Prasangka (2)

Pemuda

KONSEKUENSI penting yang harus disadari oleh setiap kita, terutama dalam konteks bangsa Indonesia yang majmuk ini, adalah bahwa prasangka akan melahirkan persepsi yang negative atas mereka yang berbeda dengan dirinya dan kelompoknya. Puncaknya adalah lahirnya kebencian, permusuhan, dan ujungnya adalah pembunuhan.

Banyak para ahli kemudian mencoba “mengulik-ulik” dengan mencari berbagai faktor yang menyebabkan munculnya prasangka ini. Allport misalnya mengatakan bahwa penyebab lahirnya prasangka ini, karena adanya kategorisasi-kategorisasi sosial, yang disertai dengan upaya “jaga-jarak” terhadap orang-orang yang dianggap berbeda dengannya.

Teori lain menyebutkan bahwa prasangka muncul karena faktor-faktor kepribadian seseorang. Misalnya seseorang yang memiliki sikap atau kepribadian otoriter. Teori ini dikemukakan oleh Adorno. Orang yang memiliki jiwa otoriter, kata Adorno, biasanya memiliki prasangka yang tinggi. Dalam realitas sosial, orang yang berjiwa otoriter biasanya memiliki “ketakutan” untuk tersaingi; tidak mau menerima usulan; semau gue dalam memimpin. Maka, ketika ada yang berbeda dengan dirinya, ia akan diganggu oleh prasangka-prasangka negatif atau kecurigaan atas mereka yang berbeda. Istilah yang mudah dicerna, tidak mau kalah, dalam Bahasa Jawa, Poko’e.

Dalam konteks kelompok sosial, prasangka lahir karena adanya “ancaman” terhadap dirinyan dan kelompoknya. Teori ini disampaikan oleh Fien & Spencer (1995). Menurutnya, ancaman terhadap identitas sosial dan self-esteem mendorong untuk mengembangkan penilaian prasangka terhadap orang lain. Misalnya, adanya ketakutan jika negara Cina akan merubah dan menguasai Indonesia, maka segala hal yang berhubungan dengan Cina atau Tionghoa, akan dicurigai atau dianggap sebagai musuh atau (setidaknya) antek-Cina.

Prasangka juga lahir karena adanya orientasi dominasi sosial (social dominance orientation), sebut Whitley (1999), yakni ketika seseorang memiliki keinginan yang kuat, untuk mendominasi atau menguasai pada kelompok tertentu dan ingin menjadi “hebat” di luar kelompknya. “Individu yang memiliki dominasi sosial yang tinggi, cenderung bersikap negatif terhadap beberapa kelompok yang marginal seperti etnis minoritas, feminist, dan lainnya” tegasnya.

Faktor lain yang memiliki peran dalam terjadinya prasangka seseorang adalah hasil proses belajar (social learning theory). Teori ini berpandangan bahwa prasangka bukan bawaan lahir manusia. Sebab, semua manusia dilahirkan tidak membawa sikap benci dan sikap negartif terhadap yang lain. Kebencian dan sikap negative ini muncul karena ia belajar dengan lingkungan sosialnya atau lingkungan sosial yang membentuknya.

Teori ini, mirip dengan kontruski gender di masyarakat. Kuatnya dominasi patriarkhi di masyarakat, yang kemudian menjadikan peran perempuan sering diprasangkai negative oleh laki-laki. Bahkan, jika ada peristiwa pemerkosaan misalnya, perempuan yang jelas-jelas menjadi korban laki-laki, justru perempuan tetap dipersalahkan karena baju-nya atau kemolekan-nya.

Masih banyak teori yang menyebabkan prasangka ini muncul. Namun yang pasti, prasangka akan melahirkan ketidakharmonisan di masyarakat maupun di dalam sebuah organisasi. Prasangka akan memperdalam kebencian atar sesama. Sehingga, sekat-sekat toleransi dibatasi oleh bayang-bayang fanatisme kelompok. Prasangka tidak saja akan menghambat kemajuan dan cita-cita luhur sebuah oraganisasi maupun kelompok, lebih dari itu akan menghambat perkembangan potensi individu, baik dewasa maupun anak-anak, secara maksimal.

Peringatan dari Allah melalui firman-Nya dalam Alquran, sewajarnya menjadi perhatian kita semua sebagai umat muslim. Allah menyatakan bahwa Jauhilah olehmu sebagian besar dari prasangka. Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah keburukan (dosa)” (Q.S. Al Hujuraat: 12). Lagi-lagi Rasulullah dalam haditsnya menegaskan bahwa “Jauhilah prasangka, karena sesungguhnya prasangka adalah seburuk-buruknya perkataan”.

Sebagai umat yang mempercai kebenaran Ayat dan hadits tersebut di atas, selayaknya berupaya sekuat tenaga dan fikiran kita, untuk menegasikan prasangka dalam kehidupan kita sehari-hari. Mari kita bersama perluas “Map” cakrawala berfikir kita. Kita hadirkan ragam fakta atau informasi yang seluas-luasnya. Di antara cara untuk memperluas “peta pikiran” itu adalah dengan bertanya, check dan recheck, klarifikasi, sharing sebelum share, atau kita gunakan istilah keren dalam Islam; tabayyun. Wallahu a’lam bi al-Shawab. ***

Baca: Prasangka (1)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews