Sang Guru dan Berudu, Kepala Naga Kaki Gurita

ketololan

HERAN. Heran. Heran. Semua orang alih-alih terheran-heran. Macam lagu Resesi-nya Mara Karma, biduan dangdut antarnasional dari Peranap Indragiri itu, yang bukan main populer pada 1980-an :

“Heran..! Heran..! Heran..! Heran..! Heran..!”

Sang Guru Jutaan Ummah tetiba saja bermanuver. Terjun ke gelanggang politik. Politik kasta rendah pula. Cuma kelas bupati jo wali kota. Padahal sebelumnya dia sudah dipinang untuk posisi paling jelita. Mendampingi Sang Penguasa Paling Perkasa. Jadi Deputi Maharaja Adikuasa di negeri gemah mahrifah yang diapit dua samudera raya. Buminya berlian. Rimbanya mutiara.

Andai saja tawaran itu dulu dia terima – Insyaallah, di puncak mahligai istana kursi goyangnya. Tiada halangan baginya : gegap gempita rakyat menyambut, menganjung dan menjulangnya. Kalau ada pun yang bisa menghadang-mengandaskannya : mungkin Fir’aun saja, atau paling kurang : pakai ilmu taktiktok ‘aunnya’ Fir’aun. Macam teori lampu ajaib bimsalabim Si Aladin juga.

Herannya pula, heran. Di panggung politik yang diterjuninya ini, Sang Guru bukan jadi ‘pengantinnya’. Dia cuma jadi tukang kipas mempelai. Berdiri tegak di samping pelaminan. Tukang baca doa. Bahasa jelatanya : cuma jadi juru kampanyenya.

Gerangan apa Sang Guru turun gunung?

Setelah ke sana kemari bingung-bingung:
Sebagian orang termenung-menung.
Sebagian orang tercenung-cenung.
Sebagian lagi merenung-renung.
Ada pula nan ‘nunung-nunung’.
Tak ketinggalan main ‘tenung’.

Yang termenung-menung takut kalah.
Lawan yang dihadapi bukan main gagah!
Yang tercenung-cenung galau gundah.
Khawatir harta terkumpul tak bawa faedah.

Yang nan ‘nunung-nunung’ tidak peduli.

“Siapo pun nan monang de’en malipek piti.
Siapo pun nan kalah ambo do dapek hibah.
Kojo seibu ndo kojo maatus. Kojo ndo kojo
seibu maatus. Kalah jo monang awak jugo
nan sonang.”

Yang main tenung mereka yang geram. Belum bertanding merasa perahu sudah karam. Lalu minta rekomandasi makhluk pembenci Adam. Berharap Sang Guru dan calonnya hanyut dan tenggelam.

Yang merenung-renung terus mengembara dengan arif bestari benak bijak terokanya. Bersuluhkan nurani, terus membatin. “Kenapa Sang Guru mau jadi tukang kipas Sang Pengantin?”

Sang Perenung tak mendapat alasan ‘kiprah instan’ dari diri Sang Guru. Tiap naik ke panggung Sang Guru cuma ‘mengipas’, “Pilihlah Calon Ini! Pilihlah Calon Ini! Dia akan menyelamatkan peradaban warganya.” Tidak pernah Sang Guru mengucapkan apa alasan untuk ‘dirinya sendiri’. Apa ‘untung’ untuk dirinya yang cuma bermain politik di kelas kambing atau bilis-teri?

Besar betul pengorbanan Sang Guru.

Terjunnya Sang Guru ke panggung politik instan macam-macam kecamuk di benak orang-orang awam.

Banyak yang menyayangkan.
Banyak juga yang menyoalkan.
Banyak yang membimbangkan.
Banyak juga yang menyesalkan.
Sang Guru dianggap pemecah umat.
Sang Guru dianggap bermain politik praktis.
Sang Guru membuat pemilih mati nalar.
Sang Guru termakan bisik-bisik kanan kiri.
Sang Guru dapat keuntungan pribadi.
Sang Guru lupa gemilang dirinya sendiri.

Kemudian yang makin aneh lagi. Selain memang ada calon yang berkualitas alias berintegritas, ada pula yang menganggap, sosok yang didukung Sang Guru, ampas tidak berkualitas. Celakanya pula muncul dari “budaya politik dinasti” main bidas, budaya politik hantu belau yang paling tidak disukai kaum menengah atas, yang nuraninya masih emas, yang otaknya umpulur teras kempas.

Calon seperti ini harusnya memang dibenam sampai tidak berdaya. Mereka besar dari mengolah-mengulah segala daya selama kuat dengan kuasa. Melantak segala sumber daya untuk gembulkan menara-manara keluarga. Jelata semakin fakir harta benda papa kedana. Mereka hidup mewah kaya raya. Gaya hidup pun nyelenak sesuka hati busung perut mereka.

Si Malakama, kanan kiri : hancur semua.

Kalaulah barang yang mau dipilih semuanya buruk, barang yang mana mesti dipilih? Kalau sekadar memilih mentimun busuk di dalam karung bisa saja semua tidak dipilih. Tendang saja semua mentimun itu ke laut dengan karung-karungnya. Habis cerita. Ini soal memilih kepala negeri. Pilih tak dipilih tetap ada yang terpilih.

Kalau dulu bila terpilih satu kepala negeri rakyat cukup menderita satu periode saja, atau lima tahun saja. Paling lama pun sepuluh tahun, itu bila sang calon yang sudah membuat rakyatnya menderita terpilih lagi.

Sekarang jauh, jauh lebih parah dari itu, Wak.

Sesudah ayahnya membuat warganya menderita, ayahnya mencalonkan anak atau bininya pula untuk melanjutkan penderitaan rakyatnya secara sambung-menyambung, secara turun-temurun, dari masa berganti masa.

Rakyat tak pandai menyimak dan membaca: sumber daya alam dan anggaran habis binasa. Rakyat tak dapat berkata dan berbuat apa-apa: kunci gembok kotak kardus penampungan suara mereka yang menggenggamnya.

“Pilih yang kurang buruknya dari yang terburuk.”

Itulah mungkin maksud Sang Guru. Pilih calon kuat yang paling sedikit membawa mudharatnya kalau yang patut dipilih payah terpilih. Sang Guru sepertinya percaya, siapa pun dari yang kuat yang terpilih akan membawa mudharat lebih banyak dibanding membawa manfaatnya. Kecuali memang bisa terpilih yang patut dipilih. Namun yang patut tidak kuat, baru mulai start saja sudah jauh tertatih-tatih. Makin lama tentu akan makin tersisih. Inilah zaman apam bantut, yang patut-patut selalu saja kebagian buntut.

Kenapa Sang Guru sampai begitu ngotot?

Ini juga pertanyaan awam. Lawan kuat yang dihadapi juga sosok yang hebat. Bagus asal-usulnya. Jelas tempat berpijaknya. Cuma satu saja yang merisaukan : tempat bergantungnya : Planet Mars. Planet yang jauh di angkasa raya sana. Punya sikap, budaya dan keyakinan tidak sama dengan makhluk bumi. Alien bukan Alimin.

Warga yang bergantung pada mars di bumi ini membangun komunitas mereka tersendiri. Membuat kawah-kawah seperti kolong-kolong galian tambang. Melubang-lubang tanah. Jadi longkang. Penuh air limbah dan berlumut. Sasaunya, bila sudah pegang kuasa mereka memaksa gaya ala hidup makhluk marks, yang tak peduli langgam sanggam – santan santun, kepada penduduk bumi. Ini terus berkecambah, berkembang, berbiak-biak.

“Mata rantai tebiat ini harus kita putuskan!”

Begitu sikap kandal Sang Guru. Maka, suka tak suka, Sang Guru terpaksa harus mendukung salah satu calon bumi yang kuat di beberapa gelanggang pertarungan demi menyekat laju calon planet mars yang terus berlari kencang. Kalau tidak dihentikan, habis binasalah peradaban makhluk bumi yang sudah mapan.

Ketika calon patut tidak bisa diandalkan untuk menghadapi calon yang disponsori makhluk planet mars – berudu berkepala naga berkaki jari-jemari gurita itu, maka harimau belukar terpaksa di-back up sekuat daya upaya meskipun hilang habis maya cahaya air muka.

Sebagaimana Nabi Musa selalu salah paham dengan tindakan Nabi Khaidir, awam pun banyak keliru menduga dengan sikap Sang Guru. Dia bukan pandir.***

Bumi Bertuah, 6 Desember 2020

Baca : Bujang Rimau

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *