Gurita Materialisme Beragama

Pemuda

MATERIALISME secara Bahasa adalah sebuah faham yang memandang bahwa segala sesuatu diukur dengan materi, kebendaan. Dalam konsep ilmu pengetahuan, faham ini sejalan dengan ilmu-ilmu kealaman. Dalam makna sehari-hari, istilah materialisme merujuk pada hal-hal yang berunsur harta, kemewahan, kekayaan, dan sejenisnya. Maksudnya materialism dipahami sebagai sebuah keyakinan yang mementingkan kekayaan harta benda dalam kehidupan.

Meskipun istilah materialisme yang terahir di atas, merupakan sikap yang lumrah dan normal, karena akan mendorong seseorang untuk bekerja keras, namun demikian ia akan menjerumuskan seseorang pada sikap yang serba materi. Puas dan tidak puas seseorang, Bahagia atau tidaknya diukur dengan sejumlah materi. Materialisme menjadi tidak terkontrol dengan baik.

Realitas ini, telah pula merasuk pada orang-orang yang beragama. Agama seringkali dijadikan “alibi” untuk pemenuhan libinal-nya. Banyak di antara kita, yang menjadikan agama sebagai alasan pembenar atas perilaku rakus dan tamak dalam diri kita. Bahkan dalam ibadah sekalipun, tidak jarang masih ada “sisipan” agar dihormati, disegani, agar terpilih sebagai RT, agar bisa menjadi menantu Pak Haji, dan seterusnya.

Situasi yang semakin membuat kita tercengang adalah ketika label-label agama digunakan untuk kepentingan politik atau syahwat materialistiknya. Misalnya, ia akan berapi-api menyatakan bahwa perjuangan yang lakukan saat ini adalah demi “Dakwah Islam”, demi “Syariah Islam”. Tentu masih segar dalam ingatan kita peristiwa yang menimpa Aksi Cepat Tanggap (ACT), sebuah Lembaga amal yang “didomplengi” oleh Hasrat untuk memperoleh kekayaan.

Lembaga-lembaga yang berbasikan keagamaan, yang memiliki jargon-jargon “memperjuangkan umat”, “membela Alquran dan Sunnah” sekalipun tidak luput oleh gurita materialisme tersebut. “Menghalalkan segala cara” merupakan mantera yang diwujudkan dengan Tindakan nyata, ketika ingin menjadi petinggi didalamnya.

Jika dirunut, situasi di atas, setidaknya berakar pada beberapa hal berikut; Pertama, pola Pendidikan kita yang seringkali mendukung praktek-praktek seperti itu. Misalnya, jika ada anak yang telat dalam sholat berjamaah, hukumannya membayar sejumlah uang atau barang lain yang senilai dengan uang yang akan dibayarkan. Naasnya, soal apa pun yang dikerjakan siswa salah, diganti dengan uang. Bahkan mengambil rapot pun pakai uang. Kan jadi repot.

Kedua, Situasi zaman yang serba instan, serba cepat dan mudah, sepertinya juga menjadi factor atau variable yang memberikan kontribusi penting atas gejala beragama hari ini. Situasi ini, menggiring umat beragama dengan mudah terjebak dalam perilaku tidak baik, dan kadang cenderung ingin meraih hasil dengan instan. Cara berfikir yang serba cepat ini, akan menghilangkan essensi dari sebuah proses. Ketika seseorang memahami sebuah kesuksesan dengan instan, maka proses beragama pun akan dipahaminya secara instan. Dan ini akan terlihat pada situasi yang ketiga berikut ini.

Ketiga, beragama selalu dilihat pada sisi pahala. Dalam istilah lain disebut dengan ibadah prosedural. Seseorang akan melaksanakan ibadah sebagaimana prosedur ibadah dan pahalanya. Ia akan berhitung-hitung dalam beribadah. Sholat dhuha setiap hari, harapannya Allah akan menurunkan banyak kekayaan padanya. Sholat sunnah sebelum subuh, agar memperoleh pahala yang melebihi langit dan bumi.

Ada sebuah indikasi untuk mempersamakan antara konsep pahala dengan konsep perdagangan. Ada “tawar-menawar” dengan Tuhan; laba pahala yang menjanjikan lebih besar, akan dijadikan lahan “bisnisnya”.

Dalam dunia sufi, Imam Al-Ghazali pernah memberikan catatan penting untuk kita bersama saat ini. Bahwa “meremehkan dosa dan terlalu percaya diri dengan amal perbuatan adalah sangat berbahaya, orang yang sibuk menghitung-hitung amalan akan lupa pada banyaknya dosa”. Kebiasaan seseorang yang “membidik” ibadah dengan pahala yang besar, dikhawatirkan akan terjerumus pada perasaan besarnya pahala yang dimiliki. Dampaknya, ia akan merasa paling alim, paling shalih dan seterusnya.

Tidaklah heran jika hari ini, kita akan banyak menjumpai orang-orang beragama yang merasa dirinya banyak pahala (shalih), dengan mudah menyalahkan, menghina dan merendahkan orang lain yang seagama dengannya. Wallahu a’lam bi al-Shawab.***

Baca: Sukses Kita, Karena Orang Lain

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews