Puisi-Puisi Karya Joni Hendri

Hikayat Ketakutan

Kerusakan pada tubuhmu berulang
tak ada yang membujuk sebagai kekasih
mengekor keterpaksaan nafsu yang berkejaran
mata saling melihat tajam.

Ada pun kehidupan,
menyamar pada wajah yang letih
untuk menyembunyikan ketika malam
saat diri diperkosa orang secara diam-diam
luka di hatimu membusuk, tak sanggup mengeluarkan jeritan:
“Aku sakit Tuhan, tapi mulutku bisu!” Katamu.

Ia berjalan di dunia penuh kerasukan
di sela-sela kesehatan sedang terganggu
aroma kematian semakin membuka liang-liang
tapi, tak ada kejemuan para pelahir untuk tumbuh.

Hikayat ketakutan adalah mental yang menukik dari langit
menghujani kepala dengan kata-kata
berkicau sebagai obat dalam jiwa
membuka ruang remang dalam doadoa panjang.

Kesehatan melapuk,
lumut pada usia yang tak setia
terlalu berat sejarah mencatat kekalahan
kehilangan warna kenyamanan dan menjadi usang.

Di musim yang rentan ini,
pembentuk kecemasan berulang-ulang
kehidupan diikuti katastrofa setiap menggeliat:
“Pada yang patut tak disebut
bertemu ujung pada ujung sebagai pagut
menyerupai laut.”

Pekanbaru, 2021

Cemburu pada Diri

Membersihkan tubuh,
saat hati sedang mengeluh
pintu-pintu tertutup
sebagai yang terlihat mengecup
harmonika terganggu dan asik.

Akal mengakal di tingkap
mata menjeling kegalauan
menunggu puncak
memantapkan tujuan berserta khayalan
menutup taubat?

Komplikasi sang waktu
menahan hakikat ruh
cemburu berhamburan dari kepala
hakikat akal tidak sampai
pada hembusan_Nya.

Pada diri sendiri kembali
banyak dari perpisahan jasad.

Pekanbaru, 2021

 

Cahaya Putih Batuhampar

:Syeikh Abdurrahman al-Khalidi
Ia terang pada abad ke-19
membawa cahayanya pada Surau
memanggul tasawuf untuk suci
maka hati akan bening menyerupai kaca
khidmat dan khusuk di tempat duduk
menyimpan kesunyian sebagai zikir
dan merapatkan mata pada setiap petikan tasbih.

Yang bersedih adalah doadoa
setelah dikutuk sebagaimana cinta Rummi
nun jauh dari kelupaan yang terbengkalai
ia melihat gelap menyelimuti Batuhampar:
“Datanglah sebagai cahaya
bersama lembar-lembar firman
dari daratan Timur.”

Aku mengenalmu Syeikh,
seorang datok yang suka berkabar
tentang Tarekat Naqsyabandiayah
bersandar pada hati dan napas sepanjang Sumatra
isyarat-isyarat zikir yang berkejaran
di jarum jam menuju ufuk zaman kegelapan.
Dan gelap pada 1899 M,
timpa-bertimpa dalam zaman yang menderas
mengeluhkan bayang-bayang cemas
bunyi dari malang iman
tak mampu bertolak sebelum mengenalnya.

Ngilu di dada telah terasa
berumahkan cemas pada hari-hari
melambai Agama yang telah pergi:
“Kami risau datu,
ruh tidak bertahan dan pergi kepangkuan-Mu
diaduk-aduk waktu!”

Pekanbaru, 2021

Setelah Jumat

Sehabis kau memeluk tongkat
kaki yang berlipat memandang tubuhmu
mendengar suara yang hampir oleng
seumpama sumpah-sumpah dari dosa
pada perbuatan yang kacau:
“Taubatlah dari kenikmatan sementara
sebelum dingin datang dari ujung kaki
sampai ke atas kepala!”

Setiap ayat-ayat melekat di dahi
membekas seperti pukulan
yang sangat kekal
mata berlinang memandang jauh
memandang api dari Tuhan manusia
dari balik tiang yang empat
dan sarung tempat menyimpan kitab.

Setelah selesai,
musim pun berlalu dan mengusap wajah
memanggil:
“Aku salah, aku kalah!”
Menyusun kehidupan baru
menemani dosa-dosa yang belum pergi
di ujung jumat.

Sepotong riwayat Malaikat
bergantung dalam ingatan
menjadi sentuhan jumat.

Pekanbaru, 2021

Sajak Mak

:Hari Ibu
Sedih jatuh menyerupai hujan
membasahi jiwaku, Mak
membanjiri segala arah saat berjalan
beban-beban timbul di ujung kampung
mengapung di laut hidup.

Ini perihal sejarah yang panjang
membuang risau sebelum menjangkau malam
terpukau dalam air mata
tanpa cahaya lalu tenggelam:
“Mak, aku ingin mencium kakimu.”

Bentangan perih,
perlahan-lahan sampai pada titik jenuh
menyeru kesuksesan kepada Tuhan
saat gambaran rumah kita yang patah
tak bertangga dan tiang.

Kalimat penghabisan:
“Di atas kehidupan ada Tuhan!”

Penyalai, 2021

Orang Bunian

Di hutan Penyalai,
ia menjelma jadi pohon nangka
suatu hari tubuhnya dipaku di situ
disengat serangga pada bibirnya
hingga sulit membaca alif-lam-mim
ayat yang dulu dibaca nabi.

Akar-akar yang putus
dibakar jadi abu, saat magrib mulai tiba
bedug surau memanggil bagai lebah
setelah kapak orang kampung patah
melupakan bidadari surga.

Sejak lama ia telah tahu
itu orang bunian yang berdiam di hutan
tak pernah menghiraukan ayat-ayat
saat senja mulai lindap di pagut asap
memanggil-manggil: “Penunggu, penunggu, penunggu!”

Tubuhnya terpanggang
melelehkan rasa marah dari jiwa
saat rumah terbakar dan darah jadi abu.

“Mereka orang bunian tinggal di hutan.” Kataku.
Guang cerita meraung panjang
menyusuri semak-semak yang sudah disibak
semua jadi riwayat.

Pekanbaru, 2021

 

Isu-Isu Suku

Akhirnya aku telah menelan kata-katamu
saat mimbar budaya runtuh
tanpa kesedihan
dan orang-orang Melayu karam
laman-laman tak jadi gelanggang:
“Gayung tak bersambut.”

Gempa dalam dada
bergerak di bawah kaki menuju kepala
yang retak-retak adalah kemarahan
dari langit jiwa yang buta
seolah bergerak dari bunyi yang berderak-derak
ditebang hutan belakang rumah:
“Terasing dari tanah sendiri.”

Desau daun tak berbunyi
dan laut yang gusar saling merebut sepi
menjemput hari dari malam yang tenggelam.

Pekanbaru, 2021

Aku Berada pada Tangisanmu

: Desy Ameldi
Di lidahku hanya mengeluarkan nama
dari urat jerit yang beradu rindu
pernah kulihat wajahmu pada gelap malam
yang membawa mimpi untuk mengalirkan puisi.

Desir angin yang dulu
hilang, hampir tak pernah aku rasakan
di sepajang jalan kota-kota
pada tujuan yang gelap, di ujung rumah:
“Jarak menjelma cinta yang cemas!”

Di matamu, bulan-bulan berdiam
dan air mengeluarkan ricik
melelehkan rasa untuk menjadi retak
hampir pucat pasi:
“Aku tak membayangkan tangisan itu!”

Tubuhku sibuk berkelahi dengan hati
bergoyang-goyang bagai pohon
tapi suaramu, sangat tajam melukai jiwa
lalu-lalang cahaya di urat kepala
sebagai tanda aroma asmara.

“Apakah tangisan cinta?”

SDN 153 Pekanbaru 2021

Tersentuhnya Hati

Masa yang buta,
keputusasaan terus berburuk sangka
dari kata kerja yang sedang berlari
ke arah yang begitu sedih
bukan tangisan terakhir
untuk membasuh luka-luka para wali
tidak sekedar kepasrahan.

Apakah kau berperang?
Kewajiban kesakitan menyentuhnya
menjalankan ketidakpastian
lewat amalan-amalan yang wajib
dan akhir dari jatuh cinta.

Normal menjadi norma keabadian
hembusan angin terakhir
bukan hembusan Ruh
di ujung nyawa cucumu
hanya pemilik segalan kehidupan yang kaku.

Hak-hak terlihat:
“Ada kelupaan menghujani
ada ketakutan bagai mimpi
ada hak dikakukan
adalah tersentuh hati!”
Alam ini bukan kehidupan abadi.

Pekanbaru, 2021

Embun Adalah Dara Itu

Embun jatuh ditiup angin
tepat pada ujung daun yang tua
berderai bagai airmata
menduga segala arah kesedihan.

Dari hulu anak-anak dara mendengar
suara tangis itu
mereka ketakutan hingga mudik ke kuala
kain-kain yang dijemur lapuk
bukan hal yang asing
namun begitulah peristiwa birahi:
“Ia bagai embun yang jatuh
mengeluh untuk kembali
sebentar lagi panas datang
maka ia akan pergi!”

Pekanbaru, 2021

—————————
Joni Hendri, kelahiran Teluk Dalam, 12 Agustus 1993. Pelalawan. Alumnus AKMR Jurusan Teater. Karya-karya berupa naskah Drama, Essai, Cerpen, dan Puisi. Sudah dimaut di beberapa antologi dan media seperti: Kompas id, Riau pos, Solo Pos, Medan Pos, Radar Bayuwangi, NusaBali, Tanjung Pinang Pos, Pontianak Pos, Sulawesi Tengah, Bali Pos, Singgalang dan media online lainya. Bergiat di Rumah kreatif Suku Seni Riau dan bergiat di Komite Teater Dewan Kesenian Kota Pekanbaru (DKKP). Sekarang mengajar di SD Negeri 153 Pekanbaru.

Baca : Puisi-puisi Karya Mohd Adid Ab Rahman, Melaka (Bag.2)

*** Laman Puisi terbit setiap hari Minggu. Secara bergantian menaikkan puisi terjemahan, puisi kontemporer nusantara, puisi klasik, dan kembali ke puisi kontemporer dunia Melayu. Silakan mengirim puisi pribadi, serta puisi terjemahan dan klasik dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected] [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *