SyaGu ITali, Banteng Bersayap Kupu-Kupu (Bagian Ketiga/Terakhir)

Bang Long

Bismillah,
Bagian ketiga dari kumpulan puisi kesaksiannya bertajuk Banteng Bersayap Kupu-Kupu, Mosthamir Thalib seakan-akan mengajak kita untuk mengingat kembali puisi lama, yaitu Syair, Gurindam, Igal-igalan, dan Talibun. Syair merupakan bentuk puisi lama yang berkisah. Hakikat syair adalah rasa dari penyair. George Santayana, Filsuf Spanyol mengatakan bahwa semua bahasa bersifat retoris. Bahkan, rasa adalah syair. Syair masih ke nusantara seiring dengan masuknya Islam. Wikipedia menjelaskan, diksi syair berasal dari bahasa Arab, yaitu diksi syu’ur yang berarti perasaan. Diksi syu’ur berkembang menjadi syi’ru yang berarti puisi. Selanjutnya dalam perkembangannya di Asia Tenggara, syair tersebut mengalami perubahan dan modifikasi sehingga menjadi khas Melayu, tidak lagi mengacu pada tradisi sastra syair di negeri Arab. Penyair yang berperan besar dalam membentuk syair khas melayu adalah Hamzah Fansuri dengan karyanya antara lain Syair Perahu, Syair Burung Pingai, Syair Dagang, dan Syair Sidang Fakir. Syair dikenal berdasarkan ajaran tasawuf yang berkembang di nusantara. Syair berbahasa Arab yang tercatat paling tua di nusantara adalah catatan di batu nisan Sultan Malik al-Shaleh di Pasee, Aceh, tertanggal 1297 M (696/97 MI). Syair berbahasa Melayu yang tertua adalah syair pada prasasti Minye Tujoh, Aceh, tertulis tahun 1380 M (781/82 AH).

Dalam bukunya ini, Mosthamir Thalib hanya menyertakan satu syair bertajuk Syair Balon Pemimpi. Aspek politis dan kritik sosial sangat kental dalam syair ini. Dari judul saja, kita sudah tahu sikap kritis dan jenakanya. Judul tersebut mengarahkan pada akronim bakal calon yang biasa disingkat balon untuk kandidat pemilu atau pilkada. Semestinya, setelah diksi balon, kita mengenal diksi pemimpin. Namun, Mosthamir Thalib memelesetkannya menjadi pemimpi. Syair ini menggambarkan tentang calon pemimpin yang berkarakter sebagai berikut. Pertama, calon pemimpin yang tak bervisi, tak mengerti, dan berpolitik uang untuk membeli suara. Kedua, calon pemimpin yang berniat korupsi, mengutamakan syahwat, dan berfoya-foya. Ketiga, calon pemimpin yang menghalalkan segala cara (dengan uang/harta) supaya bisa menjadi. Keempat, calon pemimpin yang tidak siap (rapuh) jika dirinya kalah atau menang dalam pemilihan sehingga berbuat maksiat (h.194).

Gurindam yang terkenal adalah Gurindam Duabelas karya Raja Ali Haji. Wikipedia menjelaskan, diksi gurindam berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu kirindam yang bermakna perumpamaan. Gurindam umumnya berisikan nasehat atau semacam kata-kata mutiara. Raja Ali Haji menjelaskan pengertian gurindam sebagai berikut.
Adapun arti gurindam,
adalah perkataan bersajak.
Pada akhir pasangannya,
sempurna perkataannya.
Dengan satu pasangannya sajak pertama isyarat,
Sajak kedua jawabannya.
Persimpangan yang indah-indah,
yaitu ilmu yang memberi faedah.
Aku hendak bertutur,
akan gurindam yang teratur.

Selanjutnya, Mosthamir Thalib menyertakan empat gurindam dalam bukunya ini. Keempat gurindam tersebut bertajuk Gurindam Pengeremput Negeri, Gurindam Negeri Berdaulat, Gurindam Negeri Melarat, dan Gurindam Orang Ayam. Semua tajuknya mengajuk pembaca. Keempat gurindamnya berkias kepada pemimpin. Gurindam Pengeramput Negeri menggambarkan hierarki kepemimpinan yang khilaf dalam bertindak. Karakter negatif pemimpin mulai dari presiden, parlemen, menteri, gubernur, bupati, camat, lurah, kepala desa, hingga rakyat dikritik dalam puisinya ini. Karakter negatif yang tersebut dalam puisi tersebut, yaitu berjudi, banyak tidur, tak tepat sasaran, menjual hutan dan lahan, korupsi, menyunat dana, berlebihan bertingkah, berdusta, dan melarat. Makna puisi ini sepertinya berlanjut pada tajuk Gurindam Negeri Melarat. Puisi sebanyak lima bait ini mengetengahkan ide paradoksal. Tiga bait awal menggambarkan karakter positif, yaitu sejalan ucapan dengan perbuatan, selaras pasal dengan akal, dan kekayaan alam dijadikan modal. Sementara itu, dua bait berikutnya menggambarkan karakter negatif, yaitu pemimpin memanjakan konglomerat dan pemuas syahwat. Begitu pula jika kita pahami puisi bertajuk Gurindam Orang Ayam. Lagi-lagi, Mosthamir Thalib bermain jenaka orang ayam, bukan orang awam, hehe. Dalam puisi ini pun, dia bermain dengan pemikiran kritis yang paradoksal dengan memperbandingkan karakter positif dan negatif antara diksi induk dan bapak dan diksi anak. Lantas, puisi bertajuk Gurindam Negeri Berdaulat agak berbeda. Jika ketiga puisi sebelumnya mengikuti kaidah gurindam, yaitu satu bait ada dua larik, tetapi puisi ini menggunakan satu bait terdiri tiga larik. Sah-sah saja karena penyair ini menulis puisi bebas, tetapi berjudul gurindam. Penyair ini memang benar-benar mempermainkan pikiran kita. Pesan puisi pun berbeda. Puisi ini mengetengahkan pembangunan karakter bangsa. Karakter positif tersebut antara lain negara berdaulat, penguasa amanah, hidup bersyukur, dan mengutamakan kemakmuran negeri (h.195-199).

Igal-Igalan merupakan diksi puisi yang diperkenalkan oleh Mosthamir Thalib dalam buku puisinya bertajuk Banteng Bersayap Kupu-Kupu (Deepublish, Yogyakarta, 2022). Igal-Igalan diambil dari kata Igal, yaitu suatu perkampungan muara Sungai Indragiri, Kecamatan Mandah, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Mosthamir Thalib menjelaskan bahwa puisi igal-igalan diangkat dari kebiasaan orang-orang di negeri Igal, Mandah. Ini merupakan tradisi orang-orang muda yang memiliki kebiasaan ajuk-mengajuk. Biasanya tradisi ini terjadi ketika kenduri pernikahan atau keramaian pesta rakyat. Sangat disayangkan, akibat orang-orang muda banyak merantau, tradisi ini semakin sepi. Padahal, tradisi ini menunjukkan ketangkasan seseorang dalam berbahasa (kecerdasan berbahasa) secara langsung dan spontan.

Mosthamir Thalib mengangkat puisi igal-igalan ini dari tradisi masyarakat Igal di Kecamatan Mandah, Indragiri Hilir, Riau. Terdapat tujuh puisi igal-igalan di dalam buku tersebut. Ketujuh puisi igal-igalan tersebut, yaitu Igal-igalan Palestine Drop. Dalam puisi ini, alumni Lembaga Pers Dr. Soetomo (Jakarta, 1993) ini mengigal-igalkan tokoh-tokoh dunia seperti Netanyahu, Obama, Abbas, negara Palestine, dan dunia. Beragam tingkah-polah tokoh dunia itu diigal-igalkan dalam puisinya. Netanyahu diigal-igalkan dengan perilaku bersin, batuk-batuk, muntah-muntah, demam, dan mendengkur. Obama pula diigal-igalkan dengan tingkah pening, suntuk, marah-marah, muram, dan berlibur. Abbas diigal-igalkan dengan kerenah dilesin, ditepuk-tepuk, gerah, geram, dan tersungkur-sungkur. Negara Palestine digambarkan penuh tekanan, yaitu dibanting, diremuk-remuk, dipelasah, dihantam, dan terus digempur. Sementara itu, dunia tak runsing, dunia mengangguk-angguk, dunia cuma terkacah-kacah, dunia sudah padam, dan dunia pun sudah tidur. Inilah gambaran ketidakpedulian dunia pada umumnya tentang penderitaan Palestine.

Puisi igal-igalan bertajuk Kenen Husen dan A Seng, puisi Kenen Hasan dan A San, puisi Cincai-cintai Acai, puisi Toke Dolah, puisi Nasib Datuk Surat Saksi, dan puisi Belukar Pak Ngah menggambarkan igal-igalan (ajuk-mengajuk) antara warga negara pribumi dan warga negara Tionghoa. Isinya tentang kekalahan warga pribumi dan kemenangan keturunan Tionghoa. Husen, Hasan, Pak Cik, Dolah, Datuk, dan Ocu menggambarkan warga pribumi. Warga pribumi ini diigal-igalkan sebagai tuan rumah yang memiliki kekayaan alam negeri. Aseng, A San, Acai, Asun, Ahok, dan A Peng menggambarkan warga Tionghoa. Warga Tionghoa ini diigal-igalkan sebagai pendatang yang menjadi induk angkang, penumpang yang sudah hidup makmur, mengendalikan ekonomi, menguasai kekuasaan, dan jauh lebih maju. Puisi igal-igalan ini pun bisa dijadikan penyagang atau motivasi untuk lebih maju.

Sama halnya syair dan gurindam, memang tidak mudah untuk mencari pengertian talibun dan pembahasannya dalam buku-buku masa kini. Talibun, menurut Wikipedia, merupakan pantun yang memiliki susunan genap antara enam hingga sepuluh baris. Tiap bait dibagi menjadi sampiran dan isi. Pembagian larik sampiran dan isi ditentukan oleh jumlah baris keseluruhan yang kemudian dibagi menjadi dua. Misalnya, talibun enam baris. Tiga baris pertama merupakan sampiran dan tiga baris kedua merupakan isi.

Mosthamir Thalib menyertakan lima puisi bebasnya berbentuk talibun. Pertama, puisi dengan tajuk Talibun Mafia Tanah Kampau. Puisi bertubuh talibun ini terdiri atas duabelas larik. Penyair melukiskan geografis suatu daerah, yaitu Kampar. Hal ini dapat kita ketahui melalui diksi Kampau dan ocu. Beliau mengkritik kepemimpinan bupati yang ilegal dengan istilah memakan tanah membuat rusuh (h.208). Dalam bentuk talibun ini, puisinya masih menyoroti karakter pemimpin yang culas. Kedua, puisi yang masih berkaitan dengan karakter pemimpin bertajuk Talibun Untut Buntut. Penyair jenaka ini mengangkat istilah orang patut: Orang patut dudukkan di buntut/ Orang banyak diabai-abaikan/ Orang buta penuntun arah. Selanjutnya, alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Riau ini, mengingatkan akan orang arif, orang tamak, orang alim, akal budi, dosa, kualat, dan adab yang mengarahkan pada karakter pemimpin. Ketiga, puisi bertajuk Talibun Munir-Muniran. Puisi ini mengingatkan peristiwa tewasnya aktivis bernama Munir dalam penerbangan pesawat yang ditumpanginya. Keempat, puisi bertajuk Talibun Gagak Mandi Durian. Jenaka, kan judulnya, hahaha. Puisi ini pun masih berkisah tentang karakter tokoh. Karakter yang dikritik Mosthamir Thalib antara lain keserakahan dengan frasa makan sendiri. Selanjutnya, ada upaya ingin membersihkan diri dari berbagai tabiat hitam (simbol burung gagak): Paruh dicuci kepak dibasuh/ Penat gagak mandikan badan/ Habislah sampo habislah sabun/ Namun bulunya tetap hitam juga (h.210). Kelima, puisi Talibun Hidup’kan Mati. Melalui puisi ini, Mosthamir Thalib memberikan nasihat secara umum, yaitu (1) tentang hebatnya orang berakal, (2) hidup dan mati beriman, (3) pentingnya menuntut ilmu, (4) rajin beribadah, (5) mengutamakan akhirat daripada dunia, dan (6) ingat akan kematian: Inilah ingat hidup ’kan mati/ Jauhkan dari hal yang dilarang/ Beriman kepada orang yang alim (h.212). Kumpulan puisi kesaksian Mosthamir Thalib mengisahkan beragam kerenah kehidupan berbangsa dan bernegara. Semua berakhir dengan ingat kematian.

Kejenakaan penyair Indonesia asal Riau ini tidak hanya kita temukan dalam karya berbentuk cerpen, tetapi juga karya sastra berbentuk puisi. Menempatkan unsur kocak atau jenaka dalam puisi bukanlah hal mudah. Namun, bagi Mosthamir Thalib, justru hal tersebut dilakukannya sehingga puisi-puisi Beliau menjadi sesuatu yang khas. Bukan cuma itu, dia pun mengangkat kembali puisi lama (syair, gurindam, talibun/pantun) dalam bentuk modern. Tubuhnya lama, tetapi rohnya modern. Unik.***

Alhamdulillah.
Bengkalis, Selasa, 23 Rajab 1444 / 14 Februari 2023

Baca: Puisi Bebas, Politik, dan Jenaka: Banteng Bersayap Kupu-Kupu (Bagian Kedua)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews