Dagang Kami Mengkuang Layu

Hang Tuah

TERDENGAR merdu nian syair dari lagu zapin yang dikumandangkan RRI Pekanbaru pagi ini. Sendu. Pilu. Haluk dan haru.

Petikan dawai gambusnya yang mendengung-dengung seperti mencubit-cubit  pedih urat-urat jantung yang mengapung-apung. Tipakan pada kulit marwas-marwas yang mengincak-ngincak seperti jeritan hati yang terus-menerus ditepuk-tepuk, tiada henti-henti.

Pantunnya menggigit nurani:

Kajang Tuan kajang berlipat
Kajanglah kami layu.. mengkuang layu
Dagang Tuan dagang bertempat
Daganglah kami lalu.. menumpang lalu..

Saking merdunya sampai terbuai-buai dibuatnya. Malas bangun letoi kerja dibuatnya. Simaklah! Mana “hebat” filosofi syair Mengkuang Layu ini dengan syair Tudung Periok?

Tudung periuk pandai menari
Mainan anak raja Melaka
Kain buruk tinggalkan kami
Buat mengelap si air mata

Mungkin sesama hebat. Tetapi beginilah hasil dari mental karakter ras sawo matang; lebih-lebih yang hanyut di Selat Melaka. Tetapi secara umum ini untuk ras sawo matang : kompak : kalah bersama di kandang gelanggangnya sendiri.

Di negara mana saja. Di seluruh nusantara ini. Sama saja. Tabiat dan nasibnya sama. Kecuali Brunei yang penuh daulat raja Melayunya. Dari Champa sampai Nusa Tenggara. Dari Filipina sampai Mentawai-Nias di Samudera Hindia. Serupa.

Ini soalan wilayah lokal saja, jawablah:

[1] ada tidak hubungannya hutan rimba lahan tanah warisan pusaka 70% lebih tidak dikuasai orang asli lagi?

[2] ada tidak hubungannya, hidup lebih rela jadi kuli daripada jadi toke juragan; alias lebih rela jadi budak hamba sahaya dibanding jadi raja – di bumi gemah mahripahnya sendiri..?

[3] ada tidak hubungannya, aset negara diobral negeri tergadai, nasib rakyat dan bangsa sampai sangsai..?

[4] adakah masih banyak tidak lagi rentetan pertanyaan dari bentangan dua bait syair pantun di atas?

[5] Jawablah.. Jawablah.. Jawablah.. Paling tidak untuk sekadar instrospeksi diri bangsa-bangsa pesisir dan pulau-pulau di tenggara Asia ini.

Jadi pertanyaan juga:

[1] Dagang “tuan” yang mana dagang “bertempat”?

[2] Kenapa dagang orang “tempatan” yang menumpang “lalu”?

[3] Mengapa lebih suka pada kain buruk? Lalu,

[4] Apa pasal pula berair mata? Apa yang diratapi? Apa yang dinestapakan?

Kalaulah kita bisa membuat dunia mengakui kekuatan jagat “kegaiban kita” dari alam “tak tampak” (Malaysia) dan dari alam tiada bentuk bendanya (Indonesia), kenapa kita sama sekali tidak berdaya membuat “dunia mengakui” tentang keberadaan beragam kekayaan “benda nyata” lagi “tampak” : yang kita punya?

atau, memang bukan lagi kita punya?

Rimba, gas minyak emas rupanya tak berarti apa-apa bagi kita. “Ambillah wahai pemulung yang berduyun-duyun datang dari ujung benua! Kami cukup kain buruknya saja. Untuk mengelap si air mata (…?)

Tahniah kepada pejuang budaya
Semoga menyalalah akal dan budi
Entahlah pada pengemplang bangsa
Relakah tenggelam anak-cucumu nanti?

Dua untai syair pantun dari rantau Melayu Selat Melaka di atas bukan hanya menggambarkan takdir yang dibuat sendiri oleh bangsa serumpun yang ada di Sumatera, Semenanjung dan Borneo Kalimantan. Tetapi untuk semua sawo matang:***

Busukdibatang, akhir 2020

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *