Pemburu Panjang Telinga

Hang Tuah

INI cerita zaman dulu.

Sang Pemburu, datang dari berburu. Seketika tiba dia langsung menghempaskan karung yang dipikulnya di halaman depan rumahnya, sekitar enam atau delapan meter dari muka pintu.

“Apa itu, Pak?” tetangganya bertanya.

“Kancil?”

“Ho-oh, hebat Bapak. Berburu dapat kancil. Masih ada kancil bisa diburu rupanya, Pak?” Sang tetangga terheran-heran.

Jiran tetangga lain yang lagi kongkow-kongkow dan ngerumpi serta anak-anak yang tengah bermain di halaman lapangan bersama juga terheran-heran dan terkagum-kagum mendengar Sang Pemburu dapat berburu kancil. Mereka takjub. Ini hewan langka. Namanya pun sudah jarang terdengar. Apatah lagi di hutan-hutan di pinggiran kota.

Mereka lalu mendekati karung Sang Pemburu. Ingin menyaksikannya dari dekat.

“Hei, jangan disentuh! Nanti digigitnya!” sergah Sang Pemburu ketika beberapa anak ingin membuka tali pengikatnya.

Anak-anak yang terperanjat disergah Sang Pemburu serentak mundur beberapa tapak. Tetapi dua orang tetangga Sang Pemburu langsung segera mendekat karung kancil.

“Hei! Kalau masih hidup kenapa dikarungi? Diikat pula karungnya. Bisa mati kelemasan kancil ini.”

Seorang tetangga langsung membuka ikatannya. Seorang lagi memegang ujung mulut karung. Walau dihalang-halangi Sang Pemburu mereka tidak peduli.

Seketika karung terbuka betapa terkejutnya para tetangga Sang Pemburu. Kancil-kancil itu ternyata sudah mati semua.

“Oh, kasihan..” Suara emak-emak bergumam. Mata mereka tetiba sayu dan sedih menyaksikan makhluk-makhluk berbulu putih halus ini bergelimpangan di dalam karung yang lusuh.

Anak-anak melenguh kesal. “Hhmngh..!”

“Berapa ekor?” tanya seorang tetangga lainnya.

“Setengah lusin,” sahut tetangga di depan karung.

Di tengah gumaman para emak ini tetiba seorang atuk dalang nyeletuk, “Ei, ini bukan kancil atuh. Ini kelinci.”

Orang-orang bergumam lagi. Tertanya-tanya. “Oh ya..? Oh, apa ya..?”

“Masak kagak kenal ame kelinci? Kan banyak orang meliare dekat sini..?” Suara Atuk Dalang pakai logat Betawi.

“O, o, oo..?”

“Lihat warnanye putih kayak kapas. Mane ade kancil berwarna putih. Waktu ane mude pernah juge lihat itu, kancil-kancil gitu. Warnanye cokelat semue, agak item..” kata Atuk Dalang.

“Atau barangkali warnanya berubah putih kalau sudah mati, Atuk? Kayak orang dikafani, gitu?” seseorang bertanya.

Atuk Dalang terkikik, geli. “Bulu kafan kancil, ye..? hi hi hii..”

“Nah! Itu atu, ade juge yang belang.” Seorang bapak menunjuk.

“Itu kancil pake bulu kafan batik semar,” sahut Atuk Dalang lagi. Dia terus terkikik-kikik. Di antara tawa kikiknya itu tampak ada dua batang gigi depan dan sebatang taring yang bergoyang-goyang di dalam mulut si Atuk.

Mata Sang Pemburu memerah. Memendar. “Itu kancil, tau!” sergahnya.

“Kelinci, Pak!” Suara anak-anak pula, tetap yakin, ini adalah kelinci sebetul-betul kelinci.

“Hei! Hei! Kamu. Kamu jangan macam-macam. Ini kancil-kancil, tau!” sergah Sang Pemburu lagi.

“Oh, Bapak ini. Degil. Kelinci ini, Pak. Lihat itu, telinganya panjang,” seorang ibu muda yang menggendong anaknya nyeletuk sambil melangkah dan menyorong mukanya ke depan.

“Kancil juga bertelinga panjang, tau!” Sang Pemburu membentak sambil mendorong ibu muda ini dengan kasar.

“Aduh! Aduh, Bapak! Jangan didorong-dorong, Pak! Jatuh saya ini..!” Ibu muda ini meringis, terhuyung-huyung di antara jeritan Balitanya yang menangis ketakutan.

“Apa mau ganti kalau anak saya ini jadi celaka nanti..?” rungut ibu muda bersungut-sungut.

“Barang emangnye kelinci kok maksa-maksa orang nyebut kancil,” bisik seorang emak yang berdiri agak di belakang.

“Ya,” bisik emak di sebelahnya. “Walaupun itu kancil ‘kan tidak boleh diburu-buru? Itu satwa langka, dilindungi hukum. Mereka juga punya hak untuk hidup di habitatnya.”

“Hmmm… Kalau kelinci kayak gini gak perlu pake kejar-kejaran.. Gak pake buru-buruan pun bisa ketangkap..! Kalau ane nangkap pake sebelah tangan aje..

“O, ogh..”

Rupanya telinga Sang Pemburu panjang juga. Bisik-bisik emak-emak tetangga ini rupanya terdengar juga olehnya. Dan, dia sangat geram. Giginya bergelatuk. Macam akan tumpah amarahnya.

“Hei! Apa?”

Gak ngapa-ngapa, Pak.”

“Ini kancil, tau? Kancil..!! Sebut kancil..!!!”

Para jiran tetangga, abah-abah, emak-emak, anak-anak, wak-wak, atuk-atuk dan nenek-nenek rupanya kecut juga.

“Okelah kalau gitu, Pak. Kami sebut kancil saja.. Kami sebut kancil saja…”

Suara mereka bergumam-gumam.

“Ei, itu kan kelinci-kelinci tetangge RT sebelah sane yang hilang tige hari lalu.” Suara seorang anak muda pula berbisik pada kekasihnya.

Iye kayaknye..,” sahut kekasihnya. “Kemarin dicari-cari di semua gang-gang perumahan. Kagak ketemu..

“Apa…?” sergah Sang Pemburu lagi memandang pada sepasang kekasih dengan mata garang.

Kagak ngapa-ngapa, Pak. Gak apa-apa. Kami gak komen apa-apa, Pak..”

“Kancil-kancil ini hasil berburu saya di hutan sana, tau? Bukan di gang-gang, paham?!”

“Paham, Pak.”

Para tetangga mulai melangkah mundur pelan-pelan satu per satu. Mulut mereka ngomat-ngamit. Terus bergumam-gumam:

“Oke, Pak. Kita sebut kancil saja, Pak.. kita sebut kancil saja.. kita sebut kancil saja…”

Atuk Dalang juga melangkah pulang. Sambil melangkah terenjut-enjut, terbungkuk-bungkuk, dia tersenyum-senyum sendiri. “Gile. Geli ane, Jang. Kancil berbulu kelinci.. hi hi hii…”***

Baca : Sang Guru dan Berudu, Kepala Naga Kaki Gurita

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *