Pantai Solop Dulu, Nyiurnya Melambai

Hang Tuah

PANTAI SOLOP Pulau Cawan.

Pantai Solop di Kuala Igal
Sebelah kirinya Kuala Mandah
Berjajar di depannya jermal-jermal
Laman bermain pejantan gagah

Itu dulu.

Bila cuaca cerah, baru keluar saja perahu dari kuala-kuala itu – mengikut arus air surut, dari laman Pantai Solop ini, tampaklah di kejauhan : Gunung Daik bercabang dua.

Kekadang mengambang di antara awan-awan.

Bila cuaca teduh, langit kelabu, membayangkannya, hati terasa sendu. Merindu negeri asal-usul nenek moyang leluhur orang-orang di suak-suak pesisir Indragiri ini dulu. Rasanya, ingin menjenguk ke masa lalu.

Bila ombak membuncah-bancuh, semangat pun ikut bergemuruh. Semua bisa ditempuh. Tiada rintangan yang tidak bisa dirempuh. Cuma air sungai dan laut di sini saja semakin keruh. Ikan dan udang pun semakin menjauh.

1950 – 1960-an. Kuala Mandah masih ramai dan riuh. Tempat bertambat nelayan dan para pelaut berlabuh. Tempat persinggahan para pembelok pedagang. Tempat bertandak joget bila malam datang.

KUALA MANDAH
……
kata emak
kuala mandah 1963
apabila malam menjelang di cakrawala
suasana berubah terang benderang
lalu sayup
terdengar dari kejauhan
dang gong dang gong dang gong dang gong
dang gong dang gong dang gong dang gong
kuuuuuuuuuuuuriihhhhh heeewaahhhhh
gelek wak gelek
suara joget yang didatangkan dari seberang
joget pulau yang menawan
joget pulau yang melenakan
joget pulau yang menyayat hati
mereka bernyanyi berpantun riang sampai pagi
…..
(TM Sum, 2020)

Macam inilah Tengku Muhammad (TM) Sum, seorang seniman yang ditakdirkan lahir di Kuala Mandah mengisahkan lewat sebuah madah tentang negeri yang tinggal kisah.

Tersebut pulalah nama Tengku Hussein, zuriat dari Daeng Celak – satu dari lima ompu penyokong berdirinya Kerarajaan Riau-Johor, termasuk orang yang terlama jadi “penunggu” bekas-bekas rumah panggung berjerambah yang dibangun bertongkat beton di atas lumpur Kuala Mandah peninggalan Zaman Belanda ini.

Engku Husein. Begitu biasa beliau disapa. Seorang syahbandar. Sebetulnya juga seorang pendekar. Mengawasi dan mencatet segala kapal masuk dan keluar, pergi berlayar.

Dulu, di Kuala Mandah dengan suak-suak sekitarnya di tengah hutan mangrove muara Indragiri ini banyak sekali panglong, bedeng atau pondok kayu, juga tongkang-tongkang besar memuat dan membawa kayu-kayu teki atau kayu bakau, melintasi pulau-pulau segantang lada, menuju Singapura.

Kuala Mandah meriah, Pantai Solop indah.

Siang hari para pekerja teki melapah, masuk hutan mangrove. Menebang bakau. Malam hari mereka berjoget di pelantar Kuala Mandah. Macam tiada letih lelah. Mereka terus bergairah. Suasana semakin meriah ketika air laut pasang dan surut melendan, arusnya bergerak lamban. Para pekerja jermal ikut meramaikan. Yang lalu-lalang di laut ikut merancakkan. Kincak suara gong @ tetawak yang bertalu-talu, terdengar sampai kejauhan. Dibawa angin, dari tanjung ke tanjung, terus berkepanjangan.

dang gong dang gong dang gong dang gong
dang gong dang gong dang gong dang gong
….
pada puncaknya
orang-orang terkapar dalam kelelahan
esok hari bermula seperti kemarin
mereka kembali bekerja
seolah-olah tanpa peristiwa
….
(TM Sum, 2020)

Sampai 1970-an pun Pantai Solop masih indah walaupun rumah-rumah di Kuala Mandah tinggal satu dua buah. Orang-orang sudah banyak yang pindah. Pasir seresak Pantai Solop masih mendelta melandai, menjulur jauh membenting ke tengah lautan. Di situ tumbuh pepohon nyiur. Dedaunnya melambai-lambai, di antara busut-busut besar pantai. Sanggam dan damai.

Di bagian agak ke daratan Pantai Solop ini, orang-orang berkebun kelapa. Di sinilah dulu tempat pelaut dan anak dagang singgah menumpang mandi, tempat para nelayan dan pekerja jermal mengisi tempayan-tempayan untuk perbekalan melaut serta berlayar jauh atau juga untuk digunakan di jermal selama berbulan-bulan.

Namun, 1970-an pulalah petaka itu datang.

Kepentingan untuk keuntungan sesaat menyelusup lewat proyek yang dianggarkan. Digagas oleh pembesar daerah. Diaminkan pula oleh wakil rakyat. Tetapi entah direstui entah tidak oleh rakyat, wallahu a’lam. Yang jelas, petaka ini membuat petani di sini merempat.

Beberapa ibu kecamatan di hilir Indragiri semasa itu konon ingin disunglap wajahnya serupa dengan kota-kota juga. Mereka ingin jalan utama di ibu-ibu kecamatan bertembok pula. Agaknya agar dapat dilalui kendaraan semacam kereta, padahal yang punya sepeda saja ketika itu baru satu dua.

Lalu disodoklah pasir-pasir seresak yang menjulur ke tengah laut di bibir Pantai Solop Pulau Cawan ini. Diangkut ke ibu kecamatan. Perahu-perahu besar bolak-balik ke sini. Pantai beting berpasir seresak ini pun digerus dan terus digerus sehabis-habisnya. Fungsinya semula sebagai benteng kukuh menahan terjangan ombak besar laut Cina Selatan ambruk seketika, bobos. Tanah-tanah dicengkeram akar-akar nyiur pun jadi peroi. Keboi.

Abrasi pun makin melanda.

Nyatanya, Ibu-ibu kecamatan tidak pernah berubah jadi berwajah kota. Celakanya, beting nyiur-nyiur melambai di Pantai Solop sudah binasa. Nyiur-nyiurnya, satu per satu terjun ke laut. Akhirnya, habis semuanya.

Mengapa harus pasir seresak Pantai Solop?

Sebelum : kenapa harus pasir seresak Pantai Solop simak sebait pantun ini dulu :

Indragiri pasirnya lumat
Kualanya banyak ikan tenggiri
Kalaulah bangsa hendak selamat
Pandai-pandailah menjaga negeri

Bait lagu Melayu: “Indragiri pasirnya lumat” ini ada di tengah batang Sungai Indragiri sampai ke hulunya. Mulai dekat ke Rengat. Malah di kampung halamannya penyair A Aris Abeba di Air Molek, di Pekan Heran, “pasirnya” Pasir Ringgit.

Pasirnya memang lumat. Lekas mempat untuk ditabur pada jalan bertanah padat. Untuk semen tembok beton pun sangat kuat lekat.

Di muara Indragiri tidak ada pasir lumat, kecuali seresak di Pantai Solop. Pasir lumat pun di badan jalan-jalan di hilir Indragiri ini tidak bisa ditabur. Di sini semua negeri berstatus “kuala lumpur”. Daratannya rawa redang. Bila hujan lecah macam bubur. Kerikil-kerikil besar pun akan habis terkubur.

Di sini, memang pasir seresak spesialnya. Pasir yang dari dalam laut dilempar ombak ke pantai lumpur Pantai Solop di Pulau Cawan sejak berabad-abad lalu ini merupakan serpihan pecahan beragam kulit kerang. Dia tidak lumat. Tapi pipih. Dia tidak bulat. Tapi bergigi-gigi. Inilah konon yang lebih cocok untuk timbunan jalan-jalan di atas rerawa yang berlumpur-lumpur.

Pantai Solop pasirnya seresak
Dibawa ombak dari dalam laut
Maksud membangun malah merusak
Pinggang patah akibat salah urut

1970-an juga, satu per satu petani kelapa mulai meninggalkan Pantai Solop. Daratan sudah dinaiki air laut. Abrasi terjadi siang dan malam. Kebun-kebun mulai terendam. Buah-buah kelapa mulai mengecil. Komeng semakin banyak. Hasilnya pun semakin bulan semakin jauh berkurang.

Keindahan pulau berpasir satu-satunya di muara Indragiri pun lenyap dalam seketika. Ini terjadi semasa putra datuk bendahara berkuasa.

Kuala Mandah musnah. Pantai Solop punah.

Pensiun. Hilang jabatan syahbandar. Tetapi terasa masih tersisa sifat pendekar. Engku Hussein pun lalu memungut sebidang kebun yang ditinggalkan di Pantai Solop. Lalu dia tebas anak kayu dan semak belukar. Dia percaya, di sini, matahari akan terus bersinar.

Niat tulus tapi takdir buruk sudah menunggu.

Satu malam sang pendekar tua ini diuji keperkasaannya. Datanglah lima perompak dari laut naik ke daratan. Jumlahnya seperti kawanan Hang Tuah juga. Lima sekawan. Terkejut ada yang datang mengendap-endap, Engku Hussien langsung terkesiap.

Sadar korbannya sudah siap, perompak ini langsung main babat. Untung Engku Hussien pandai bersilat. Sadar pula korbannya hebat, para perompak balik lari melompat, mengejar perahu mereka yang ditambat di pohon perepat.

Engku Husein pun pindah tempat bertambat.

Ketika diundang kenduri budaya di Indragiri, TM Sum mencoba mengais-ngais belukar kecil di tepi Pantai Solop. Mencari-cari sisa tongkat-tongkat kayu, bekas tapak rumah di kebun orang tuanya dulu. Jejak Tengku Husein itu. Tengah-tengah TM Sum meraba-raba seorang lelaki tua kampung tetiba mendekatnya seraya menunjuk ke arah buncahan gelombang air laut yang bergelora.

“Kebun abah dikau sudah jauh jatuh ke tengah laut sana.”

TM Sum melongo, haru. Memandang pilu ke arah laut yang menderu. Sementara ombak terus saja menendang pantai, bertalu-talu. Terus dan terus mengabrasi, setiap waktu.

Tergugah dengan keelokan cerita Pantai Solop Rusli Zainal bersama Hamzah, seniman pencipta lagu tempatan, lalu melahirkan sebuah lagu dengan judul juga Pantai Solop.

Terkuak indah alam membentang
Di rantau bumi sri gemilang
Pulau Cawan aduhai negeri Mandah
Pantai Solop berbilang pesona

Pasirnye kilau kemilau
Serpihan kulit satwa lautnye
Bermain ombak aduhai tercerlah bakau
Terhampar putih eloknye bagai permate

Nuanse alamnye bagai surgawi,
Membawe teduh suasane hati

Kicauan burung nyanyian sunyi
Pantai soloooop rahmat ilahi.
Penduduknye ramah juge berbudi
Pancaran budaya khazanah negri

Lestarikanlah warisan ini
Pantai soloop, pantai soloop, pantai solooop

Pantai sejati

Memang cukup merdu, wai.. Tetapi sepertinya lagu ini telat lahir. Puluhan tahun. Malah lewat berwindu-windu. Nyiurnya yang melambai-lambai itu sudah lama berlalu. Pun tak disebut-sebut di dalam lagu. Pantai Solop sudah lama tidak seindah dulu.***

Igal, 2020 – 2021

Baca : Puisi-puisi Karya TM Sum – Kuala Mandah dan Sang Petualang

Teror – i – Sampah Madani

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *