Potong Kaki Sendiri

potong kaki

LAMANRIAU.COMPotong kaki sendiri
                                      sambil tendang bumi pusaka

                                     CUCU Akub
                                     hendak jadi kepala desa.

Belum setahun dia tamat diploma D3. Semangat bawaan dari kampus masih menyala-nyala. Ke mana-mana suka tunjuk gaya. Masuk kampung keliling desa. Pas pula jelang musim Pilkades. Dia pun ingin tunjuk muka. Daftarkan diri. Ikut sebagai seorang peserta.

“Orang bisa kita juga bisa.”
Begitu semangatnya dia.

Cucu Akub bergelora. Calon-calon lain pun tak kalah, menggelora. Masing-masing sangat percaya. Merekalah akan dipilih sebagian besar warga desa. Termasuk Anak Meran juga. Salah satu calon lainnya. Mereka sama-sama menantang sang patahana. Yang dianggap tidak membela warganya. Sibuk sunat duit proyek pembangunan desa.

“Horeee..!!”

Orang kampung menyambut kenduri demokrasi ini dengan suka cita. Tetapi sebagian emak dan wak menanggapi dengan rasa sebak di dada.

Bagi sebagian orang kampung inilah saat menampung. Tetapi bagi segelintir lainnya ini pulalah saat menanggung. Bagi yang menampung siapa pun pemenangnya itu soal nomor dua. Nomor satu, yang penting ada uang saku.

Cucu Akub paham itu.

Sebagaimana calon dewan atau calon bupati, gubernur atau juga presiden, calon Pilkades juga perlu punya modal. Tampang dan kecakapan nomor dua. Modal duit itulah yang pertama. Tidak ada duit jangan harap dapat suara. Rakyat sudah pintar. Walaupun pintarnya cuma pandai nengok warna dan gambar batang hidung yang terpampang pada duit kertas saja.

Anak Meran paham juga.

Rakyat perlu dimainkan dengan duit. Tetapi hukum melarang main duit. Untuk itulah dia bertekad, akan berjuang keras melawan money politic. Walaupun sedikit. “Pokoknya aku tuntut keadilan sampai ke tepi langit.”

Emak cucu Akub galau.
Waknya pula risau.

Cucu Akub minta orang tuanya menemui juragan Akau. Toke kopra yang paling kaya di seluruh rantau. Gadaikan kebun yang mengasapi dapur mereka satu-satunya : pusaka datuk dan nenek dari masa lampau. Modal dari celah lain tampaknya tidak dapat dicekau.

“Ini kebun pusaka warisan
Khawatir sampai pindah tangan
Sangat takut mati kebuluran
Takut lagi mati kualat ketulahan.”

“Guruh di langit baru berbunyi
Air tempayan ditumpahkan
Kalau hujan tidaklah jadi
Alamat haus berkepanjangan.”

Pilkades berlangsung. Kebun pusaka tergadai. Petahana menang melambung. Cucu Akub kandas tersadai. Calon-calon lainnya juga termenung. Akau? Cuma tersenyum-senyum, santai.

Kebun yang sudah tergadai jarang sekali kembali d idapat. Kalau mau d iambil lagi bayarlah dua kali lipat. Akau sang penolong petani tersesak terlihat macam malaikat. Padahal sesungguhnya dia tidak lebih dari lintah darat.

Begitulah. Kebun milik sawo matang berpindah tangan satu per satu. Demi untuk makan, bayar utang, sekolah-kuliahkan anak di perantauan, nikah-pestakan anak dengan menantu sampai untuk sogok dapatkan kerja dari “hantu keburu”.

Musim Pilkades yang satu ini memang sudah berlalu. Tetapi deritanya d itanggung sampai ke anak cucu. Bahkan bisa selamanya. Terus-menerus keturunan menggigit kuku. Dari sinilah berawalnya, nasib si sawo matang semakin kelabu. Gelap arah masa depan yang akan dituju.

Ini, bagian riwayat bumi putera mengebiri diri sendiri. Terjadi di sebuah kecamatan di Indragiri. Hal serupa sesungguhnya terjadi di seantero negeri. Sejak pecah mata belalang sampai terjojol mata udang. Terus berkembang-biak. Sampai hari ini.***

Baca : Naga – Gajah Bertelagah

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *