LAMANRIAU.COM, PEKANBARU – Bujang Rimau. Itu bukan nama aslinya. Nama panggilannya pun dulu cuma Bujang. Lantaran terlalu sering menangkap harimau liar lalu dia pun digelari : Bujang Rimau.
Rumah Bujang tercacak di atas lumpur.
Di tepian tebing pantai bererawa yang tohor.
Di pesisir Indragiri, Pulau Sumatera, yang
hutan rimbanya sudah hancur-lebur.
Tongkat rumah Bujang kayu nyirih yang dipancang-pancang. Dicacakkan ke dalam lumpur dalam-dalam. Dinding dan lantainya susunan papan-papan, berlubang-lubang.
Bila air laut pasang istri Bujang selalu ngedik ikan keritang. Bila air laut surut banyak pula terpongking macam-macam siput, tembakul, juga serakan kulit kerang.
Atap rumah Bujang terdiri dari dedaun nipah. Sebagian lain berdaun rumbia. Jalan menuju ke rumahnya semua pelantar kayu, jerambah. Lantainya barisan papan renggang-renggang. Sebagian lapuk, ada juga sudah patah-patah.
Itulah kondisi 1990-an. Ketika hutan rimba di Riau dibabat habis-habisan. Ulah pepejabat makin kaya-rayakan para taipan. Habitatnya dibinasakan, harimau pun banyak berkeliaran. Juga di sekitar perkampungan Bujang. Bagian sebelah daratan, di rawa-rawa yang masih menyisakan hutan.
Suatu malam, istri Bujang alih-alih menjerit panjang. Terkejut, kejang-kejang. Ketika mau buang air pergi ke belakang dia melihat alih-alih ada kepala harimau seperti menjongol, muncul dari celah lubang. Sementara badan harimau menempel di dinding papan. Melayang. Macam cecak kubin. Seakan-akan segera terbang.
“Auw..! Auw..! Rimau..! Rimau..! Rimauuu..!!” teriak istri Bujang pecahkan hening malam.
Bujang terbangun. Anak dan menantunya terbangun. Tersentak. Bingung. Lalu mereka berlompatan berlari ke belakang. Ketika sampai di belakang, istri Bujang masih terus menjerit kejang-kejang. Macam orang mengaruk kesetanan.
“Rimau..! Rimau..! Rimauu..!!!” Dia menunjuk-nunjuk kepala harimau.
Mata anak Bujang terbelalak. Menantunya juga terpendar. Terperanjat seketika melihat kepala dan kulit harimau muncul di lubang lantai dan tersangkut di dinding. Saking terperanjatnya seakan-akan macam hendak terkencing-kencing.
“Rimau..! Rimau..! Rimau..u..!!!” Istri Bujang Rimau masih terus terperanjat-peranjat.
Bujang Rimau segera menenangkan istrinya.
“Hei! Hei! Itu rimau mati. Bukan rimau hidup. Aku yang meletaknya di sini.” Istri Bujang terus menggigil. Di depan rumah mereka, orang-orang yang terbangun dari tidur, terdengar berdatangan. Mengetuk-ngetuk pintu depan. Bujang segera perintahkan menantunya menemui dan menenangkan orang-orang itu.
“Katakan pada mereka, emak dikau ini ngigau!’
Inilah hasil jeratan Bujang yang pertama kali terhadap seekor harimau. Raja rimba ini setelah dapat dijeratnya, ditikamnya, mati, langsung pula dia mutilasi.
Bujang melakukan semua ini dengan cara membuang hatinya sendiri. Kalau tidak, tak sampai hati. Sebab, rimau-rimau rawa itu sahabat-sahabat sejatinya selama ini. Jauh, di antara kuala dengan rimba rawa, tetapi selalu dekat di hati. Lebih-lebih pada harimau tingkis, harimau yang dikeramatkan sebagai penjaga kampung.
Bujang sudak tak peduli pada semua itu.
Kerja lain susah. Duit payah. Inilah lokak yang dapat dipelasah.
Ini pulalah hasil orderan pertama dari kaki tangan cukong, penadah dan penampung, organ-organ harimau. Bujang tidak tahu alamat dan kota tempat tinggal mereka. Tetapi dia punya kenalan di kampung yang punya nomor kontak orang-orang itu untuk dihubungi sewaktu-waktu bila-bila saja target buruan sudah dapat diburu.
Sementara menunggu waktu cukong penadah datang untuk menjemputnya, bagian-bagian yang diingini dari harimau ini : kepala, kulit, misai, kuku, dan lain-lain, Bujang keringkan dulu di dapur rumahnya.
Lantaran tidak ada tempat lain untuk meletakannya, ketika pulang tengah malam buta, kepala dan kulit harimau ini, lalu Bujang letakkan saja di dapur rumahnya. Setelah itu, Bujang yang penat langsung tertidur pulas.
Dalam tidurnya Bujang bermimpi pula. Istrinya dikunyah-kunyah harimau. Bujang segera ingin menolongnya. Lalu dia melompat dari dalam sampan yang dinaikinya. Sampannya yang terdorong oleh kakinya terhanyut ke tengah sungai. Kakinya tersangkut ke tunggul.
Eh-eh, sesaat tersadar dari mimpinya alih-alih Bujang mendapatkan dirinya sudah tercampak di tepi ranjang. Ketika dia sadar sebenar-benar sadar istrinya memang tengah meraung-raung di dapur. Kejang-kejang.
Sejak tersempuk harimau tangkapan Bujang yang pertama inilah, istrinya tetiba saja dapat penyakit latah. Mudah sekali dia terperanjat. Tiap kali terperanjat dia melatah-latah. Apa terpandang apa dilatah. Apa terlintas semua disebut. Lebih-lebih bila terpandang orang berkumis panjang, dia langsung teringat kumis harimau yang menyeringai, garang.
“Eeh eh eh.. Rimau! Rimau! Misai rimauu..! Panjang..!”
Tetapi dapat penyakit begini mungkin lebih baik, sebagai ganti penyakit jantung. Kalau orang lemah jantung mungkin sudah mati ketika alih-alih terpergok harimau di dapur rumahnya di tengah malam gulita.
Ketika kemudian, berkali-kali datang kepala harimau terbentang kulit harimau di dapur rumahnya, istri Bujang masih terperanjat-peranjat dengan sembur-sembur latahnya. Namun orang-orang tidak peduli lagi. Menganggap itu sudah menjadi penyakit wanita ini. Tidak ada peristiwa lain yang terjadi.
***
Bujang sebetulnya orang baik. Sama dengan harimau-harimau rawa itu. Mereka sebelumnya semua baik-baik. Hidup berdampingan tidak saling mengusik. Bila sekali-sekali tidak sengaja bertemu, orang-orang pun selalu memberi salam dengan setengah berbisik:
“Assalamualaikum Datuk, anak cucu numpang lalu…”
Musabab yang merusak persahabatan antara Bujang atau orang-orang kampung dengan harimau itu justru ketika sekawanan orang kota datang mengendap-endap. Tanpa assalamualaikum, mereka menyelusup, menyelinap, masuk ke rimba rawa. Ingin menjerat reraja rimba.
Bujang yang tahu kehadiran dan niat busuk orang-orang ini segera pula mempelasah mereka. “Apa kalian mau digulai orang-orang kampung? Dengan harimau-beruang di sini kami sahabat. Satu saja anak harimau kalian jerat, sebanyak-banyaknya orang kampung akan kena embat.”
“Lebih baik kami membinasakan kalian daripada didendam harimau.”
Akan tetapi, Bujang ini orang kampung, dia lagu. Orang-orang kota itu pula piaraan cukong, pandai melagu. Bujang yang semula berkeras meminta orang-orang itu enyah dari kampung, malah kemudian luluh layu. Setelah dibayangkan akan dapat penghasilan berkarung-karung, dia pun bersedia bekerja sama sebagai penangkap dan pembunuh satwa langka itu.***
Rimbariaupunah, 28 November 2020
#siriprimiskinkandiri
Baca : Akal Pak Ande vs Otak Abu Nawas