang intinya untuk membersihkan kampus dari kegiatan-kegiatan politik karena tugas utama mahasiswa katanya adalah belajar. Dia juga mengeluarkan keputusan yang melarang liburan pada bulan puasa yang membuat sebagian kalangan menganggapnya sekuler, dan kebijakan-kebijakan lainnya.

Terlepas dari semua itu, Daoed merupakan seorang yang luar biasa. Hari-harinya hanya bergelut dengan ilmu. Bahkan sampai di ujung usianya, pikiran bernasnya masih dapat ditemui dalam tulisan-tulisannya di media tanah air, di antaranya di harian Kompas. Selain itu, pelajaran yang amat berharga yang dapat dipetik dari Daoed adalah manusia yang memiliki kemampuan banyak bidang. Ia seorang intelektual dari Pulau Swarnadwipa alias Sumatera yang menguasai multi disiplin ilmu seperti ilmu keuangan internasional dan hubungan internasional, di mana ia memperoleh gelar doktor dari dua bidang tersebut. Selain itu juga, ia seorang sastrawan dan seniman. Ia melahirkan karya prosa, diantaranya cerita pendek. Kumpulan cerpennya berjudul Teman Duduk. Ia juga seorang pelukis.

Daoed menjadi inspirator juga karena hari ini banyak kalangan sinis atau alergi kalau pejabat negara atau pemegang kebijakan di sebuah lembaga merupakan seorang seniman padahal Daoed membuktikan, bahwa sebagai seorang ilmuan plus seniman, ternyata dia juga seorang pemimpin yang melahirkan banyak kebijakan yang bernilai manusiawi dan patut untuk dikenang anak bangsa sepanjang masa karena fungsi sastra juga memanusiakan manusia. Di masa lalu, banyak pejabat merupakan ilmuan plus seniman-sastrawan sepertinya. Sesudah Daoed, ada Menteri Nugroho Notosusanto, ia juga merupakan sastrawan. Begitu juga dengan Fuad Hassan. Mereka bukan saja ilmuan tapi juga seniman sehingga nama, buah karya dan kebijakan yang mereka buat tak lekang dimakan zaman. Bahkan Wardiman Djojonegoro semasa menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sangat gencar mengampanyekan Cerita Panji.

Hari ini, berapa banyak pejabat yang bergelut dengan seni dan sastra? Jangankan sebagai sastrawan, jangan-jangan mencintai sastra pun jauh panggang dari api. Bahkan barangkali sangat alergi dan sinis kepada sastra dan seni, sehingga hampir semua kebijakan dan hasil dari sebuah program yang dicanangkan terkadang benar-benar seolah tak punya arti dan manfaat untuk memanusiakan manusia secara utuh. Saat ini, hampir semua kegiatan bermula dan berpunca dari politik yang amis, uang dan hitungan angka-angka ekonomis yang kadang-kadang tak logis.

Agar kondisi masyarakat ini kembali berjaya seperti dulu, hari ini bangsa besar bernama Indonesia ini memerlukan Daoed JOESOEF baru yang menjadi peneraju utama di berbagai organisasi, baik di lembaga pemerintahan maupun di bidang lainnya, mulai dari tingkat dusun hingga ke tingkat yang paling tinggi. Bangsa ini sudah mulai koyal alias mual dengan orang-orang yang berjiwa mesin, berhati materi, berpikiran instan yang mendasarkan segala kebijakan atas dasar keuntungan pragmatis semata.

Kenapa perlu orang seperti Daoed? Karena ia selalu menjadi lain, selalu mencari dan membuat jalan yang berbeda dan tak biasa. Itu juga karena emaknya. Ketika memasuki hutan suatu ketika, emaknya membawa Daoed memasuki jalan yang lain, lorong yang seolah tak pernah dilalui manusia. Di ujung jalan yang merisaukan dan menakutkan itulah Daoed menemukan sebuah taman hutan yang luar biasa indahnya. Lalu emaknya berkata kepada Daoed saat itu. “Dalam menjalani hidup ini, Nak, adakalanya kau akan sampai di jalan yang bercabang atau bersimpang. Bila demikian, jangan ragu-ragu memilih cabang atau simpang jalan yang kelihatannya kurang atau jarang ditempuh orang.”

“Bagaimana kalau kita tersesat, Mak?” Tanyaku. “Kalau kita tersesat bukan berarti kita akan hilang dalam perjalanan,” jawab emak. “Maka jangan ragu-ragu mengambil jalan yang tidak umum. Hasilnya bisa cukup memuaskan… contohnya lihat apa yang kau alami sekarang. Setelah orang-orang melihat hasil ini, lama-lama orang akan mengikuti langkahmu dan jalan ini lalu menjadi jalan orang banyak. Tapi kau tetap yang memulai, yang merintis. Ini berlaku baik dalam arti harfiah maupun secara kiasan.” (Hal. 37).

Daoed memang selalu memilih jalan yang berbeda dari orang kebanyakan. Daoed yang kabarnya juga mengalir darah Aceh ini memang spesial. Orang tetap mencatat dan memahatkan namanya sebagai pelopor, termasuk ketika ia menangani usaha penyelamatan candi Borobudur yang melihatnya dari banyak sisi. Menurutnya, candi tersebut sarat dengan nilai akeologis, historis, spiritual, budaya, keilmuan, ekonomi, bahkan nilai politik.

Daoed, semoga Allah Swt mengampuni dosa, salah-silapmu. Kiranya dirimu dan emak yang engkau kagumi itu tenang di alam sana dalam pelukan sayang-Nya.

Wallahu a’lam. ***

Baca : Gunjing

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *