Akal Pak Ande vs Otak Abu Nawas

ketololan

LAMANRIAU.COM – Abu Nawas pernah jadi rakyat jelata sebuah kerajaan. Pak Ande juga.

Bila Abu Nawas jelas di mana letak keberadaannya dan kawasan kerajaannya. Pak Ande tak jelas, entah di mana-mana.

Bila Abu Nawas jelas tarikh dia hidup di bumi di dunia ini. Pak Ande kelabu, entah bila-bila. Bisa-bisa bila-bila saja.

Baca : Kunang-Kunang, Dam Api-Api Teluk Belitung

Bila Abu Nawas di wilayah Persia, sekitar jazirah Arabia sana. Konon Pak Ande dekat sini, di kawasan nusantara, di pulau di antara dua samudera.

Bila Abu Nawas itu agak benar-benar nyata.

Pak Ande pun bukan dalam dongeng belaka.

Persamaannya, Pak Ande dan Abu Nawas sesama jenaka. Sesama bikin orang terpingkal-pingkal ketawa.

Bedanya, Abu Nawas jenaka cerdas. Berkali-kali Khalifah Harun Al Rasyid terpedaya oleh ulah siasat jenakanya. Tetapi macam mana pun tingkah ulahnya tetap saja tidak merugikan kerajaan dan membuat rajanya murka.

Sedangkan Pak Ande, jenaka, tetapi amat berlebih pada superbahlolnya. Namun begitulah produk nusantara. Seminta ampun apa pun tongol-tongongnya dia tetap saja dipercaya oleh raja dan rakyatnya. Malah selain dipuja-puja diberi kesempatan pula menyunting putri raja.

***

Alkisah I :

Pada suatu hari, Raja Harun al-Rasyid memanggil Abu Nawas menghadap ke Istana.

“Hai Abu Nawas, aku menginginkan enam ekor lembu berjanggot yang pandai bicara. Bisakah engkau mendatangkan mereka dalam waktu seminggu? Kalau gagal, akan aku penggal lehermu.”

“Baiklah, tuanku Syah Alam, hamba junjung tinggi titah tuanku,” jawab Abu Nawas.

Semua punggawa istana yang hadir pada saat itu, berkata dalam hati, “Mampuslah engkau Abu Nawas!”

Abu Nawas bermohon diri dan pulang ke rumah. Begitu sampai di rumah, ia duduk berdiam diri merenungkan keinginan Raja. Seharian ia tidak ke luar rumah, sehingga membuat tetangga heran. Dia baru ke luar rumah persis setelah seminggu kemudian, yaitu batas waktu yang diberikan raja kepadanya.

Abu Nawas segera menuju kerumunan orang banyak, lalu bertanya, “Hai, orang-orang muda, hari ini hari apa?”

Orang-orang yang menjawab dengan betul akan dia lepaskan, sebaliknya orang-orang yang menjawab salah akan ia tahan. Ternyata, tidak ada seorang pun yang menjawab dengan betul.

Abu Nawas pun langsung marah-marah. “Begitu saja tidak bisa menjawab. Kalau begitu, mari kita menghadap Raja Harun Al-Rasyid, untuk mencari tahu kebenaran yang sesungguhnya.”

Keesokan harinya, balairung istana Baghdad dipenuhi warga yang ingin tahu kesanggupan Abu Nawas mambawa enam ekor Lembu berjanggot. Sampai di depan Raja Harun Al-Rasyid, dia pun mengaturkan sembah dan duduk dengan khidmat.

Lalu, Raja berkata, “Hai Abu Nawas, mana lembu berjenggot yang pandai bicara itu?”

Tanpa banyak bicara, Abu Nawas pun menunjuk keenam orang yang dibawanya itu, “Inilah mereka, Tuanku Syah Alam.”

“Hai, Abu Nawas, apa yang kau tunjukkan kepadaku itu?”

“Ya, tuanku Syah Alam, tanyalah pada mereka hari apa sekarang?” jawab Abu Nawas.

Ketika Raja bertanya, ternyata orang-orang itu memberikan jawaban berbeda-beda. Maka berujarlah Abu Nawas, “Jika mereka manusia, tentunya tahu hari ini hari apa. Apalagi jika tuanku menanyakan hari yang lain, akan tambah peninglah mereka. Manusia atau hewan kah mereka ini? Inilah lembu berjenggot yang pandai bicara itu, Tuanku.”

Mengdengar ini raja pun terangguk-angguk sambil tersenyum-senyum menyaksikan keligatan Abu Nawas pandai melepaskan diri dari ancaman hukuman. Akhirnya raja pun memberikannya hadiah 5.000 dinar. (dikutip dari Brilio, 5/6/2020).

Alkisah II :

Tetiba saja sesosok manusia jatuh dari langit di depan istana raja. Pengawal istana terkejut. Para prajurit kalang-kabut. Menteri-menteri terkelabut. Raja pun takjub. Segala rakyat jelata pun berduyun-duyun ingin menyaksikannya. Berebut.

“Anak dewa turun dari langit di depan istana.”

Begitu Ahli Nujum Pak Belalang meyakininya. Raja percaya. Rakyat percaya. Para menteri dan prajurit ikut saja. Percaya-percayalah juga. Musabab, makhluk langit ini tidak bisa diajak berbicara. Setiap ditanya sesuatu padanya dia menjawab dengan nyengar-nyengir saja. Selalu menunjuk-nunjuk ke langit pula. “Ket..! Ket..! Kettt..!” katanya.

“Lidahnya tidak bisa pakai bahasa manusia”

Begitu pendapat pembantu raja. Lagi-lagi raja percaya. Rakyat tidak pandai menganalisa. Menteri-menteri? Ya, percaya-percaya lagi sajalah. “Yang penting raja suka.”

Singkat kisah, Sang Raja ingin bermenantukan anak dewa, yang diturunkan di depan kerajaannya itu. Raja pun kebetulan punya seorang putri yang jelita, calon ratu. Kemolekannya sudah dikenal di mana-mana. Sudah banyak yang putra raja-raja lain meminangnya. Tetapi ditolaknya semua.

“Jodoh putriku memang dari kalangan dewa tampaknya.”

Begitu kata hati raja. Putrinya pun tidak menolaknya. Sang permaisuri bukan main suka-citanya. Mereka berharap puka, kelak suatu ketika dapat berkunjung ke istana sang menantu atau cucu nanti. Di angkasa.

Syahdan, maka dipestakan perkawinan putri raja dengan Putra Dewa Campak Dhari Langit. Pesta akbar itu akan diacarakan tujuh hari tujuh malam. Sangat meriah. Segala rakyat kerajaan dari segala kampung dan pelosok berdatangan. Ikut gembira merayakan kebahagiaan keluarga diraja.

“Rakyatku. Nikmatilah kegembiaraan ini.”

Tiba-tiba pada hari ketujuh pesta akbar itu, ketika reremah makanan sudah banyak berserakan di laman istana, binatang-binatang kecil pun satu per satu mulai bermunculan. Ingin ikut berpesta pora.

Pertama kali, muncul semut. Dari semut halus sampai merah dan hitam. Tetapi orang-orang tak peduli karena badannya halus sekali. Dia cuma perlu digencet apabila sudah berani mengigit.

Kedua, muncul lipas. Dia juga tidak dipedulikan orang:orang. Kecuali bila berani masuk ke dalam pakaian mempelai perempuan, lalu merayap sampai ke atas. Bila sudah begini kejadiannya gaun pengantin harus dilepas.

Ketiga, muncul katak. Ini yang membuat putra dewa langit terpesona. Seketika katak itu muncul mendekat reremah makanan di laman, sang putra langsung terkikik-kikik ketawa. “Takh..! Takh..! Takh..!” suaranya, geli hatinya.

Putri raja terkejut. “Eh, dia pandai bicara..?!”

Mata sang putri terbelalak. Terheran-terheran melihat lakinya yang duduk di sebelahnya tetiba pandai bercakap. Lakinya makin terkikik-kikik ketika melihat katak meloncat ke sana kemari, dan Tuan Putri pun dibuatnya semakin tidak mengerti.

Belum habis terheran-heran menyaksikan putra dewa terhibur dengan kehadiran katak terloncat-loncat itu tetiba muncul pula makhluk lainnya. Yang satu ini agak menyeramkan.

Inilah dia yang keempat. Makhluk ini sebelum muncul menampakkan diri secara utuh, dia memunculkan antenanya dulu. Antena yang berupa kumis itu digoyang-goyangnya untuk menangkap signal, mendeteksi situasi lapangan. Apakah aman? Ketika merasa aman, tidak ada manusia peduli dengannya, dia pun langsung mengejar kue dekat kaki sang mempelai yang tengah duduk di pelaminan.

“Ikhhh..! Kus..! Kus..!”

Putra Dewa yang tengah terkikik menyaksikan ulah katak, tetiba menjerit seketika tersadar ada tikus di dekat ujung kakinya. Dengan sebuah gerakan refleksi tikus itu langsung ditendangnya. Bubh! Melayang. Entah ke kepala siapa ditujunya.

“Hoi! Ada katak pula terjun dari langit!”

Tetiba seseorang berteriak. “Tikus ini menimpa kepala aku.” Orang-orang terheran-heran lagi. “Apa betul?” Sudah dua kali dewa langit mengirim makhluk hidup ke bumi, ke depan istana raja mereka.

Di tengah-tengah kerumunan orang ramai ini rupanya ada juga seorang perempuan datang dari kampung yang jauh. Dia datang bersama anaknya. “Emak. Itu bapak Ande.” Anak lelaki ini menunjuk ke pelaminan. Emak budak ini ini pun melotot memadang ke pelaminan.

“Uhh..! Bapak dikau jadi pengantin, Ande..?!”

Si Ande, sang anak menarik tangan ibunya, ingin segera menemui ayahnya di pelaminan. Tetapi emaknya tetiba menggigil. “Biar sajalah, nak. Biar saja ayah dikau diambil sang putri,” katanya, tergagap-gagap.

Lalu tanpa menghiraukan emaknya, si Ande langsung mengejar ayahnya yang masih menggigil selepas menendang seekor tilus gemuk.

“Bapaakk….!” teriak si Ande sambil belari mendapatkan ayahnya. Pak Ande yang terkejut melihat kehadiran anaknya pun lalu turun dari pelaminan menyambut si Ande sambil berteriak juga:

“An deee…..!!”

Emak Ande yang terkejut melihat si Ande memburu ayahnya segera berlari mengikuti anaknya. Ketika ayah dan berpelukan, dia pun seketika tertegun kaku. Berdiri membantu. Sang putri di pelaminan lebih tak menentu lagi. Beribu pikiran di kepalanya berkelebat macam hantu.

“Siapakah gerangan yang Baginda raja inginkan jadi menantu ini?”

Ketika putri raja dan emak Ande masih kaku kebingungan, ketika Pak Ande dan si Ande berpelukan, orang-orang datang membawa tikus yang semaput ke hadapan tuan putri. Mereka mengabarkan, dewa langit telah mengirimkan dari langit seekor tikus mulia kepada Baginda Raja. Putri raja yang biasanya pendiam ini langsung saja berteriak mendengking:

“Dewa Langit kapalaa hotaaak..!!!”

Sesaat kemudian dia perintah pengawal dan prajurit kerajaan menangkap “menantu ayahnya” itu. “Itu juga! Bini dan anaknya.” Putri menunjuk pada Emak Ande dan si Ande.

Jelata kerajaan bergumam-gumam. “Oh, sudah ada bini dan anak dewa langit rupanya.”

Pak Ande diintrograsi di mahkamah kerajaan. Setiap kali diajukan pertanyaan senantiasa dijawabnya pakai bahasa Viet Nam. “Bu ru ung pu nai. Ba wa pa nde te ba ng..ti ng gi..” katanya. Entah pelat. Entah gagap. Tidak ada orang yang mengerti.

Tetiba Emak Ande berkata memelas, “Tuan, tuan, tolong biar kami, saya Emak Ande dan anak kami si Ande yang traslitkan bahasa Pak Ande.. Dia ini sasau..”

“Hm! Bahasa langit memang payah..” gumam jelata.

Setelah Pak Ande bercerita dengan bahasa idiotnya, Mak Ande pun menjelaskan, Seminggu lampau dia pergi masuk hutan. Menggetah burung punai. Burung-burung yang didapatnya lalu dia ikat satu per satu ke badannya. Sampai badannya penuh dengan burung. Kemudian, alih-alih burung-burung itu mengepak-ngepak serentak, dan dia pun dibawa terbang. Terbang. Terbang. Makin tinggi. Makin jauh. Lantas ketika tali ikatan burung-burung itu lepas semua dari tubuhnya dia pun jatuh terhentak ke bumi. Pas pula tercampak di laman istana Baginda Raja.

“Ouuw..!” gemuruh suara rakyat kerajaan mendengus.

***

Cerdasnya Khalifah Harun Al Rasyid yang telah membangun peradaban Islam yang tinggi pada masa kekhalifahannya beriring pula dengan cerdas rakyatnya, seperti digambarkan bagaimana seorang jelata seperti Abu Nawas selalu bisa lolos dari lubang jaru ujian yang diberikan sang khalifah.

Jelas sekali tampaknya, dari rakyat yang mayoritas cerdas akan melahirkan pemimpin unggul lagi cergas pula. Begitu pun sebaliknya. Tongol melahirkan tongong. Tengil bapaknya Engil anaknya.

Harun Al Rasyid melahirkan banyak Abu Nawas. Para Abu Nawas pun melahirkan pemimpin yang cergas: cedak, cakap, cendekiawan, cerdas serta tangkas, seperti Harun Al Rasyid. Andai saja ada pemimpin secampin Harun Al Rasyid berada di sini, tentu, sudah pasti dimusuhi. Kadrun, kata mereka.

Melihat tabiat-perangai serta gen-DNA karakternya, Pak Ande-lah : guru sejatinya yang paling banyak ditiru-digugu warga negeri antah berdedak ini.***

Monoolog-olog, 20 November 202O

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *