Barau, Sudah Sirna

barau

BARAU.

Dulu nama yang sangat lekat dalam benak orang Inhil.

Pertama, pada 1970-an.

Setiap menjelang musim haji, air mata orang Inhil tumpah bercucuran di dermaga Tembilahan. Mereka menangis menyaksikan Kapal Besi Barau melepaskan tali tambatnya. Mengangkut ayah ibu mereka, saudara-mara mereka yang bertolak ke Medan, untuk menunaikan ibadah haji di Mekkah.

Kedua, tahun 1980-an.

Barau “ngetop” lagi di Inhil. Di kawasan perkebunan kelapa yang sepi, di antara jarak rumah dari satu rumah beratus-ratus meter itu, alih-alih bermunculan orang-orang asing. Orang kampung bingung. Orang-orang asing ini masuk tidak “pakai assalamualaikum”.

Orang-orang asing itu tidak banyak bicara. Mereka cuma bergerak dari satu pohon kelapa ke pohon kelapa lainnya. Suara burung barau alam yang semula memang riuh sepanjang siang, jadi semakin riuh dengan suara “burung barau buatan” dari muncung-muncung mereka.

Rupannya para pendatang dari Pulau Jawa itu “para pemburu burung barau”.

Hanya dalam tempo beberapa bulan, dengan pulangnya para pemburu, suara riuh barau alam pun senyap redam.

Hebatnya, hilang pemburu barau Pulau Jawa, orang kampung pula kemudian “jadi pemburu jadi-jadian”. Ikut mempelesah barau yang tersisa. Cuma, kalau pemburu dari Pulau Jawa menangkap barau sebanyak-banyaknya untuk dijual, “pemburu kampungan” yang dapat seekor dua ini cuma untuk dikurung dalam sangkar “lidi nio” atau bintet pelapah rumbia di serambi rumah.

Mereka dapat penyakit baru, “lebih suka mendengar barau merintih parau di dalam sangkar” daripada mendengar merdunya dendang si barau di alam bebas.

Setelah 1980-an sampai sekarang, Inhilnya dulu merupakan “Taman Barau”, sekarang mencari bekasnya saja tidak ada.

Sudah punah ranah.

BARAU adalah “korban pertama”.

Korban berikutnya enggang, ranggong, gagak, dan sekarang “yang mati kena pelasah setiap saat adalah burung murai”. Nyaris tiap hari ada murai yang ditangkap di Inhil. Bila 1980-an masih bisa kita lihat enggang dan ranggong terbang dari pohon ke pohon yang tinggi. Sekarang sayu-sayup suaranya di kejauhan pun tidak terdengar lagi.

Punah dasn musnah.

Begitunya juga gagak.

Tetapi agaknya cuma gagak yang “tahu diri”. Karena dipelasah terus akhirnya mengungsi ke kota-kota besar negara tetangga yang rakyatnya sudah cerdas dan maju. Bila di Sumatera susah sekali menemukan gagak, tetapi di tengah Kota Kuala Lumpur, Malaysia, banyak sekali dijumpai gagak, berterbangan di atas keramaian orang. Begitu juga di kota-kota besar lainnya, seperti di Jepang.

Di Indragiri Hilir@Riau@Sumatera@Indonesia?

Pemburu@pemusnah burung murai dan sejenis banyak sekali. Mereka bukan saja warga biasa, serupa petani atau nelayan. Tetapi di antaranya ada juga aparat desa, yang sepertinya kurang pekerjaan saja.***

Baca : Murai, Diancam Punah

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *